Senin, 14 Maret 2011

Exchange Theory of Foot Ball Supporter

Suporter Sepakbola

Sepakbola merupakan salah satu olahraga yang sangat popular di Indonesia bahkan di dunia. Olahraga ini mampu menyedot animo untuk menyaksikan pertandingan baik yang disirakan langsung ataupun di stadion. Suporter merupakan elemen penting dalam sepakbola Indonesia. Tanpa hadirnya suporter, sepakbola Indonesia seperti daging tanpa tulang, lembek dan tak mampu berdiri dan hanya akan menjadi seonggok benda mati yang tidak berguna.

Suporter sepakbola masih sering menjadi tema sentral pembahasan dan diskusi khalayak, kehadirannya terkadang menyelinap diantara tema-tema penting dan panas lainnya. Terlebih apabila ada peristiwa penting dalam pertandingan sepakbola, atau ada hal yang khusus terkait dengan ulah para supporter sepakbola pendukung sebuah kesebelasan.

Suporter berasal dari akar kata “suporter “, dari kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris to support dengan akhiran (suffict) –er.  To support mempunyai arti mendukung, sedangkan untuk akhiran –er menunjukkan pelaku. Kalau ditarik maknanya maka suporter berarti sebagai orang yang memberikan dukungan atau suport  tertentu pada ikhwal tertentu pula. Suporter bersifat aktif, memberi dukungan dengan dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme tertentu (Triyono, 2008).

Di Indonesia, kita mengenal banyak sekali klub-klub sepakbola terkenal seperti Arema Indonesia, Persija, Persebaya, Persipura, Sriwijaya FC dan masih banyak lagi. Salah satu yang mendongkrak popularitas dan kinerja para pemain di lapangan adalah Suporter. Aremania, The Jackmania, Bonekmania, Viking, adalah contoh dari sekelompok orang yang dengan sukarela berpanas-panasan mengantri tiket masuk pertandingan, mengeluarkan uang transport untuk mendukung tim kesayangannya yang bertanding di luar daerah, menyanyi, menari, dan meneriakkan yel-yel penyemangat selama pertandingan berlangsung. Mereka juga sumber pendapatan sekaligus kekuatan klub sepakbola yang mereka dukung.

Klub Sepakbola Indonesia
Dengan berkembangnnya zaman Dunia sepakbola Indonesia memasuki babak baru untuk menuju industry sepakbola. Kepastian telah didengungkan secara meyakinkan dana APBD dilarang oleh pemerintah dengan terbitnya undang-undang no. 57 tahun 2000 (http://www.ongisnade.net, diakses 2 November 2010). Disisi lain terbitnya undang-undang ini disusul dengan terbitnya peraturan dari PSSI yang menyatakan bahwa untuk memasuki sepakbola industry harus mencakup lima komponen. Lima komponen ini juga sebgai sayarat untuk memasuki liga super sebagai lokomotif industry sepakbola indoensia. Namun demikian secara langsung hal ini juga berdampak langsung terhadap divisi utama terutama dalam masalah keuangan. Jika berbicara klub profesonal berarti harus mencakup lima aspek yakni:
  • Berbadan hukum
  • Pendidikan dan latihan - youth development
  • Kualifikasi personil dan manajemen profesional
  • Infrastruktur
  • Keuangan mandiri
Keluarnya undang-undang di satu sisi membuka kesempatan kepada semua element sepakbola nasional untuk membuka wacana baru dalam pengelolaan klub sepakbola indonesia. Disisi lain terbitnya undang-undang ini disambut dengan gembira sebagai ajang untuk membangun sepakbola yang mandiri, namun demikian disisi lain ternyata membuat klub semakin tidak berdaya untuk mengikuti kompetisi. Hal ini pada akhirnya diakali dengan menggaet kepala-kepala daerah sebagai pengurus tetap suporter, yang pada akhirnya akan berujung pada penggelontoran dana APBD ke ranah sepakbola yang notabennya dalam taraf dimandirikan oleh pemerintah.

Hubungan Kolaborasi Suporter Sepakbola Dengan Klub Sepakbola
Apa jadinya sebuah tim yang hebat tanpa adanya supporter? mungkin beragam dampaknya apabila terjadi demikian, bisa pemainnya rawan drop karena kurang bersemangat, loyo, dan lain-lain. Selain dampak tersebut mungkin dari sisi bisnis maka klub hebat tersebut akan kehilangan potensi bisnis yang dahsyat. Pendapatan dari industri sepakbola yang akan dialami klub tentu akan menemui beberapa kendala serius. Pendapat dari tiket pertandingan tidak bisa diharap, pendapatan dari sponsor mulai tempat pertandingan, kostum tim, sepatu, dan pernak-pernik lainnya. Padahal disinilah peluang klub/tim mengeruk pendapatan untuk membiayai industri olahraga yang dikelolanya, biaya-biaya tersebut untuk menutup operasional seperti belanja pemain, biaya pertandingan, dan lain-lain. Jadi tidak dapat terelakkan lagi bahwa keberadaan supporter adalah hal yang vital bagi klub sepakbola, mereka menjadi pilar penyanggah panji-panji kebesaran tim/klub sepakbola. Karenanya para pengelola industri olahraga sepakbola untuk memberikan perhatian yang serius dalam membina kualitas suporternya, kuantitas penting tapi kualitas juga tidak kalah penting.

Dimana ada pendapat dari seorang suporter Slemania mengatakan bahwa kelompok manusia yang mengatasnamakan diri sebagai suporter, namun hanya bernyanyi dan berteriak di dalam stadion bukanlah suporter. Lebih tepat kelompok ini disebut dengan simpatisan klub. Suporter sejati atau suporter yang dewasa bukan hanya sekedar mampu menerima kekalahan klubnya, tetapi mampu memberikan sebuah solusi bagi kemajuan klub yang didukungnya. Dalam organisasi klub, suporter layak mendapat tempat sebagai kelompok yang boleh memberikan suara. Bahkan dalam industri sepakbola maju, yang pengelolaan klubnya sudah terbuka dan profesional, suporter juga bisa menjadi pemilik klub dengan menanamkan sahamnya (Triyono, 2008).

Teori Identitas Sosial dan Fanatisme Suporter

Teori Identitas Sosial ini dipelopori oleh Henri Tajfel (1957) dalam upaya untuk menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok, dan perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah non-reduksionis, yaitu membedakan antara proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi harus dibedakan antara proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari orang lain) dan proses identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang dengan ciri-ciri tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam suatu kelompok tertentu).
 Kelompok berbeda dari perilaku individu. Yang termasuk dalam perilaku kelompok antara lain ethnosentrisme, ingroup bias, kompetisi dan diskriminasi antar kelompok, stereotip, prasangka, uniformitas, konformitas, dan keterpeduan kelompok. Menurut teori ini, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial yang rumit.

Mengapa orang menjadi begitu fanatik tentang tim sepakbola? Mereka membeli kaus, atau membayar uang untuk tiket? Dengan menggunakan kacamata Teori identitas sosial pada penggemar olahraga, membantu untuk menjelaskan perilaku mereka. Identitas teori sosial menyatakan bahwa orang termotivasi untuk berperilaku dengan cara mempertahankan dan meningkatkan harga diri mereka. Memiliki harga diri tinggi biasanya mempersepsi diri sendiri sebagai bagian dari tim atau bagian yang kompeten secara moral kedalam tim. Atribut ini membuat orang lebih terikat secara sosial di dalam lingkungan dan membuatnya lebih diinginkan untuk orang lain apabila berada dalam hubungan yang positif dengan mereka.

Tanpa harga diri dan aspek positif yang membawa ke dalam hidup seseorang, seseorang merasa sendirian dan terisolasi dan menyebabkan kecemasan yang mendalam bagi orang tersebut. Olahraga dapat bekerja untuk meningkatkan harga diri untuk orang dengan asosiasi dan afiliasi. Dengan mengenakan warna tim, menghadiri setiap pertandingan, dan mengetahui semua nama pemain, posisi dan statistik, penggemar mulai merasa seolah-olah mereka merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tim. Karena itu, ketika tim tidak berada dalam posisi kekalahan, mereka merasa harga diri yang tinggi dapat terhubung dengan tim seolah-olah mereka sedang bermain permainan sendiri.

Hubungan ini menjelaskan bahwa suporter mengembangkan in-group favoritism yang membantu seseorang mengembangkan identitas sosial dengan melampirkan dirinya dan mencapai keanggotaan kelompok dalam kelompok yang memiliki nilai dan makna bagi mereka (Tajfel, 1972). Klub sepakbola kemudian berusaha untuk bergabung dan mempertahankan keanggotaan dalam kelompok-kelompok yang memiliki paling potensial untuk berkontribusi positif padanya identitas dan karena itulah harga diri mereka diperkuat.

Ketika tim mengalami kekalahan, teori identitas sosial menyatakan bahwa seseorang masih akan melihat tim secara positif karena ancaman kekalahan adalah bagian dari pengalaman untuk dirinya sendiri atau harga dirinya, dan dikarenakan orang tersebut telah mengidentifikasi dirinya menjadi bagian dengan tim. Fenomena melihat kekalahan klub sepakbola seseorang sebagai hal positif setelah kekalahan, ini disebabkan pula oleh bias dan perilaku diskriminatif suporter terhadap klub lain, dan suporter akan menerapkan suatu kerugian atau kekalahan sebagai isyarat eksternal daripada melihat kesalahan tim mereka sendiri. Suporter sejati sudah tentu juga meningkatkan rasa identitas dengan membuat perbandingan keluar kelompok.

Potensi dan Dinamika Kolaborasi Antara Suporter Sepakbola dan Klub Sepakbola

Menurut Noordin Halid (http://www.pssi-football.com, diakses tanggal 3 November 2010), terdapat empat komponen yang dapat dikembangkan melalui industri persepakbolaan, yaitu:
  • Sepakbola berkualitas mengangkat harkat dan martabat serta kebanggaan bangsa dan negara
  • Sepakbola dapat membangkitkan dan mempertebal rasa kebersatuan (nasionalisme) masyarakat Bangsa yang mengatasi segala perbedaan suku, agama, ras, kasta, dan warna kulit.
  • Sepakbola berpotensi besar menjadi industri raksasa dan ikut menggerakkan perekonomian daerah dan nasional.
  • Sepakbola juga dapat membangun karakter, watak, dan budaya unggul (kultur) masyarakat bangsa (character building) seperti kecerdasan strategis, team-work, sikap solider, egaliter, kerja keras, disiplin, tekad kuat, sportif, menjunjung tinggi hukum dan etika.
Sayangnya dalam dinamika masyarakat, esensi dari kehadiran suporter yang terikat kuat dalam klub yang dicintainya menciptakan budaya Fanatisme. Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Terlampau fanatiknya bahkan suporter “the jak” akan mengatakan “bila dibelah dada ini maka akan keluar darah orange“, bobotoh dan aremania akan bilang darahnya berwarna “biru“, dan bonek mania akan keluar darah warna “hijau“. Itulah contoh bagaimana perumpamaan sebuah kefanatikan yang sudah mendarah daging. rasa bahagia yang meluap bila tim kesayanganya menang berlaga, atau sebaliknya akan timbul rasa amarah, kecewa, menangis, bahkan mengamuk bila tim kesayangannya kalah.

Tidak ada yang salah dari fanatisme terhadap salahsatu klub sepakbola. Dukungan supporter dengan cara-caranya tersendiri terhadap tim kesayangannya adalah hal yang lumrah dalam dunia sepakbola baik nasional maupun internasional. Loyalitas yang berdampingan dengan fanatisme supporter-supporter di tanah air telah menjadi “bumbu-bumbu penyedap” disetiap perhelatan sepakbola di tanah air. Tak jarang hal ini memancing perhatian insan-insan sepakbola internasional yang melihat antusiasme dan fanatisme masyarakat Indonesia terhadap dunia sepakbola sebagai hal yang luar biasa. Fanatisme, antusiasme, dan loyalitas para supporter di Indonesia dapat dikatakan sejajar dengan supporter-supporter di liga-liga internasional. Bahkan Franz Beckenbeuer terkaget-kaget melihat Fanatisme, antusiasme, dan loyalitas para supporter di Indonesia.

Sayangnya atmosfir sepakbola yang bagus ini tidak didukung oleh jiwa sportifitas baik dari kalangan penyelenggara sepakbola, insan-insan yang terlibat langsung dalam sebuah pertandingan sepakbola dan pemain keduabelas dari sebuah tim sepakbola (supporter). Pernyataan ini bukan tanpa bukti, peristiwa-peristiwa seperti kerusuhan, bentrokan, atau perkelahian baik diluar maupun di dalam sebuah pertandingan kerap terjadi.  Kepemimpinan wasit, ketidaksiapan Panpel (baik masalah tiket ataupun kenyamanan selama menonton pertandingan) dan ulah sejumlah oknum dalam memprovokasi keributan adalah contoh-contoh penyulut dari hal tersebut. Dapat digarisbawahi bahwa mental sportifitas rasanya belum sikron dengan fanatisme insan-insan sepakbola di Indonesia.

Satu hal lagi yang paling sering menyulut kerusuhan, bentrokan, atau perkelahian dalam dunia sepakbola di Indonesia adalah masalah rivalitas diantara klub-klub sepakbola. Sebetulnya tidak ada yang salah mengenai rivalitas antara klub-klub sepakbola asal dalam koridor sportifitas. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sulit menghindari gesekan-gesekan antar supporter dalam rivalitas tidak hanya di Indonesia di dunia internasional pun hal ini kerap terjadi. Namun, supporter-supporter di luar sana mungkin bisa mensinkronisasikan antara fanatisme dengan sportifitas sehingga fanatisme mereka tidak jatuh dalam fanatisme yang sempit. Mereka sedikitnya masih bisa menerima perbedaan, bisa duduk berdampingan dalam sebuah pertandingan dengan warna yang berbeda. Itulah yang tidak dimiliki oleh sebagian jiwa-jiwa fanatisme di Indonesia.

Jiwa-jiwa fanatisme sepakbola di Indonesia telah jatuh  kedalam jurang fanatisme yang sempit sehingga mereka sangat sulit menerima perbedaan, mereka telah dibutakan oleh kebencian terhadap rivalnya dan lebih parahnya budaya-budaya seperti ini telah menyebar kepada generasi-generasi baru supporter di Indonesia. Jiwa-jiwa fanatisme sempit ini kemudian menjelma menajadi sebuah komunitas yang khusus menebarkan kebencian-kebencian terhadap rival mereka atau yang lebih dikenal dengan sebutan Divisi Propaganda dari sebuah komunitas supporter. Mereka dapat dibilang sangat pintar dalam menyebarkan propaganda-propaganda yang secara garis besar menyangkut rivalitas. Hal tersebut ditunjang dengan media internet yang sekarang menjadi mudah untuk diakses masyarakat sehingga mereka lebih leluasa dalam melancarkan aksinya.

Dilihat dari segi psikologis, faktor-faktor seperti kebencian-kebencian yang berlebihan, sakit hati atas tindakan-tindakan rival mereka dan egosentris yang menguasai pikiran mungkin menjadi latar belakang mereka bersatu membentuk sebuah divisi propaganda tersebut. Dilain pihak keberadaan suatu divisi propaganda sebuah supporter juga pastinya akan memicu kemunculan divisi propaganda dari supporter-supporter yang lain dan pada akhirnya adu propaganda pun tak dapat dihindarkan.

Hasil dari propaganda-propaganda tersebut dapat dilihat dari nyanyian atau yel-yel ketika sebuah tim bertanding, nada-nada hinaan terhadap klub rival lebih sering terdengar dibandingkan dengan nyanyian atau yel-yel untuk menyemangati pemain ketika bertarung di lapangan.  Atribut-atribut seperti baju dan atribut lain yang bernada hinaan terhadap klub rival juga semakin tersebar luas di masyarakat. Bahkan untuk ukuran anak kecil pun ada, lebih parah pembuatan atribut-atribut yang mengandung unsur rivalitas tidak hanyan diproduksi oleh divisi propaganda saja, produsen-produsen yang hanya memikirkan segi komersil pun ikut meramaikan atribut-atribut yang berbau rivalitas.

Disudut lain, dalam segi ekonomi, sepakbola yang professional adalah salah satu industri yang menggiurkan. Saat ini terdapat kurang lebih 120 klub professional dan lebih banyak lagi klub semi professional, jika setiap klub memilik minimal 23 pemain ditambah minimal 1 pelatih, 1 manajer tim, 3 asisten pelatih (asisten pelatih, pelatih fisik dan pelatih kipper), 1 massieur dan 3 offisial lainnya maka akan terdapat sekitar 3000 lebih lapangan pekerjaan yang menuntut keahlian dan porfesionalisme yang tinggi. Kompetisi dengan atmosfer yang baik (hasil dari pemain yang professional dan ber-skill) akan mengundang perusahaan untuk mensponsori klub dan kompetisi itu sendiri, nilainya dapat bernilai milyaran rupiah dan uang yang berputar dalam bentuk modal dan expenditure pun otomatis akan besar dan hal ini akan merembet kepada iklim ekonomi yang lebih baik pula, sebuah efek domino yang sangat besar. Televisi pun akan berlomba untuk mendapatkan hak siar, nilainya dapat mencapai milyaran juga apalagi jika mendapat hak siar ekslusif. Belum lagi pemasukan dari tiket pertandingan, ribuan orang lebih memilih menonton langsung tim pujaannya di lapangan. Dengan rata rata 20.000 orang per pertandingan (rata-rata penonton Persib di stadion Siliwangi musim 2006/2007) dan harga tiket yang berkisar antara Rp.15.000 sampai Rp.75.000 (harga tiket masuk stadion Siliwangi untuk pertandingan Persib) maka setiap bertanding pemasukan dari tiket mencapai 400 juta lebih. Belum lagi klub yang memiliki stadion dengan kapasitas yang lebih besar.

Daftar Pustaka

http://www.buschenwrote.blogspot.com, diakses tanggal 3 November 2010
http://www.ongisnade.net, diakses 2 November 2010
http://www.pssi-football.com, diakses tanggal 3 November 2010
http://www.detik.com, diakses tanggal 14 Maret 2011
Shaw Marvin E, & Costanzo Philip R,. 1985. Theories of Social Psychology Second Edition. McGraw-Hill, Inc.
Triyono. 2008. Dinamika Sepakbola Indonesia Studi Tentang Strategi Klub PSS Sleman Sebagai Media Iklan Di Era Industri Sepakbola Indonesia. Publikasi Fisipol UGM: Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar