Kamis, 29 Juli 2010

From Facebook With Postmodrenism

Setelah terciptanya sebuah ruang publik, tugas baru dari para pengguna Facebook adalah mempertahankan keberadaan ruang publik itu sendiri. Hal ini mengakibatkan peran seringnya individu dalam mengakses jaringan internet menjadi sangat penting. Keadaan yang diciptakan oleh pasar ini, membentuk sebuah tatanan keadaan palsu dimana individu pengguna Facebook diharuskan mengakses situs jejaring sosial Facebook demi eksistensinya di dunia maya tersebut. Dengan atas nama masyarakat modern, penghilangan logika kritis manusia dijadikan alat teknologi media dalam mengontrol sebuah ruang publik yang telah terbentuk akibat lahirnya situs jejaring sosial Facebook. Melihat hal ini diharapkan pertanyaan, “Bagaimana pengguna Facebook memakanai kehadiran teknologi internet?” dapt terjawab dengan juga melihat munculnya kritik-kritik terhadap modernitas.

Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi ini yang menjadikan gugatan besar antara postmodernisme terhadap modernisme.

Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiper-realitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.

Bagi Horkheimer, modernitas dicirikan dengan fakta bahwa hilangnya pesona yang sama, sehingga agama dan metafisika pun berhasil melampaui tahap pemikiran mistisnya, telah menghilangkan pandangan dunia yang dirasionalkan itu sendiri, yaitu luntur kredibilitas prinsip teologis dan ontologis-kosmologis. Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.

Ketika penempatan manusia sebagai objek oleh modernitas diartikan sebagai penumpulan kesadaran kritis. Jean Baudrillard memahami bahwa ketika kita mengonsumsi objek, maka kita mengonsumsi tanda, dan sedang dalam prosesnya kita mendefinisikan diri kita. Oleh sebab itu, kategori objek dipahami sebagai produksi kategori persona. Lebih lanjut Boudrillard mengatakan bahwa:

Melalui objek, setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan, semua berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi. Melalui objek masyarakat terstratifikasi...agar setiap orang terus pada tempat tertentu.

Inilah yang dihadapi ketika kita berhadapan dengan modernisasi global layaknya situs jejaring sosial Facebook. Menurut Noam Chomsky terdapat konsepsi dimana publik memiliki alat yang cukup berpengarauh (media teknologi) untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri. Disamping itu, alat-alat informasi mereka bersifat terbuka dan bebas. Namun, terdapat konsepsi lain yang menurut Chomsky perlu diperhatikan. Konsepsi itu adalah publik harus dihalangi dalam usahanya mengatur urusan mereka, dan alat-alat informasi senantiasa dikontrol secara ketat. Pada akhirnya Chomsky mengambil sebuah pandangan bahwa media (dalam bentuk apapun) memiliki kepentingan, yang tanpa sadar mengontrol massa demi kepentingannya.

Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas tersebut menciptakan dampak yang tidak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses kerusakan ini. Beck dalam bukunya “Risikogesellschaft: Auf dem Weg in eine andere Moderne” menyebut proses modernitas semacam itu sebagai “masyarakat risiko”. Individuasi adalah proses sosial yang tak terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar