Jumat, 20 Agustus 2010

Saya, Aku, atau I


Celotehan kali ini mungkin tidak terkesan seserius celotehan penulis sebelumnya, kita sedikit berbincang-bincan tentang “Saya”, “Aku”, atau “I” dalam esensi kehidupan kita. Muncul pertanyaan, mengapa konsep “aku”? Bukankah sudah terlalu banyak motivator yang menggembleng konsep ke-aku-an disekitar kita? Bukankah sudah terlalu banyak kata-kata mutiara yang mengispirasi hidup ini guna menghibur gunda gulana hidup ku? Bukankah jawaban konsep ke-aku-an adalah aku?
Namun, bagaimana jika pertanyaan ini muncul? “sudahkah kita mengenal diri kita sendiri?”… Siapa aku? Apa peran ku dalam kehidupan ini? Apa yang ku miliki dan menjadi dalam hidup ini? Sehingga ada satu pertanyaan tunggal yang muncul dikemudian, Apakah kita semua telah jujur dalam menjawab “siapakah sebenarnya aku”?
Tidak adil rasanya jika penulis mengkritik berbagai macam kehidupan disekitar kita, apabila penulis sendiri tidak pernah jujur terhadap kehidupan penulis sebenarnya. Baiklah mari sedikit bermelankolis, nama penulis adalah Yudha Adri Baskara, Lahir di Bogor 12 Desember 1987. Walaupun saat ini terlihat bermuka preman pasar, dimasa kecil, penulis adalah seorang anak yang jahil, nakal, namun sayangnya cengeng. Merasa telah sukses menempuh pendidikan selama 16 tahun sehingga mendapatkan gelas sarjana sosial di jurusan sosiologi, penulis merasa bahwa penulis memiliki kemampuan unik untuk menganalisa cepat suatu keadaan (itu yang pada akhirnya menyebabkan seringnya perilaku sok tahu), perfectsionis (atau sebut saja keras kepala dan arogan), serta kemampuan untuk memanipulasi kognitif dan perasaan seseorang (atau orang-orang menyebutnya pembohong ulung). Percaya tidak percaya -- banyak perempuan cantik, hebat, dan pintar yang hadir mengisi hati penulis, namun penulis mengecewakan cinta yang mereka rajut. Sehingga pada akhirnya ketika tekanan kesendirian dan penyesalan yang selalu muncul di dalam diri penulis membeludak, beruntung penulis diselamatkan oleh sahabat-sahabat terbaik yang selalu menemani dan memberikan inspirasi penulis untuk mendayagunakan semua yang ada di dalam diri penulis kedalam sesuatu yang lebih berguna bagi setiap orang. Maka dari itu, lahirlah salah satunya konsep celotehan di “Kopi Kita Perubahan”.
Itulah diri penulis apa adanya. Kita mungkin pernah membayangkan menjadi seorang yang kita khayalkan, sebagai contoh; orang kaya raya, kesatria berpedang yang gagah berani, orang yang memiliki pasangan hidup yang sempurna, atau banyak hal lainnya. Namun, percayakah bahwa semua mimpi menjadi manusia khayalan tidak lebih dari sepersekian menit, atau mungkin jika hebat dalam hitungan jam? Sebagai cuntoh; “aku bekhayal menjadi orang yang sangat amat sangat kaya raya, maka aku akan membeli rumah yang besar, membeli mobil-mobil yang bagus, mempersunting wanita/pria yang cantik, mempunyai anak-anak yang lucu dimana aku bermain bersama mereka dan keluarga ku, pergi naik haji, belanja di Paris, membahagiakan orang tua dengan memberikannya materi yang lebih dari cukup, dll” berapa lama waktu yang dibutuhkan ketika berpikir bisa menjadi dan bermimpi menjadi? Sangat singkat bukan? Itu semua tidak lebih berharga dari apa yang telah kita lakukan seumur hidup kita. Karena kita berkhayal menjadi namun kita tidak pernah mewujudkan untuk menjadi. Karena ketika kita bekhayal untuk menjadi kita menngenyampingkan keburukan yang ada di dalam hidup kita. Dan ketika kita mewujudkan untuk menjadi sesuatu, kita dihadapkan sebuah kenyataan bahwa diri “saya, “aku”, atau “I” memiliki kejujuran pahit yang harus diterima atau disembunyikan. Namun, penulis menemukan bahwa ketika kita jujur pada diri kita sendiri, perjuangan hidup kita sebenarnya sudah lebih hebat dibandingkan sinetron-sinetron yang muncul di layar televisi.
Kejujuran menjadi diri sendiri memang bukan sesuatu yang mudah. Butuh sebuah pengorbanan besar menyingkirkan rasa malu, marah, sepi, sedih, dan takut dalam menghadapi diri kita sendiri. Jujur tentang siapa sebenarnya aku adalah sebuah proses spiritual dimana pada akhirnya kita akan sadar bahwa betapa bodohnya kita ketika kita melupakan Tuhan. Melupakan satu-satunya zat yang menemani kita ketika kita merasa malu, marah, sedih, sepi dan takut. Penulis mungkin masih menjadi mahluk yang sok tahu, keras kepala, arogan, dan tukang bohong karena itu adalah masa yang telah dilalui penulis. Namun menerima semua yang telah kita lalui adalah lebih baik daripada hanya berkhayal untuk menjadi suatu kebohongan besar yang dibenarkan dan dinikmati layaknya candu. Dan akhirnya menerima sesuatu yang telah kita lalui menjadikan hidup kita lebih berwarna, tahu mana jalan yang terbaik, dan juga menjadi sebuah dongeng bagi anak-anak kita dikemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar