Kamis, 12 Agustus 2010

Dekonstruksi Cinta

“JAKARTA - Tingkat perilaku seksual dengan berganti pasangan pada kalangan remaja di Indonesia ternyata setiap tahun meningkat. Dokter ahli penyakit kulit dan kelamin dr Arie Muhandari mengaku, jumlah pasien usia remaja sekitar pelajar SMP dan SMA yang datang untuk berkonsultasi kepadanya terus bertambah.” (RCTI/RCTI/ahm, dalam http://news.okezone.com, Minggu, 13 Juni 2010 - 13:29 wib)

Tahun 2005, seorang peneliti bernama I Wayan Rasmen Adikusuma melakukan penelitian mengenai perilaku seksual remaja SMU di Surakarta. Subjek penelitian ini berjumlah 1.250 orang, berasal dari 10 SMU di Surakarta yang terdiri atas 611 subjek laki-laki dan 639 subjek perempuan. Subjek yang melakukan hubungan seksual dari 462 subjek laki-laki yang berpacaran ditemukan 139 orang (30,09%), yang mengaku telah melakukan hubungan seksual dari 469 subjek perempuan yang berpacaran ditemukan 25 orang (5,33%). Alasan mereka melakukan hubungan seksual sebagai bukti rasa cinta pada subjek laki-laki 57 orang (38,51%), sedangkan pada subjek perempuan 6 orang (24%); dengan alasan diperkosa atau dipaksa pada subjek laki-laki 4 orang (2,70%) pada subjek perempuan 2 orang (8%). (http://ejournal.unud.ac.id, 5 Mei 2005)

Anda merasa heran? Menurut penulis, “heran” adalah kata yang rancu jika kita melihat kutipan diatas. Kata ini rasanya sudah tidak sepenuhnya relevan jika kita menilik kehidupan disekitar kita. Apapun pendapat para pembaca, sex bebas merebak dalam kehidupan remaja masyarakat Indonesia. Dan tentunya membuat para ahli agama, budayawan, atau bahkan orang tua menggigil ketakutan. Ada yang menganggap bahwa sex bebas di kalangan remaja merupakan rekonstruksi budaya barat, pengaruh pergeseran zaman, dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai tanda dari kiamat. Walaupun berbagai macam kajian akademis membedahnya secara kualitatif maupun kuantitatif, pada akhirnya tidak ada titik balik dalam mengikis fenomena yang dianggap destruktif ini.

Hal yang menarik adalah ketika perasaan cinta dijadikan alasan dalam perilaku seks bebas. Melirik penelitian yang penulis telah sampaikan diatas, pelaku seks bebas adalah para remaja yang menyandang status berpacaran dan cinta adalah landasan yang mereka yakini.

Cinta seakan tidak pernah habis untuk dibicarakan, tidak pernah lekang untuk dikisahkan, tidak pernah basi untuk didiskusikan. Setiap orang berbeda-beda dalam memanifestasikan cinta. Dalam kajian Eric Fromm, cinta adalah sebuah perasaan ingin membagi bersama sebuah perasaan atau afeksi terhadap seseorang. Dimana cinta juga diartikannya sebagai sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut (Erich Fromm, The Art of Loving, 2005). Mungkin juga cinta dapat dijelaskan melalui teori Sigmund Freud yang berpendapat bahwa cinta manusia digerakkan oleh id (insting). Namun, dari dua penafsiran psikologi mengenai bentuk cinta hanya ditemukan sebuah titik multi tafsir terhadap afeksi emosi cinta itu sendiri. Banyaknya pemaknaan yang muncul mengakibatkan sebuah dekonstruksi cara berpikir dalam memaknai kehadiran cinta.

Selanjutnya, dekonstruksi besar terhadap penegertian cinta dapat menciptakan dunia tanpa batas mengenai persepsi setiap orang terhadap cinta. Menurut penulis, sangatlah mungkin konsep-konsep kepribadian dan perilaku sex bebas selalu menjadi bahasan yang sangat clasical behavior. Sayangnya, ketika perilaku sex bebas terjadi terus berulang dan bahkan bertambah, sudut pandang clasical behavior hanya menangkap pengulangan perilaku tersebut secara terus-menerus. Hal ini dikarenakan semakin maju pemikiran seorang manusia, maka ia tidak akan selalu berada pada batas salah dan benar layaknya norma bekerja. Namun, ia akan juga berada pada keputusan-keputusan pembenaran diri akibat pemaknaannya terhadap sebuah objek walaupun dengan diindahkannya norma dan moral.

Sayangnya, Belum ada kajian yang mengakar mengenai bagaimana bentuk cinta para pelaku fenomena seks bebas yang terjadi di masyarakat kita. Kajian yang terkucil karena keabsurdannya ini yang mungkin dapat membuka kotak pandora bagaimana cinta terdekonstruksi dari pengertian-pengertian yang sebenarnya telah dijaga oleh norma-moral disekitar kita.

dikemukan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Stevens-Long & Cobb, 1983). Pemahaman mengenai seksualitas seseorang merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas personal yang stabil, karena dengan mengembangkan sikap yang sehat mengenai keberadaan diri sebagai makhluk seksual, seseorang juga memahami nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan batasan-batasan yang dimilikinya; dan akan memampukannya untuk dapat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri (Shibley, 1997).

Salah satu cara untuk memenuhi pemahaman sexualitas itu adalah dengan mengembangkan cinta. Cinta itu sendiri mengandung elemen ketertarikan seksualitas. Mereka yang menarik secara seksual, juga menarik untuk dicintai. Ini artinya terdapat hubungan yang sangat erat, atau malah integral antara cinta dan seksualitas. Cinta bahkan mengalami kerancuan antara cinta penuh hasrat (passionate love) dengan hasrat seksual. Namun, tentu logika kita semua lebih menerima jika mengatakan, ‘aku cinta kamu’ daripada mengatakan ‘aku berhasrat padamu’.

Disisi lain, memasuki tatanan sosial, cinta memiliki makna yang cukup berbeda. Anindita Rida Ika seorang bloger yang biasa menulis kajian-kajian Islam memiliki pandangan bahwa cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya. Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan. Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik (www.cintaislam.wordpress.com). Dimana setiap orang memiliki kerterikatan moral dalam mengekspresikan cinta mereka.

Hal ini meyakinkan penulis bahwa terjadi sebuah dekonstruksi dari pemaknaan cinta. Cinta yang berupa emosi dalam meraih kepuasan sexual berubah oleh nilai dan moral yang terkandung dalam norma yang berlaku dalam tatanan sosial. Sayangnya makna “cinta” yang telah disucikan oleh norma yang berlaku akan berubah kembali di mata pelaku fenomena sex bebas. Entah nilai norma tersebut dianggap mengekang terlalu kuat, sehingga fenomena sex bebas dapat terus meluas. Dengan pisau kajian psikologi diharapkan fenomena ini dapat terbedah lebih dalam terutama dengan mengenal salah satu faktor terjadinya sex bebas yaitu “cinta” itu sendiri.

Remaja dan Sexualitas
Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun.

Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya.

Masa remaja menjadi sebuah titik balik dalam perkembangan seksualitas karena menandakan awal mula seseorang bertingkah laku seksual karena memiliki motivasi seksual yang disadari bermakna seksual secara eksplisit, oleh diri sendiri dan orang lain (Steinberg, 2002). Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka (Steinberg, 2002).

Berpacaran dan Sex
Berpacaran secara morfologis darikata dasar "pacar"yang artinya terman lawan jenis yang tetap dan mempunyaihubungan berdasarkan cinta kasih (KBBI, 1996: 711). Berpacaran artinya bercintaan; berkasih-kasihan (KBBI, 1996: 711). Jadi model berpacaran penentu pilihan calon penganten ialah pola perkawinan dalam penentuan calon pengantenditentukanoleh si pria atau wanita itu sendiri dengan jalan mencari ternan lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan cinta kasih atau dua insan yang berbeda jenis itu melakukan bercintaan atau berkasih-kasihan. Dalam melakukan hubungan cinta kasih atau bercintaan ini dengan maksud untuk menyelidiki atau mengetahui keadaan masing-masing individu, seperti bagaimana wataknya, bagaimana keadaan keluarganya? Apabila hasil penyelidikan itu membawa hasil yang memuaskan atau cocok bagi masing - masing individu, maka berpacaran tetap berlangsung dan tentunya perkawinan akan terjadi. Sebaliknya hasil penyelidikan itu tidak memuaskan atau cocok bagi masing-masing individu atau salah satu individu, maka putuslah berpacaran.

Pacaran dianggap sebagai pintu masuk hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual pra nikah sebagai wujud kedekatan antara dua orang yang sedang jatuh cinta (De Guzman & Diaz, 1999). Tanpa adanya komitmen yang jelas mengenai batasan pacaran, kadang tanpa disadari atau direncanakan, remaja dapat terbawa untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya.

Sepertinya ada perbedaan pandangan mengenai konsep pacaran diantara laki-laki dan perempuan. Kutipan di awal tulisan merupakan pendapat seorang informan laki-laki yang sudah aktif seksual, namun tetap menganggap bahwa pacaran seharusnya lepas dari hubungan seksual, apalagi jika sudah pasti akan menikah. Pacaran tidak selalu berakhir dengan pernikahan karena sekedar mencari kecocokan atau ketidakcocokan. Temuan tersebut didukung penelitian sebelumnya oleh Saifuddin & Hidayana (1999). Informan laki-laki dalam penelitian itu menganggap pacaran sebagai pengalaman yang tidak selalu harus berakhir dengan pernikahan karena sebagian besar dari mereka masih dalam taraf ingin mencoba-coba dan belum berpikir ke arah pernikahan saat berpacaran. Hal sebaliknya terjadi pada remaja perempuan, yang sebagian besar menganggap pacaran sebaiknya berakhir dengan pernikahan karena memikirkan masa depan mereka.

Adanya perbedaan pandangan tersebut pulalah yang mungkin menyebabkan remaja perempuan tidak berdaya sehingga bersedia menyerahkan diri sepenuhnya kepada pacar laki-lakinya. Padahal, jika memang ternyata tidak ada kecocokan, maka pacar laki-lakinya akan dengan mudahnya meninggalkan pacar perem-puannya walaupun mereka berdua sudah melakukan hubungan seksual. Jika hal itu yang terjadi, sangatlah disayangkan karena pihak perempuanlah yang menanggung kerugian terbesar.

Alasan yang dikemukakan dalam berhubungan seksual biasanya sebagai bukti cinta, sayang, pengikat hubungan, serta berencana untuk menikah dalam waktu dekat. Namun demikian, sering terjadi hubungan seksual pertama tidak selalu diawali dengan permintaan lisan tetapi dengan stimulasi atau rangsangan langsung terhadap pasangannya, sehingga informan perempuan yang pada awalnya menolak, pada saat itu sudah terangsang sehingga tidak mampu menolak lagi.

Dengan demikian, alasan menuruti keinginan pacar untuk berhubungan seksual cukup banyak antara lain sebagai bukti cinta dan sangat mencintai pacar, akan menikah, agar menjadi miliknya sepenuh-nya, dorongan seks, ingin mencoba, takut mengecewakan, takut diputus dan tidak sadar sepenuhnya.

Padahal, apabila sejak awal sudah ditegaskan batasan pacaran, tetapi salah satu pihak tetap ada yang memintanya, maka pasangannya dapat mengingatkan kembali komitmen yang sudah dibentuk dari awal tersebut, sehingga tidak perlu timbul rasa penyesalan atau bersalah dan kasihan terhadap pacarnya yang ia tolak ajakannya. Dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan. Terjadinya hubungan seksual di bawah paksaan bukanlah merupakan hubungan yang sehat karena adanya dominasi satu pihak.


Cinta
Cinta adalah sebuah terminologi manusia yang membuat kita memuja layaknya dewa, dimasa ia merasa menemukan pasangan yang ideal bagi dirinya. Penulis merasa ketika kita bisa mengartikan arti cinta itu sendiri, banyak pintu yang kemudian akan terbuka. Mereka yang tidak menyukai kata cinta menyebutnya dengan tanggung jawab. Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan. Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian. Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir. Menggelitik memang jika kita membicarakan soal cinta dalam tatanan yang sangat luas.

Cinta didasarkan atas pengalaman-pengalaman yang dipengaruhi kepribadian. Pengalaman-pengalaman yang ikut membentuk kepribadian di dalam jatuh cinta dapat kita jabarkan ke dalam dua asumsi:
Yang pertama adalah pengalaman yang umum, yaitu yang dialami oleh tiap-tiap individu dalam situasi tertentu. Pengalaman ini erat hubungannya dengan fungsi dan peranan seseorang dalam interaksi disekitarnya. Misalnya, sebagai laki-laki atau wanita seseorang mempunyai hak untuk saling mencintai siapapun. Sehingga kepribadian seseorang tidak dapat sepenuhnya diramalkan atau dikenali hanya berdasarkan pengetahuan tentang hal umum yang berlaku dimana orang itu hidup. Hal ini disebabkan karena: 
  • Pengaruh sosial terhadap seseorang tidaklah sama karena medianya (orang tua, saudara, media massa dan lain-lain) tidaklah sama pula pada setiap orang. Setiap orang tua atau media massa mempunyai pandangan dan pendapatnya sendiri sehingga orang-orang yang menerima pandangan dan pendapat  yang berbeda-beda itu akan berbeda-beda pula pendiriannya.
  • Tiap individu mempunyai pengalaman-pengalaman yang khusus, yang terjadi pada dirinya sendiri.
Kedua, Pengalaman yang khusus, yaitu yang khusus dialami individu sendiri. Pengalaman ini tidak tergantung pada status dan peran orang yang bersangkutan dalam masyarakat.

Pengalaman-pengalaman yang umum maupun yang khusus di atas memberi pengaruh yang berbeda-beda pada tiap individu-individu itu pun merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara berbeda-beda pula sampai akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu stuktur kepribadian yang tetap (permanen). Menurut Skinner, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu poin yang faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama-sama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pula pada individu tersebut. Bagi Skinner, studi mengenai kepribadian itu ditujukan pada penemuan pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organisme dan berbagai konsekuensi yang diperkuatnya. Hal ini bersifat rasional dimana cinta bukan merupakan kajian mengenai sesorang, melainkan juga terkait dengan individu lainnya.

Sedangkan Erich Fromm berpendapat bahwa sebagai organisme yang hidup, kita didorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Apa yang penting dalam mempengaruhi kepribadian ialah kebutuhan-kebutuhan psikologis. Semua manusia sehat dan tidak sehat didorong oleh kebutuhan-kebutuhan tersebut, perbedaan antara mereka terletak dalam cara bagaimana kebutuhan-kebutuhan ini dipuaskan. Orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis secara kreatif dan produktif. Orang-orang yang sakit memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara-cara irasional. Dan cinta bekerja sebagai elemen yang mempengaruhi kepribadian itu sendiri.

Psikologi sudah lama tertarik dengan konsep jatuh cinta. Hanya saja masalahnya, sebagai sebuah konsep. Jatuh cinta sedemikian abstraknya sehingga sulit untuk didekati secara ilmiah. Dalam tulisan ini dipilih teori seorang psikolog, Robert Sternberg. Yang telah berusaha untuk menjabarkan cinta dalam konteks hubungan antara dua orang. Sternberg terkenal dengan teorinya tentang “Segitiga Cinta”. Segitiga cinta itu mengandung komponen; (1). Keintiman (Intimacy), (2). Gairah (Passion) dan (3). Komitmen (Robert Stanberg; Santrock;2002).

Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust), dan keinginan untuk membina hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama.

Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada tiap-tiap orang berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga komitmen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar (dalam beberapa budaya) harus disertai dengan komitmen yang lebih besar, misalnya melalui perkawinan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada perilaku jatuh cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orang tuanya saling mengekspresikan perasaan cinta mereka. Hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah romantis sampai yang horor, dsb. akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Karenanya setiap orang disarankan untuk menyadari kisah cinta yang ditulis untuk dirinya sendiri.

Daftar Pustaka
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California: Sage Publications, Inc.
Fromm, Erich. 2005. The Art of Loving. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Galperin, Andrew. 2010. Predictors of How Often and When People Fall in Love. Journal  Communication Studies and the Department of Psychology, University of California. Di unduh dari www.epjournal.net.
Gerow J. 1996. Essential of psychology, 2nd edition, New York, Harper Collins College Publisher.
Santrock. 2002. Life-span development: Perkembangan Masa Hidup, edisi 5 (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar