Kamis, 29 Juli 2010

Sektor Informal

Selama ini, belum ditemukan definisi sektor informal yang jelas. Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.

Fenomena sektor informal menjadi wacana umum di negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data indikator ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).

Sektor informal memang menjadi alternatif pilihan kerja bagi masyarakat dunia ketiga, karena banyak masyarakatnya menganggap bahwa sektor informal lebih menjanjikan dan menarik untuk digeluti ketimbang sektor formal yang membebankan banyak syarat. Seperti yang kita fahami bersama selama ini, sektor informal identik dengan kualitas pendidikan, kesempatan kerja seseorang di sektor informal ditentukan oleh seberapa tinggi kualitas pendidikannya, sedangkan realitanya saat ini pendidikan mahal, belum tentu menjanjikan keberhasilan. Apalagi di ilmu-ilmu yang tidak ada hubungan langsung dengan sektor formal.

Pendidikan seolah justru menjadi momok tersendiri bagi sebagian besar masyarakat menengah ke bawah, bayangkan saja jika waktu dan biaya yang dihabiskan untuk sekolah belum bisa memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan ekonomi seseorang, ditambah jika ia telah menyelesaikan studinya (wajib belajar 9 tahun) saat ini seolah tak berarti jika harus menghadapi persaingan kerja, tak akan mampu menang jika harus bersaing dengan lulusan S2, S3, bahkan S1 yang menghabiskan puluhan juta saat ini seolah tak berarti banyak di dunia kerja. Yang bisa memenuhi kebutuhan pendidikan seperti ini hanya kalangan menengah ke atas saja, dan semakin tertutup rapatlah kesempatan kerja formal bagi masyarakat menengah ke bawah dan miskin. Oleh karena itu berkembanglah wacana yang digulirkan masyarakat negara berkembang dengan membentuk sebuah komunitas sektor informal yang mulai berkembang pesat saat ini. Sektor informal yang bermunculan di perkotaan disebabkan oleh besarnya urbanisasi informal. Kebanyakan pemilik sector informal adalah pendatang yang mengembangkan usahanya di perkotaan. Ilmu bisnis justru mereka dapatkan ketika mereka langsung terjun ke lapangan, yang terkadng tidak mereka dapatkan di pendidikan formal, inilah yang terkadang juga semakin menguatkan motivasi dan ketahanan mereka dalam mengembangkan usahanya. Pengembangan ide-ide kreatif yang tidak hanya mereka manfaatkan sendiri sebagai alat pemenuhan kebutuhan ekonomi tetapi juga dibutuhkan oleh masyarakat menengah dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih terjangakau.

Sektor informal justru menjadi solusi peningkatan pendapatan masyarakat, solusi pengentasan kemiskinan, namun perkembangan sektor informal ini perlu dibingkai oleh pemerintah agar menjadi lebih rapi dan terstruktur sehingga sektor informal benar-benar diakui keberadaannya oleh masyarakat umum. Perkembangan pesat sektor informal ini bukan berarti mengesampingkan pendidikan, pendidikan tetap dibutuhkan, namun alangkah lebih baiknya jika ditunjang dengan jaminan pendidikan yang memadai dari pemerintah, benar-benar mengoptimalkan proporsi subsidi pendidikan untuk pemerataan kulaitas pendidikan, sehingga tidak menjadikan jurang kesenjangan si kaya dan miskin semakain menganga. Dan pemerataan pendapatan semakin nampak nyata, tentu hal ini yang menjadi harapan semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar