Selasa, 09 Agustus 2011

Psikopat dan Korupsi Bagian 1 'to be continue

SEKAPUR SIRIH

Penulis sejenak mengajak kita semua untuk membuka catatan hitam bangsa ini. Catatan hitam mengenai korupsi yang telah menggerogoti dan membunuh bangsa ini sejak zaman VOC sampai era Reformasi. Menggunakan perspektif baru, korupsi akan kita sama-sama bedah dengan menggunakan pisau psikopatologi dimana tulisan ini mengungkap adanya keterikatan fenomena korupsi dengan perilaku psikopatik. Hal ini mungkin sangat terlihat kontroversial apabila dilihat dalam sudut pandang psikologi sosial, sosiologi, dan antropologi. Namun, sudut pandang psikopatik yang dikombinasikan dengan peran budaya dalam mendidik dalam kesuksesan koruptor. Menjadikan tulisan ini sangat menarik kita simak dan pahami dalam mebuka tabir tabu korupsi bangsa Indonesia.

Kasus: Tommy Soeharto, Korupsi, & Pembunuhan Hakim Agung

Menelaah aktualisasi adanya fenomena korupsi, budaya, dan psikopatik, penulis tertarik pada kasus Tommy Soeharto dengan kasus korupsinya yang terkenal  PT Goro Batara Sakti dan Bulog, dimana Tommy Soeharto merugikan keuangan negara sebesar Rp 96 miliar. Kasus ini menjadi tragis tatkala, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang sedang mengadili kasus korupsi Tommy Soeharto tewas ditembak atas perintah Tommy Soeharto.

April 1999, terdakwa Tommy Soeharto menjalani persidangan kasus korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun entah bisikan/intervensi apa, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan vonis bebas atas Beddu Amang (April 1999),  Tommy Soeharto, dan Ricardo (Oktober 1999) karena alasan tidak ditemukan bukti-bukti kuat.

Keputusan Majelis Hakim PN Jaksel yang pincang ini kemudian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fachmi SH, mengajukan kasasi atas dibebaskannya Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael ke Mahkamah Agung pada November 1999. Setahun kemudian, 22 September 2000, Majelis Hakim Mahkamah Agung, yang diketuai M Syafiuddin Kartasasmita atas dakwaan perkara korupsi tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading ke PT Goro Batara Sakti (http://nusantaranews.wordpress.com, diakses tanggal 22 Mei 2011).

Keputusan Majelis Hakim MA yang diketuai oleh M Syafiuddin Kartasasmita  merupakan tamparan keras bagi martabat ‘pangeran’ dinasti Soeharto. Tommy yang enggan disentuh oleh petugas Lapas, lalu meminta grasi  (bahkan dikabarkan menyogok) kepada Presiden Gus Dur — namun Gus Dur tidak mau memberi grasi. Gagal minta bantuan kepada Gus Dur, Tommy mengajukan PK atas putusan MA, namun sekali lagi ditolak. Setelah ditolak, maka tidak ada alasan lagi Tommy untuk bersenang-senang diluar. November 2000, jaksa penuntut umum siap mengeksekusi Tommy ke sel tahanan, namun Tommy berhasil kabur.

Mulai 10 November 2000, Tommy Soeharto menjadi burunan polisi. Tommy merasa terpojokkan, apalagi Soeharto sudah tidak berkuasa. Tommy mencari akal dan berusaha menggunakan kekuatan yang selama ini dimilikinya agar ia bebas dari jeratan hukum. Lalu, selama menjadi buronan, Tommy menyiapkan rencana untuk membunuh para hakim agung yang ngotot menghukumnya. Salah satu sasaran utama adalah ketua Majelis Hakim Agung MA yakni M Syafiuddin Kartasasmita. Juli 2001, Tommy Soeharto merekrut dua pembunuh bayaran, memberi senjata api sekaligus uang sebesar Rp 100 juta untuk mengeksekusi ‘musuh’ pertamanya yakni Hakim M Syafiuddin Kartasasmita. Tepat 26 Juli 2001,  dua eksekutor bayaran yakni Mulawarman dan Noval Hadad menembak mati Hakim Agung  M Syafiuddin Kartasasmita. M Syafiuddin Kartasasmita dihantam oleh 4 peluru pesanan putra kesayangan Pak Harto (Majalah Gatra, 2001).

Baru pada tanggal 28 November 2001, polisi akhirnya menangkap Tommy di kawasan Pondok Indah-Jakarta.  Atas dakwaan pembunuhan seorang hakim agung yang begitu tragis, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai oleh Amirudin Zakaria pada Juli 2002 memvonis (hanya) 15 tahun penjara kepada Tommy. Ketika kita memperbandingkan, hukuman yang berbeda dan sangat diskriminatif jika kita membandingkan vonis hukuman mati terhadap Gunawan Santosa, aktor intelektual pembunuhan Direktur PT Asaba Boedyharto Angsono dan pengawalnya, anggota Kopassus, Prada Edi Siyep. Padahal di sisi pelanggaran KUHP, baik Gunawan maupun Tommy sama-sama terjerat pasal KUHP yang sama dalam pembunuhan berencana. Bahkan, Tommy membunuh seorang pejabat negara, seorang hakim agung, sedangkan Gunawan hanya seorang direktur perusahaan.

Darah kematian  seorang hakim agung MSK sama sekali tidak mendapat tempat dan perhatian yang ‘mulia’ oleh Mahkamah Agung (MA)  era Presiden SBY. Pada 6 Juni 2005, MA yang baru menerima kasasi Tommy lalu memberikan vonis lebih ringan pada Tommy yakni 10 tahun penjara (atas dakwaan pembunuhan berencana). Di masa pemerintahan SBY pula, seorang pembunuh pejabat negara (hakim agung MSK) dibebaskan dari balik jeruji pada 30 Oktober 2006.  Seorang terpidana koruptor dan pembunuh berencana kepada pejabat tinggi negara hanya dipenjara 4 tahun (2002-2006).

Kasus ini bukan hanya kasus kriminal sederhana, bila kita benar-benar memahami kasus yang telah penulis jabarkan diatas. Seorang Tommy Soeharto sangat besar kemungkinan mengidap perilaku psikopatik mengingat tindakan biadab yang dilakukannya mampu dimanipulasi sedemikian rupa sehingga ia bisa terbebas dari jeratan hukum. Sayangnya, peran psikologi dalam ranah kriminal dan hukum masih sangat terbatas. Sebenarnya, melalui tes seperti The Interdisciplinary Fitness Interview (IFI) yang sangat lazim dilakukan di negara-negara maju seperti Inggris, Prancis, Jepang, dan Amerika. Tes ini dapat dilakukan untuk menilai gejala psikopatologi dan juga menilai pemahaman tersangka/terdakwa tentang konsep hukum serta fungsi-fungsinya, melalui wawancara oleh seorang psikolog dan pengacara (Golding, Roesch, & Schreiber, 1984). Menelaahnya dari pemahaman literatur menggunakan komponen IFI memberikan penulis pemahaman bahwa kasus ini merupakan jenis corrupt psychopath. Tommy Soeharto, berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan uang negara Rp 96 miliar melalui PT Goro Batara Sakti dan Bulog, bahkan walau ia harus membunuh hakim agung M Syafiuddin Kartasasmita. Berikut akan penulis telaah lebih jauh mengapa corrupt psychopath merupakan identitas yang esensial bagi kasus Tommy Soeharto dan mengapa corrupt psychopath sangat membahayakan kehidupan kita.

