Rabu, 17 Juli 2013

Pernahkah Terpikir Mengenai Masa Depan Hutan Kita?

Penikmat kopi sekalian... Tidak terasa drama perjalanan penulis di dalam rimba jambi akan selesai dalam hitungan hari. Hampir satu tahun penulis bergeliat di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi untuk bergelut dan bernegosiasi dengan para penjarah areal kawasan hutan, Suku Anak Dalam, serta dinamika sosial dalam pembuatan hutan tanaman Industri. bayangan-bayangan suka, duka, tawa, sedih, marah, atau takut berada di tengah hutan menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan di dalam kehidupan penulis. Diluar dari petualangan penulis di dalam rimba utara Batanghari, penulis akhirnya menemukan sebuah makna kehidupan yang saat ini ingin penulis bagikan kepada para penikmat kopi sekalian.



Pernahkah penikmat kopi sekalian merasakan tinggal di rimba yang penuh  belukar, tempat dimana aneka satwa eksotik hidup (hariamau, gajah liar, atau burung enggang), atau tempat manusia rimba tinggal? "Penulis yakin tidak banyak dari para penikmat kopi yang merasakan petualangan ini". Pernahkah dari para penikmat kopi sekalian peduli dengan hutan-hutan yang ada di dalam alam raya bangsa Indonesia? "Penulis kembali yakin bahwa kepedulian akan ekosistem hutan hanya ada di pelajaran IPA atau biologi". Apakah para penikmat kopitahu, bahwa jumlah harimau Sumatra hanya berjumlah 400 ekor yang tinggal di alam liar? "yup.. penulis paham harimau tidak se-ngetren komodo yang sudah masuk jejaring sosial". Asumsi penulis, kita mungkin sudah tidak peduli lagi akan alam kita. Mungkin juga kita terlalu sibuk memikirkan urusan individualis masing-masing di dalam kehidupan ini. Namun, mari sejenak saja.. kita luangkan sedikit waktu kita untuk berpikir kembali sebuah esensi kehidupan yang tercemar oleh konsesi pikiran kita mengenai kehidupan.


Hutan memang seolah merupakan tempat yang jauh dari tempat kita tinggal. Namun, apakah penikmat kopi sekalian sadar bahwa setiap kita memandang, kita telah menggunakan hasil hutan. sebagai contoh: Meja-meja kayu, alat tulis pensil, atau baju batik yang penikmat kopi sekalian pakai (pewarna baju batik berasal dari buah jernang yang saat ini masih di dapat dari area kawasan hutan). Para penikmat kopi tahu cara untuk memanen komoditi hasil hutan di negara kita? Coba lihat foto-foto berikut:



Mengerikan? ya.. penulis yakin rasa simapati penikmat kopi sekalian tergugah. Namun, penulis juga yakin penikmat kopi sekalian tidak akan berbuat apa-apa dikarenakan penikmat kopi sekalian masih belum mengetahui cara untuk bertindak menyelamatkannya :) Apa yang terjadi di dalam lingkup kehutanan kita adalah terjadi penghancuran besar-besaran area kawasan hutan dengan mengkapitalisasi kawasan hutan demi kepentingan-kepentingan segelintir atau sekelompok orang. Penghancuran ini melibatkan; sistem yang diwakili negara; eksploitan hutan berizin yang diwakili perusahaan-perusahaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan perusahaan-perusahaan tambang; serta yang terakhir adalah kaum kiri yang diwakili serikat-serikat petani yang mengokupasi areal kawasan hutan atas nama perut lapar. baik.. mari kita bahas satu demi satu.

Economic Vs. Ecosystem
Kondisi kehutanan Indonesia pada saat ini menjadi persoalaan serius dan sudah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk bisa memperbaikinya. Indonesia setiap tahunnya telah kehilangan 2,6 juta ha kawasan hutan yang dieksploitasi secara destruktif dan mengakibatkan terjadinya konflik baik berupa konflik sosial ditingkat masyarakat (vertical dan horizontal), kerusakan lingkungan (ekologi), konflik tanah dan kawasan kelola. Pengelolaan sumber daya penghidupan rakyat berupa hutan yang berbasis pada kapital/modal telah menggiring kondisi hutan Indonesia ke arah kehancuran. Sementara secara ”de yure” negara haruslah bertanggung jawab atas kondisi hutan Indonesia, diakui semua pihak bahwa negara telah gagal dalam mengelola sektor kehutanan menuju ke arah yang lebih baik dan mensejahterakan rakyatnya terutama masyarakat sekitar hutan/local/adat.

Obsesi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional secara cepat, bagaimanapun hanya bisa dipenuhi oleh sektor migas dan kehutanan. Dari kedua sector itu kegiatan ekstraksi dilakukan dengan seksama, sehingga pada suatu masa sempat menyumbang pendapatan nasional terbesar. Namun hal ini memunculkan permasalahan baru. Tidak bisa dipungkiri kalau pendekatan pengelolaan hutan seperti itu kemudian akan melahirkan sebuah rezim perijinan, baik dalam bentuk HPH, HTI, perkebunan, pinjam pakai dan lain sebagainya. Kini tidak kurang dari 20 juta hektar hutan nasional berada dalam kekuasaan konsesi kehutanan, dan sekitar 7 juta hektar dalam konsesi perkebunan. Jika ditambah dengan pinjam pakai pertambangan, maka angka itu menjadi lebih besar. Kita memang tidak bisa serta merta menuding bahwa kerusakan hutan dan carut marut persoalan kehutanan nasional disebabkan oleh “nakalnya” kalangan pemegang konsesi, sebagaimana yang sering dicitrakan media. Tapi dari pengalaman masa lalu seharusnya kita tahu bahwa rezim perijinan dalam pengelolaan hutan cenderung rawan, tidak saja sering menciptakan wilayah abu-abu, akan tetapi juga melahirkan apa yang dinamakan sebagai ekonomi biaya tinggi (untuk memperhalus kata "korupsi"). Taruhlah kalau mengacu pada catatan perusahaan HTI dimana penulis bekerja selama setahun ini, di luar pungutan resmi (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat) yang rata-rata besarnya mencapai 37-46% dari total biaya per meter kubik, rezim perijinan kehutanan nasional masih membebani biaya transaksi tidak resmi rata-rata sebesar 12-13% per meter kubik. Maka kalau dihitung, sebelum pungutan resmi biaya per meter kubik sudah mencapai sedikitnya 54-63%, yang meliputi biaya produksi sebesar 41-51% dan biaya transaksi sebesar 12-13%.

Situasi semacam itulah yang langsung ataupun tidak memberikan kontribusi besar dalam persoalan kehutanan nasional yang dari waktu ke waktu semakin akut. Pada masa reformasi situasinya tidak banyak mengalami perubahan, apalagi ketika mekanisme politik juga ternyata terjebak dalam pusaran demokrasi berbiaya tinggi (korupsi), rezim perijinan kehutanan-pun justru seperti mendapatkan atmosfir baru. Akibatnya deforestasi menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindari. Misalnya saja pada Januari 2005, berdasarkan data dari Kementrian Kehutanan, kondisi hutan di Indonesia yang sudah terdegradasi mencapai 59.7 juta hektar, dan lahan kritis mencapai 42,1 juta hektar. Sementara itu di hutan produksi sekitar 21,1 juta hektar tidak ada lagi pengelolanya karena telah bangkrut dan meninggalkan kawasan yang rusak.

Belum lagi, penegakan hukum untuk bidang kehutanan masih dirasa amat kurang. KPK hanya sibuk mengurusi kasus-kasus dengan nilai korupsi uang receh. Sedangkan, korupsi berjamaah di bidang kehutanan yang diakibatkan rezim perijinan telah merugikan negara sebesar ratusan triliun. Bayangkan saja, berapa biaya pengganti tebangan yang tidak dibayarkan pengusaha-pengusaha HPH atau HTI sampai dengan tahun 2013 ini? Jika atas nama pertumbuhan ekonomi dan penguatan politik demokrasi zaman gelap kehutanan berupa rezim perijinan diulang, atas nama penghijauan segenap proyek penanaman yang bernilai triliunan rupiah-pun terus diselenggarakan. Catatan CIFOR (2007) tentang proyek rehabilitasi lahan dan hutan di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1960an, sedikitnya telah mencapai total luas 96,3 juta hektar (54,6 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 41,7 juta hektar di luar kawasan). Dengan tingkat keberhasilan yang sangat bervariasi, dari 19%-93%, setidaknya menunjukkan bahwa proyek-proyek penanaman itu belum bisa dikatakan efektif dalam menangani kasus-kasus deforestasi dan degradasi lahan. Apalagi kalau dikaitkan dengan laju kecepatan rehabilitasi dan deforestasi yang sangat tidak berimbang, maka proyek-proyek penanaman itu menjadi terkesan karikatif. Misalnya saja pada tahun 2000 target rehabilitasi hanya sebesar 18,7 juta hektar, kira-kira tidak lebih dari 1/5 dari total luas lahan yang terdegradasi. Berangkat dari kenyatan-kenyataan itu maka bisa dipahami kalau kemudian hasil studi  menyimpulkan bahwa 85% dari total anggaran proyek rehabilitasi yang sudah berlangsung lebih dari 4 dekade cenderung tidak termanfaatkan secara efektif. Akibatnya meskipun standar biaya/hektar proyek rehabilitasi pemerintah umumnya lebih tinggi dari standar pembiayaan penanaman yang dilakukan oleh swasta (HTI misalnya), akan tetapi tingkat keberhasilannya juga tetap rendah. Hutan-hutan yang terdegradasi tidak kunjung bisa dipulihkan, meskipun ditopang dengan model gerakan seperti GNRHL, atau penyediaan bibit seperti KBR. Dengan kata lain bisa diungkapkan kalau produktivitas hutan nasional tidak kunjung bisa ditingkatkan meskipun sudah ditopang dengan anggaran yang cukup besar.

Tekanan kehutanan nasional rupanya tidak hanya berhenti sampai di situ. Rezim perijinan yang cenderung tidak mampu mengkonsolidasikan kawasan, dan justru malah menciptakan daerah bayang-bayang, untuk tidak mengatakan wilayah abu-abu; serta mendorong terciptanya hutan-hutan yang rusak, pada akhirnya seperti dengan sengaja mereproduksi konflik dan kemiskinan masyarakat yang selama ini bergantung pada sumber daya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sejak tahun 1970an kesadaran kehutanan untuk memasukkan etika sosial dalam pengelolaan hutan sebenarnya sudah dimulai, dengan harapan persoalan deforestasi, degradasi, dan juga dehumanisasi yang dipicu oleh kemiskinan dan keterbelakangan bisa ditangani dan diselesaikan. Karena bagaimanapun, industrialisasi kehutanan yang melaju begitu hebat sejak dasa warsa 60an, pada akhirnya justru menimbulkan berbagai persoalan baru. “Makin banyak uang terlibat dalam bisnis kehutanan, makin banyak keuntungan diraup, tapi juga makin tinggi laju deforestasi, dan makin lebar kesenjangan terjadi”.

Mafia Tanah Atas Nama Kemiskinan
Dari berbagai bukti ditemukan bahwa terdapat keterlibatan mafia tanah dalam aktifitas perambahan kawasan hutan. Mafia tanah ini berisi aktor-aktor intelektual mulai dari politisi, pengusaha, dan pejabat birokrasi yang hampir bisa ditemui diberbagai kasus konflik perambahan dan pengrurakan kawasan hutan. Peran keterlibatan mafia tanah dalam perambahan dan perusakan kawasan hutan dimulai dari kegiatan pendanaan, pembentukan kebijakan yang tidak tepat, pengerahan massa, provokasi, adu domba, dan korupsi berjamaah di ranah pengelolaan hutan-hutan Sumatra. Di mana hadiah dari perambahan dan perusakan kawasan hutan adalah sumber daya hutan berupa "kayu" dan "hasil tanaman industri" serta berbagai sumebr daya tambang berupa "batu bara" dan "emas". 

Contoh mudah yang ada dihadapan kita adalah kasus Mesuji.Walaupun pemerintah pusat telah membentuk tim terpadu penanganan konflik Mesuji yang dikepalai oleh Menkopolhukam. Namun, tetap saja penanganan selama satu tahun konflik Mesuji berada pada jalan buntu. Kasus mesuji dianggap tidak pernah diselesaikan dan hanya menguap begitu saja dari pandangan publik. hal ini disebabkan permainan para mafia tanah yang menciptakan kondisi abu-abu sehingga dapat menguasai lahan dan kawasan hutan atas nama sekelompok masyarakat. Masyarakat tersebut dibentuk seolah-olah merupakan masyarakat miskin yang tidak memiliki apapun. Namun dalam prakteknya, oknum-oknum yang mengatasnamakan serikat tani atau serikat masyarakat tertentu ini malah melakukan jual beli atau saling bagi hasil areal yang seharusnya menjadi kawasan hutan.

Selain Mesuji, masih ada banyak kasus lain seperti Reki dan LAJ di Jambi yang telah merenggut korban nyawa dan harta. Namun seperti Mesuji, kasus-kasus ini ditutup dari pandangan mata publik karena keterlibatan aktor intelektual di Jakarta yang juga merupakan pemilik industri media berita besar di Indonesia. Selain itu, permainan para oknum mulai dari Pemda, Dinas Kehutanan, dan politisi daerah sampai dengan permainan oknum pejabat pusat hingga politisi senayan mewarnai perambahan dan pengrusakan hutan-hutan Sumatra.

Aktifitas mafia tanah ini bukan hanya bergerak di area kawasan hutan produksi, namun yang paling mengkhawatirkan adalah aktifitas mafia tanah telah merambah di area kawasan hutan lindung. Rusaknya area kawasan hutan lindung di Sumatra bukan hanya merupakan kerugian aset negara namun juga merupakan kerugian ekologis bagi bangsa Indonesia. Ada banyak fauna seperti gajah sumatra, harimau sumatra, dan orang hutan yang saat ini berada dalam ancaman kepunahan serta berbagai flora langka seperti bunga bangkai dan jernang yang makin habis dibakar oleh para perambahan mafia-mafia tanah.

Saatnya Membuka Mata
Para penikmat kopi sekalian pasti masih bertanya, apa yang bisa kita lakukan? Mudah.. lupakan saja green peace yang hanya senang untuk mencari dana di mall (mall notabennya merupakan peringkat pertama konsumen listrik yang amat sangat boros dan jauh dari konsep "green") atau lupakan juga para lembaga seperti WWF yang ternyata hanya senang untuk memeras para pengusaha swasta. ini saatnya membuka mata bahwa kita bukan hanya harus memulai melakukan penanaman pohon di depan rumah kita sendiri. Ini saatnya melakukan revolusi berpikir permasalahan bidang kehutanan ini bukan hanya akan memiskinkan anak cucu kita, namun juga mematikan ruang hidup mereka di esok hari. Pikirkanlah generasi berikutnya yang juga berhak atas kehidupan di negara Indonesia yang kita cinta ini!!! Jangan kita berhenti untuk berjuang atas mereka!!!