Minggu, 08 Desember 2013

Memahami Kembali Cardinal de Richelieu Syndrom

Menjauh dari kegilaan pekerjaan sebagai socio-psychological analyzes untuk berbagai land and agrarian conflict. Untuk menjauhkannya, penulis berusaha menikmati hari ini dengan mendengarkan kumpulan MP3 yang berhasil dibajak dari berbagai situs di internet (everyone don’t try this.. piracy is not a wise thing..). Namun ada sebuah enigma yang membebani pikiran penulis.. dan sialnya ini kembali soal cinta (betul penikmat kopi sekalian.. lagi-lagi soal cinta…). Juka ditanya oleh seorang psikolog “seperti apa perasaan anda hari ini?” mungkin jawaban penulis adalah “seperti orang yang ingin berlari marathon sambil berlompatan riang, namun disisi lain seperti orang yang berjalan di pinggiran jurang dan khawatir akan terjatuh..”. Seperti menaiki roller coster dengan banyak putaran gila dikepala tidak ada salahnya penulis untuk menulis dan berdiskusi kembali dengan penikmat kopi mengenai hal gila yang dinamakan “CINTA” karena untuk kali ini penulis semakin merasa adanya in-significant comprehension penulis mengenai cinta. Seolah semakin dekat dan memahami cinta itu.. semakin aneh cinta..

Baiklah kita mulai lagi kegilaan ini…

Bagi penulis.. cinta adalah di dalam tulisan terdahulu.. penulis pernah membarikan sebuah definisi mengani cinta. Di mana cinta adalah rujukan ke berbagai perasaan dan perilaku, dan dihubungkan atas kenikmatan umum yang dihubungkan dengan sebuah benda atau kegiatan. Dalam pemahaman normatif, cinta merujuk pada salah satu kunci keberhasilan dalam cinta memang mengakui bahwa menjadi sempurna itu sangat penting (objek yang baik). Tidak ada peran untuk ketidaksempurnaan dan pada akhirnya kita harus bekerja keras serta belajar tanpa lelah guna mencapainya. Namun, pemahaman ini hanya dapat dipahami secara behavioristik dan interaksi sosial.  Mengapa pemahamn ini menjadi tidak signifikan? 2 hari yang lalu, penulis dipertemukan dengan seorang pengacara muda. Wanita cantik ini memukau penulis dengan berbagai pemikirannya, perspektifnya menganai berbagai hal, dan  caranya menilai sesuatu. Seolah memancarkan keberanian dan pendirian yang selama ini penulis kagumi dari berbagai orang hebat yang penulis kenal. Namun ada yang special dari wanita ini, tatapannya menghentikan diri ini untuk tetap rasional, bahkan terkadang bibir ini kejang dan tidak sanggup berkata tentang betapa penulis bahagia bersamanya. Mungkin penulis terkena sindrom Cardinal de Richelieu (bagi yang bertanya apa itu sindrom Cardinal de Richelieu.. silahkan baca diskusi kita terdahulu di dalam blog ini..). Sehingga muncul pertanyaan…

“Apakah ini cinta sejati?”Bagi psikolog “cinta”.. cinta, tidak datang tiba-tiba. Ia bukanlah berkah. Ia hadir dalam kehidupan kita sebagaimana kita makan atau minum. Tidak luar biasa. Menurut Abraham Maslow, salah seorang tokoh psikologi terkemuka, cinta sejati itu ada. Cinta sejati adalah ketika kita mencintai diri orang lain apa adanya, tidak adanya kebutuhan terhadap cinta, dan tidak mencintai diri sendiri. Cinta sejati dicirikan dengan ketika perhatian terhadap yang dicintai menimbulkan kepuasan sebagaimana ketika mendapatkan perhatian darinya. Ciri lain dari cinta sejati adalah menghormati yang dicintai, dan memotivasi apa yang menjadi minatnya. Kebahagiaan merupakan perpaduan antara apa yang terbaik untuknya dan apa yang diinginkan untuk diri sendiri. Perhatian akan berakhir untuknya dan tidak akan pernah berakhir. Lalu, apa kemudian penjelasan rasional dari apa yang penulis rasakan? Mari kita bedah dari 2 teori mengenai cinta..

Teori Roda Warna Model Cinta
Pada tahun 1973 bukunya The Colors of Love, John Lee dibandingkan gaya cinta pada roda warna. Seperti halnya ada tiga warna utama, Lee menyarankan bahwa ada tiga gaya utama dari cinta. Ketiga gaya cinta adalah: (1) Eros, (2) Ludos dan (3) Storge. Melanjutkan analogi roda warna, Lee mengusulkan bahwa sama seperti warna primer dapat dikombinasikan untuk menciptakan warna komplementer, tiga gaya utama cinta dapat dikombinasikan untuk menciptakan gaya yang berbeda sembilan cinta sekunder. Sebagai contoh, kombinasi dari hasil Eros dan Ludos dalam Mania, atau cinta obsesif.
Lee 6 Styles of Loving:
Tiga gaya utama:
  1. Eros - Mencintai orang yang ideal
  2. Ludos - Cinta sebagai permainan
  3. Storge - Cinta sebagai persahabatan
Tiga sekunder gaya:
  1. Mania (Eros + Ludos) - Cinta Obsesif
  2. Pragma (Ludos + Storge) - cinta Realistis dan praktis
  3. Agape (Eros + Storge) - Cinta Tanpa Pamrih


Teori segitiga Cinta 
Psikolog Robert Sternberg mengajukan teori segitiga cinta yang menunjukkan bahwa ada tiga komponen cinta: keintiman, gairah dan komitmen. Kombinasi yang berbeda dari ketiga komponen menghasilkan berbagai jenis cinta. Sebagai contoh, kombinasi dari keintiman dan komitmen menghasilkan belas kasih, sementara kombinasi gairah dan keintiman menyebabkan gairah cinta.

Menurut Sternberg, hubungan dibangun di atas dua atau lebih elemen yang lebih abadi bahwa mereka didasarkan pada komponen tunggal. Sternberg menggunakan cinta sempurna istilah untuk menggambarkan kombinasi dari keintiman, gairah dan komitmen. Sementara ini jenis cinta adalah yang terkuat dan paling bertahan, Sternberg menunjukkan bahwa jenis cinta ini jarang terjadi.

Memahami Datangnya Cinta…
Kemampuan secara fisiologis untuk menemukan pasangannya dimiliki oleh semua makhluk hidup. Namun untuk kasus sindrom Cardinal de Richelieu, kemampuan dasar ini terfokus pada kondisi fisik termasuk gerak, bau. Sehingga tidak sembarangan orang yang melintas dalam kehidupan kita dengan sendirinya menjadi cinta.. akan ada selalu proses seleksi dengan cara ini. Biasanya kandidat yang dianggap potensial akan mencoba membangun komunikasi, dalam kadar yang lebih tinggi intensitasnya akan bertambah. Disisi lain, ketidakmampuan seseorang untuk menemukan cinta dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu: kendala geografis, mobilitas, hambatan berkomunikasi. Faktor kendala geografis dan mobilitas sangatlah dekat, meskipun tidak sama. Sederhananya kedua faktor itu mewakili keadaan seseorang yang tidak menemukan jodohnya bukan karena minimnya persinggungan dengan orang lain. Minimnya referensi orang yang melintas dalam kehidupannya menjadikan yang bersangkutan kesulitan untuk menemukan cintanya.Selain itu, Hambatan komunikasi bermakna ketidakmampuan seseorang untuk bertanya, menjawab, menyampaikan pemikiran termasuk juga ketiadaan alat komunikasi. Bersyukur dengan berkembangnya teknologi komunikasi, orang-orang punya kesempatan lebih besar menemukan jodohnya tanpa terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rutinitasnya. Walau apabila kita berbicara budaya postmodernistik, karena teknologi itu juga orang dapat kehilangan kemampuan kepekaan serta keluwesan dalam berkomunikasi. Ketika orang terlalu mengandalkan teknologi dalam menjalin komunikasi selama penjajakan berpeluang mengalami ’kekeringan’ komunikasi (baca lagi saja ya soal simulacrum dan dekonstruksi makna privasi di diskusi kita terdahulu.. kalau penulis menjelaskannya lagi, bisa-bisa diskusi kita yang satu ini tidak akan pernah usai.. hehehe).
 
Walaupun begitu cinta menemukan cara yang unik untuk menunjukan eksistensinya.. cinta seolah menyatukan dua mahluk tetapi tidak meleburkan pribadinya kerena daya tarik cinta terletak pada keunikan masing-masing pribadi. Yang dimaksud dengan penyatuan ini adalah kemauan berpartisipasi secara aktif dalam ruang kehidupan yang sama untuk saling mendukung pertumbuhan serta perkembangan dua pribadi dengan segala keunikan dari masing-masing. Cinta itu sendiri mencerminkan kerendahan hati kepada orang yang memanggilnya, kesediaannya kepada orang yang di panggil. Dalam cinta timbul kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. “mencintai” selalu mengandung imbauan (invocation) kepada sesama.
 
Sebagaimana manifestasi cinta, manusia memiliki berbagai lambang atau simbol untuk mengungkapkanya. Simbol tersebut memberikan suatu makna komunikasi cinta pada seseorang, lalu kemudian dari simbol tersebut memberika reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan oleh seseorang. simbol yang dilambangkan dalam hal ini merupakan ciri khas dari intraksi antar manusia. Dari kekhasannya , bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendifinisikan terhadap tindakan. Bukan hanya sekedar reaksi belaka akan tetapi didasarkan atas makna yang diberikan tindakan orang tersebut untuk memberikan rasa cinta pada seseorang. Sebagai contoh dikatakan oleh filsuf islam , al-kindi: “jika bau sedap malam dicampur dengan bau mawar itulah bau cinta”. Cinta hanya dapat di ilustrasikan dengan memberi bukan meminta sebagai dorongan mulia untuk menyatakan eksistensi dirinya atau aktualisasi dirinya kepada orang lain. Kesanggupan untuk mencintai seseorang lahir karena berakar dari kesanggupan untuk mencintai. Cinta bukanlah seperangkat pelampiasan nafsu terhadap sesama akan tetapi sebuah gerakan untuk menyatakan esensi diri sebagai mahluk yang punya rasa cinta.

Kritik Mengenai Pemahaman Cinta
Hupft… Penikmat kopi sekalian… ada senuah kesimpulan menarik mengenai diskusi kita kali ini. Bahwa cinta bukan hal yang sederhana dan mudah penulis pahami. Selalu ada pola dan perspektif baru ketika penulis memahami cinta dalam sebuah kesimpulan. Apakah ini kenapa cinta menjadi perpanjangan tangan Tuhan di dalam hidup manusia? Bagai sebuah misteri yang tidak akan pernah terpecahkan… cinta selalu memekarkan mawar Cardinal de Richelieu di dalam diri setiap manusia. Karena penulis dan penukmait kopi sekalian juga yakin bahwa dengan datangnya cinta.. ada sebuah harapan akan datangnya kebahagian..
Sekian dulu ya.. penulis akan menikati mekarnya Cardinal de Richelieu ini.. Regards…