MENGIDENTIFIKASI PSIKOPATIK, KETERKAITAN ATAS TINDAKAN KORUPSI, DAN PERAN BUDAYA DALAM MENYUBURKAN BENIH PATOLOGI

Mengkonstuksi ulang kasus Tommy Soeharto dalam perspektif psikopatik, membuka mata penulis dengan pemahaman baru bahwa tindakan korupsi bisa terkait tiga asumsi utama:
  1. Perilaku psikopatik sulit diidentifikasi.
  2. Psikopatik dan korupsi terkait atas dasar kesamaan karakteristik atas pengindahan norma yang berlaku dalam masyarakat.
  3. Budaya korupsi bangsa Indonesia bersifat kolusif dan pada akhirnya menyuburkan tindakan korupsi.
Tiga asumsi ini mengelitik penulis untuk mengkajinya secara lebih mendalam. Melalui berbagai penelitian mengenai psikopatik, korupsi, dan budaya — penulis pada akhirnya akan memberikan kita semua sudut pandang baru dalam melihat fenomena tindak korupsi yang menjadi momok busuk bangsa ini.

Mengidentifikasi Psikopatik dalam PPDGJ-III, DSM-IV-TR, dan Penelitian Pendukung
Melihat psikopatik dalam perspektif psikopatologi penulis memahaminya melalui patokan PPDGJ-III dan DSM-IV serta penelitian yang mendukungnya. Sayang memang, identifikasi perilaku psikopatik itu sendiri memang cukup bias. meski termasuk dalam istilah psikiatri, anehnya diagnosis psikopat secara spesifik tidak ada dalam PPDGJ-III, ICD-10 atau DSM-IV-TR. Gangguan yang paling mendekati ialah gangguan antisocial personality disorder.

Mengacu pada DSM-IV-TR (2000), antisocial personality disorder akan lebih mudah dipahami apabila kita melihat lagi konteks besar dari personality disorder. Aki (2003) memahami personality disorder memahaminya bahwa kepribadian adalah gambaran sikap dan perilaku manusia secara umum yang tercermin dari ucapan dan tindakan. Mereka yang menelaah berbagai literatur dan DSM-IV-TR, mendapatkan bahwa:
  • Gangguan kepribadian adalah pola perilaku atau cara berhubungan dengan orang lain yang benar-benar kaku sehingga menghalangi dan membatasi seseorang untuk dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan.
  • Menurut DSM IV, gangguan kepribadian adalah pola yang bersifat menetap dalam mempersepsi, berhubungan dan memikirkan tentang lingkungan dan diri sendiri yang diperlihatkan diberbagai macam konteks sosial dan pribadi.
  • Gangguan kepribadian merupakan kelompok gangguan yang sangat heterogen, diberi kode pada Aksis II dalam DSM dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, tidak fleksibel yang menyimpang dari budaya orang yang bersangkutan dan menyebabkan gangguan dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan.
  • Gangguan kepribadian pada awalnya dikatakan sebagai pengaruh setan/iblis atau roh jahat yang diterapi dengan exorcism pada abad pertengahan atau pada zaman dahulu diatasi dengan traphination.
  • Dalam pandangan psikoanalisa gangguan kepribadian adalah ketidaksesuaian dari aspek-aspek kepribadian individu id, ego dan superego.
Pemahaman antisocial personality disorder berawal dari gangguan kepribadian yang dijabarkan melalui goyahnya konstitusi karakter dan kecenderungan menyimpang perilaku dari individu. Biasanya meliputi beberapa bidang dari kepribadian dan hampir selalu berhubungan dengan kekacauan pribadi dan sosial (Dinitz, 1986). Namun, kesalahan besar pendapat bahwa gangguan kepribadian antisosial mengacu pada orang yang memiliki keterampilan sosial yang buruk. Sebaliknya, gangguan kepribadian antisosial ditandai oleh kurangnya hati nurani. Penelitian yang dilakukan oleh Moeller dan Dougherty (2001) mengenai “Antisocial Personality Disorder, Alcohol, and Aggression” melihat bahwa orang dengan gangguan ini rentan terhadap perilaku kriminal, percaya bahwa korban-korban mereka lemah dan pantas dimanfaatkan. Antisocials cenderung suka berbohong dan mencuri. Sering kali, mereka tidak hati-hati dengan uang dan mengambil tindakan tanpa berpikir tentang konsekuensi nya. Mereka sering bersifat agresif dan jauh lebih peduli dengan kebutuhan mereka sendiri daripada kebutuhan orang lain.

Senada dengan hal diatas, Hare, McPherson, dan Forth (1988) yang melakukan penelitian terhadap penderita psikopatik melihat bahwa ciri kepribadian anti sosial adalah bahwa dalam perilakunya selalu melekat gangguan terhadap hak orang lain dan seringkali melanggar hukum. Mereka tidak mentaati norma sosial dan konvensi, bertindak sesuka hati, dan gagal untuk membangun komitmen interpersonal dan komitmen kerja. Hal ini menurut mereka disebabkan berbagai faktor psikologis yang mengorganisasi, berkonsolidasi, bersifat kukuh, dan secara maladaptif mengadakan, menyesuaikan, dan menyelesaikan konflik dalam pengalaman hidup. Gangguan ini bersifat kontinum sehingga penderita ringan sampai lebih parah menunjukkan fitur gangguan kepribadian tertentu. Namun, kebanyakan orang dapat hidup cukup normal dengan gangguan kepribadian ini. Gejala dari gangguan kepribadian antisosial (psikopatik) akan mendapatkan kekuatan dan mulai serius apabila secara konstan dan kontinum mengganggu fungsi emosional dan psikologis penderita. Berikut adalah gambaran mengenai faktor personality disorder yang ditelaah Hare guna mengkaji perilaku psikopatik dalam kehidupan keseharian kita:
  
Pemahaman diatas sebenarnya merupakan penguatan dan aplikasinya terhadap perilaku psikopatik dari pandangan Dolan dan Coid (1993) yang menggarisbawahi bahwa orang dengan gangguan kepribadian anti-sosial cenderung menunjukkan sikap yang menawan, memiliki intelektualitas di atas rata-rata dan secara meyakinkan bisa menjadi penipu ulung. Mereka memiliki rasa kegelisahan dan rasa bersalah yang rendah, amoral dan tidak tahu malu. Karenanya orang sering menyebutnya juga dengan istilah psikopat (psychopath) atau sosiopat (sociopath). Hare (dalam Klinteberg, 1996) memahami istilah psikopat dipakai karena tampaknya ada yang rusak pada sistem fungsional psikologisnya. Disebut sosiopat karena orang tersebut menyimpang secara sosial. Lebih lanjut ciri-ciri detail dari gangguan ini adalah:
  • Sedikit sekali mempunyai rasa tanggung jawab, moralitas, perhatian pada orang lain.
  • Perilaku yang muncul hampir seluruhnya ditentukan oleh kepentingan pribadinya atau dirinya, selalu memperhatikan kepentingan dan kemauannya sendiri, mencari kepuasan dari keinginannya, tidak dapat menahan frustasi.
  • Hampir tidak berperasaan dan tampaknya tidak merasa bersalah atau, menyesalinya, kendatipun perilaku-perilakunya menyakiti orang lain; sangat mudah berbohong, senang sensasi dan, bersuka ria dengan hampir tidak memperhatikan akibat yang mungkin menyakitkan dan tidak mampu mengubah perilakunya walaupun dia dihukum.
  • Penampilan tampak menarik, cerdas, menyenangkan dan cukup lihai untuk mengelabui; orang lain, pandai bersandiwara, mampu dan ketulusan, yang dibuat-buat menyebabkan mereka mendapat pekerjaan yang baik tetapi tidak bertahan lama.
  • Keresahan dan tindakannya semau hati sehingga hutang menumpuk, meninggalkan keluarga, menghambur-hamburkan uang (perusahaan, pemerintah atau keluarga), melakukan, tindakan kriminal.
  • Pengakuan dan penyesalannya tampak meyakinkan sehingga sering terhindar dari hukuman, tetapi tetap melakukan kesalahan yang sama.
  • Apa yang dikatakannya tidak berkaitan dengan apa yang dirasakan dan dilakukannya.
  • Ketiadaan rasa cinta (umum); tidak mampu merasa empati, tidak setia pada orang lain.
  • Ketiadaan rasa bersalah; tidak merasa sesal atas tindakannya, walaupun tindakannya sangat tercela; perilakunya jarang sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam penelitian lain, terdapat identikal  utama yang biasanya melakat pada seorang psikopat, yakni egosentris, tidak punya empati, dan tidak pernah menyesal. Terdapat sepuluh karakter spesifik psikopat. Di antaranya adalah tidak memiliki empati, emosi dangkal, manipulatif, pembohong, egosentris, pintar bicara, toleransi yang rendah pada frustasi, membangun relasi yang singkat dan episodik, gaya hidup parasitik, dan melanggar norma sosial yang persisten. Seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri. (Gacono, Meloy, & Bridges, 2000).

Melalui The Antisocial Process Screening Device (Hare, 2006) yang dirancang untuk memperluas assessment terhadap perilaku psychopathy terutama kepada anak-anak, dengan asumsi bahwa sifat-sifat tidak berperasaan atau tanpa emosi akan menandai salah satu faktor risiko penting untuk mengindikasikan perilaku hidup antisosial yang persisten. Seperti indeks PCL-R, indeks APSD sifat-sifat emosional akan digali dari kepribadian sehingga memunculkan indikator-indikator yang diharapkan membuka ada atau tidaknya tindakan anti-sosial. Individu dengan kecenderungan psikopat menunjukkan profil perilaku dengan neurokognitif khusus yang mirip dengan profil yang ditemukan pada psikopat dewasa. Temuan ini menimbulkan kemungkinan bahwa psychopathy mungkin merupakan gangguan perkembangan dengan penanda kepribadian tertentu yang dapat digambarkan pada anak-anak. Perspektif ini juga menunjukkan bahwa ciri kepribadian dapat berjalan seiring dengan gangguan neurokognitif yang berbeda dalam pengolahan afektif (Hare, 2001)

Kesimpulannya, kemajuan besar telah dibuat dalam memahami korelasi neurokognitif dari kepribadian psikopat, baik pada anak-anak dan orang dewasa. Penelitian Klinteberg (1996) menunjukkan bahwa kepribadian psikopat mungkin memiliki komponen genetik yang kuat yang mendasari. Secara longitudinal, studi genetik informatif sekarang harus memanfaatkan apa yang psikologi kognitif dan ilmu saraf kognitif tawarkan. Otak adalah pusat tindakan untuk bagaimana gen dan lingkungan berinteraksi. Untuk menjelaskan hal interaksi yang terjadi, psikologi kognitif dan ilmu saraf kognitif, pada gilirannya, membutuhkan sampel genetik yang informatif dengan kekayaan data lingkungan. Pencegahan dan pengobatan perilaku antisosial akan mendapat manfaat dari pengetahuan mekanisme risiko (serta perlindungan dari) psikopati.

Sayangnya, manual diagnosis yang umum digunakan (PPDGJ-III, ICD-10, DSM-IV-TR) menyatakan bahwa dalam rangka mengaplikasikan diagnosis untuk gangguan kepribadian anti sosial atau gejala psikopatik, seseorang harus berusia setidaknya 18 tahun. Diagnosis alternatif untuk gangguan perilaku ini memang kadang dipergunakan untuk anak-anak, dan banyak gangguan perilaku pada masa kanak-kanak tidak kontinyu menunjukkan perilaku anti sosial ketika dewasa. Ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kepribadian anti sosial dengan perilaku kriminal, tetapi tidak semua kriminal memiliki kepribadian anti sosial. DSM-V mengusulkan sebutan “perilaku antisosial dewasa” untuk tidak seluruhnya memenuhi kriteria gangguan kepribadian antisosial.

bersambung...

2 komentar:

  1. saat hukum tidak adil dan tidak mampu ditegakkan penyakit masyarakat akan meluas, dan mendarah daging

    BalasHapus