Sabtu, 14 Agustus 2010

Film Televisi Bertema Teenlit, Cinta, dan Gaya Hidup

Pada awalanya, kelahiran film televisi diakibatkan modifikasi tayangan sinema elektronik (sinetron) yang terkesan oleh para penikmatnya, tanpa akhir dan terlalu panjang. Melalui pengertian sinema elektronik oleh Soemardjono, Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera, sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela (http://www.wikipedia.co.id). Modifikasi tersebut menjadikan film televisi memiliki durasi satu setengah sampai dua jam penayangan dengan, dengan jalan cerita tidak bersambung. Namun, metode kamera grafis gambar dari film televisi tatap tidak berbeda dengan sinetron. Konten dari film televisi pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik. Seperti layaknya drama atau sandiwara, film televisi diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaks-nya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.

Melihat perkembangan pasar, muncul sebuah konten baru dari adanya sinetron, terutama film pendek televisi, yaitu; teenlit. Berasal dari jenis novel ringan popular, teenlit menjadi sebuah trend dalam format dunia hiburan petelevisian. Ringan, terkesan lucu, dan memiliki pangsa pasar kalua muda adalah apa yang dihadirkan dari sebuah film pendek bertema teenlit. Apa yang ditampilkan, biasanya berupa keseharian remaja dengan berbagai intriknya. Sehingga, percintaan adalah unsur langganan dari film televisi ini, karena konten ini memiliki seluruh aspek, mulai dari kesan lucu, romantisme, hingga unsur-unsur konflik.

Tanpa sadar, keberadaan film televisi yang menjadi sebuah trend dalam dunia hiburan, berevolusi menjadi sebuah konstruksi gaya hidup. Konstruksi tersebut terlahir akibat diserapnya unsur-unsur yang hadir dalam sebuah film televisi. Menggunakan icon yang disebut cinta, sesuatu yang memiliki bias pemaknaan dijadikan sebuah alat dalam konsumsi pasar.  Didukung dengan hadirnya bintang-bintang muda yang cantik/tampan, menjadikan film televisi semakin digandrungi para remaja. Terpenting dari sebuah program televisi bukan hanya tetap disukai, namun yang terpenting adalah tetap diingat. Djati Koesoemo yang dikutip Garin Nugroho (1995) mengatakan, “orang yang menonton televisi belum tentu suka akan tontonan itu. Seringkali mereka menonton sambil ngedumel”. Dalam kasus-kasus seperti ini, sebagaimana diungkapkan James Lull (1998), “penggunaan media oleh khalayak tak dapat dianggap benar-benar merupakan respon terhadap kebutuhan biologis atau psikologis. behavioris ini seperti tidak sadar bahwa mereka sedang mengkonstruk pemirsa yang mereka inginkan melalui film televisi.

Dari paparan diatas, penulis sangat tertarik untuk menganalisa adanya sebuah konstruksi massa terutama gaya hidup melalui trend. Mengapa harus cinta? Seperti yang telah penulis uraikan diatas, cinta adalah senjata yang sangat efektif — dimana cinta adalah sesuatu yang sulit dmengerti, bahakan oleh seorang jenius sekalipun. Hal ini, akan memancing daya tarik yang luar biasa dan individu akan menyimak seperti apa ragam cinta yang ditawarkan, terutama pada program film televisi. Penonton akan terbius jalannya alur sehingga tanpa sadar menginginkan cerita cinta tersebut dalam hidupnya.

Menilik Dasar Pemikiran yang Menyinggungnya
Dari sekian banyak teori tentang hubungan media dan khalayak, ada tiga yang bisa dikemukakan disini. Pertama, Teori Jarum Hipodermik. Teori ini mengemukakan kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif tak berdaya. Kekuatan media yang mempengaruhi khalayak ini beroperasi seperti jarum suntik, tidak kelihatan namun berefek. Kedua, Teori Agenda Setting, dengan napas yang nyaris serupa, teori ini mengemukakan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada teori ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about. Teori ini berdiri atas asumsi bahwa media atau pers does not reflect reality, but rether filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shapes it (David H. Heaver, 1981). Dari sekian peristiwa dan kenyataan sosial yang terjadi, media massa memilih dan memilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak – dan khalayak menerima – bahwa peristiwa x adalah penting. Ketiga adalah Teori Kegunaan dan Kepuasan (uses and gratification theory). Teori ini menandai pergeseran fokus pandangan dari apa yang media lakukan untuk khalayak menjadi apa yang orang lakukan terhadap media (hhtp://www.blog.friendster.com/index.php/tv-dan-penonton-buatan/budalmulih/10).

Untuk melengkapi pembahasan kita, penulis juga berusaha menggunakan perspektif interaksionisme Blumer. Hal ini dikarenakan Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna:
  • Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
  • Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
  • Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Juga dengan meminjam istilah dalam teori kultivasi-nya Gerbner (Severin, 2005), penonton televisi bisa dikategorikan menjadi “penonton berat” dan “penonton ringan”. Rata-rata pemirsa menonton televisi adalah empat jam sehari. Akan tetapi bagi “penonton berat” bisa lebih dari itu. Menurut Gerbner bahwa bagi “penonton berat” , televisi pada hakekatnya memonopoli dan memasukkan sumber-sumber informasi, gagasan, dan kesadaran lain. Dampak dari semua keterbukaan ke pesan-pesan yang sama menghasilkan apa yang oleh Gerbner disebut kultivasi, atau pengajaran pandangan bersama tentang dunia sekitar, peran-peran bersama, dan nilai-nilai bersama.

 Film Televisi Bertema Teenlit, Cinta, dan Gaya Hidup
“Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan) (Peter L. Berger. 1991). Sehingga percaya atau tidak, terdapat pemahaman kabur antara apa yang ditampilkan sebuah film televisi dengan sebuah kenyataan. Disinilah konstruksi berlangsung, peran sebuah tampilan gambar bergerak memenuhi harapan dan keinginan kita terhadap kenyataan itu sendiri. Namun, konstruksi seperti apa yang diakibatkan dari film televisi? Harapan kejadian seperti apa yang terjadi dalam dunia film televisi menciptakan apa yang penulis sebut sebagai gaya hidup melankolisme. Gaya melankolisme itu sendiri, penulis artikan sebagai tindakan mendramatisir kehidupan. Gaya hidup melankolis direflesikan ke dalam hidup dan membiarkannya tercampur dalam kehidupan kita.

Cinta dijadikan simbol keagungannya dimana ekspresi sedih, senang, romantisme, konflik dan lainnya — dibuat layaknya dalam sebuah sinetron. Sehingga dramatisasi tersebut membutuhkan update drama yang terdapat di sinetron atau film televisi lainnya. Selain itu, apa yang ditampilkan dalam sebuah film televisi adalah kehidupan glamoritas yang juga memicu keinginan individu memaknainya. Berbicara mengenai dunia visual atau figural yang menjadi core kebudayaan postmodern, kita harus mencamkan perkataan intelektual subversif asal Perancis, Jean Baudrillard, bahwa televisi merupakan jantung dari kebudayaan ini. Televisi menerjangkan gelombang simulasi dan faksimili, dunia tiruan dan jiplakan, baik secara literal, metaforik, maupun superfisial, tanpa hirarki makna, yang menganulir batas-batas modern akan kenyataan dan khayalan, publik dan privat, seni dan realitas.“Televisi adalah dunia!” ujar Baudrillard. Bukan sebuah klaim yang berlebihan, sebab televisi merupakan sumber virtual pengetahuan mengenai dunia dan pembentuk pandangan hidup, melebihi tanah kelahiran atau ruang nyata kehidupan. Namun, juga senjata penghancur massal yang menggerogoti tatanan kehidupan kedalam jurang-jurang komersialisme dan pengglobalan budaya itu sendiri.

Inilah yang seharusnya kita semua kritisi. Bahwa ketika ada sebuah konstruksi yang perlahan bersifat destruktif — ada sebuah perlawanan bahwa layaknya film televisi bertemakan teenlit adalah pembodohan. Prilaku yang ditayangkan televisi, bisa menjadi sumber observasi seseorang ketika ingin mengambil nilai-nilai tertentu dari peristiwa tersebut. Menurut Effendy (1993) titik permulaan dari proses belajar adalah peristiwa yagg bisa diamati, baik langsung maupun tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa tersebut mungkin terjadi pada kegiatan si orang itu sehari-hari, dapat pula disajikan secara langsung oleh televisi, buku, film, dan media massa lain. Peristiwa tersebut bisa penunjukan nyata suatu prilaku (seperti kekerasan, agresif) atau ilustrasi pola pikir. Prilaku nyata tersebut dipelajari dari pengamatan, sedangkan sikap, nilai, pertimbangan moral, dan persepsi terhadap kenyataan sosial dipelajari melalui abstrak model.

Jean Baudrillard dalam The System of Objects bertutur landasan keteraturan sosial masyarakat Barat modern adalah konsumsi. Bila kemerdekaan sudah dipasung oleh gugusan komoditas. Alhasil, manusia bebas menyalurkan hasrat dengan cara menikmati beragam produk konsumsi.  Pernyataan Baudrillard ternyata seirama dengan fenomena di Indonesia. Ramadatainment secara hakiki merupakan citra komunitas Barat. Film televisi yang dijadikan alat oleh kaum kapitalis, pada esensinya mendorong manusia menjadi makhluk hedonis. Tayangan bernuansa teologis tersebut menjadi pasar maya seronok nan binal.  Film televisi ibarat institusi sukarela tempat golongan pemboros memuaskan preferensinya. Sebab, memaksa orang tak berhenti mengkonsumsi barang dalam jumlah banyak serta terus-menerus.  Secara elementer, kapitalisme memang gendut dengan materi. Formula itu selaras dengan sistem pasar bebas (neo-liberalisme) yang merasuk dalam irama kehidupan.  Dalam teori ekonomi pasar bebas, tidak ada bonum commune (kepentingan bersama). Satu-satunya kredo yaitu keuntungan. Akibatnya, yang diperoleh bukan kebebasan dan kemakmuran.  Masa depan lantas pekat lantaran yang muncul tiada lain ketimpangan aspek keseimbangan. Apalagi, film televisi menghipnotis masyarakat sampai bertekuk-lutut dengan jargon credo quia absurdumest (saya percaya karena itu absurd). Dalam istilah religius, terjadi kemubaziran. Sebab, orang tak sanggup membedakan yang real dengan hyper-real.  Film televisi sekilas-lintas terkesan hiburan semata. Padahal, sisi lain suatu tontonan juga mengandung racun. Tidak sedikit awan kegundahan serta kekeliruan yang menyemburat dari sajian film televisi.

Sehingga bukan tidak mungkin kapitalisme masuk ke area mana saja yang menguntungkan. Dunia akhirnya menjadi pasar global. Bukan cuma produk yang dijajakan, tetapi, juga modal, jasa, dan teknologi. Televisi sebagai media yang paling akrab dengan kehidupan, tak luput pula dari sepak terjangnya. Pertelevisian terus saja menghipnotis pemirsa. Di sisi lain, sistem kapitalisme menggelegak dalam mempengaruhi cita rasa program televisi. Alhasil, mekanisme pasar leluasa mendikte rutinitas keseharian lewat layar kaca. Televisi yang menjadi negara mini para taipan, selalu mentereng dengan rupa-rupa tayangan. Yang terjadi adalah penggunaan berbagai macam cara salah satunya dengan melankolisasi kehidupan. Hal ini dinilai sebagai upaya memperlunak dan menghilangkan jiwa-jiwa kritis dalam diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar