Minggu, 10 Oktober 2010

Globalisasi dan Kemiskinan

Konsep Globalisasi

Dalam tulisan Prof. Tadjuddin Noer Effendi ditegaskan bahwa konsep globalisasi dimaknai sebagai konsep integrasi dunia yang disertai ekspansi pasar (barang dan uang). Tujuannya adalah, bahwa dengan adanya integrasi perekonomian dunia dapat memicu pertumbuhan perekonomian sehingga dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Keyakinan tersebut menimbulkan efek keyakinan lainnya yang menyatakan bahwa integrasi dunia dapat menimbulkan efek ganda dan diharapkan dapat merangsang perluasan dalam peluang kerja dan peningkatan upah riel sehingga kemiskinan berkurang.

Pada dasarnya konsep tersebut tidaklah buruk dan mungkin saja dapat diterapkan dan terbukti, tapi tentunya tidak di negara yang sedang berkembang, lebih dapat diterapkan pada negara yang sudah maju atau dikatakan negara industrialis modern. Karena tentunya negara maju-lah yang memiliki kesempatan atas penguasaan terhadap peluang dan kesempatan karena modal yang mereka miliki. Tentunya masyarakat berkembang yang mayoritas terdiri atas masyarakat miskin tidak sanggup atau sulit untuk menikmati peluang-peluang yang tercipta dan terpuruk ke dalam kemiskinan yang semakin dalam karena hanya mereka yang memiliki uang sajalah yang mampu menikmati peluang-peluang tersebut karena tentunya globalisasi memang terbentuk demikian.

Globalisasi Abad 19 Dengan Globalisasi Abad 21 Serta Implikasinya

Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah hal baru yang muncul sebagai dampak dari modernisasi, industrialisasi dan kapitalisme. Bahkan tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa globalisasi merupakan buah dari keberlangsungan sistem ekonomi makro dan dunia yang memaksa antar negara untuk saling bergantung dan ”menjatuhkan”.

Penjelasan yang tepat mengenai hal tersebut dalam tulisan Prof. Tadjuddin Noer Effendi adalah bahwa globalisasi sesungguhnya merupakan sebuah terminologi baru akan tetapi eksistensinya telah ada sejak lama. Pada abad 19 tentunya sudah muncul gejala globalisasi dimana biasa dinyatakan sebagai sebuah rekaan demokrasi sosial gaya lama (Giddens, 2000: 32-33). Gejala tersebut muncul pada saat terjadi ekspedisi bangsa-bangsa Eropa ke wilayah-wilayah Asia, Amerika Latin, dan Afrika dalam tujuannya untuk penyebaran agama dan pencarian sumber rempah-rempah dan kekayaan sebagai bahan baku produksi di negara mereka.

Negara-negara Eropa melakukan penindasan, pendekatan fisik dan bahkan perang untuk mendapatkan keuntungan dari daerah-daerah jajahan mereka. Bagi daerah jajahan tentunya mereka menjadi sumber kekayaan alam yang digunakan sebagai bahan baku di negara-negara eropa. Tidak hanya itu saja, bahwa pembangunan yang dilangsungkan di negara-negara jajahan adalah sebagai uasaha juga untuk meningkatkan produktivitas supaya keuntungan yang diperoleh akan berlipat ganda apabila produktivitasnya juga meningkat.

Adapun implikasinya pada saat itu adalah, negara-negara jajahan tidak mampu mengembangkan usahanya karena tentunya setiap usaha akan diruntuhkan oleh pihak kolonial dan dianggap sebagai pembangkangan terhadap pihak kolonial. Masyarakat pribumi hanya diperkenankan membangun usaha kecil di wilayah pinggiran. Tidak hanya itu saja tetapi yang lebih menyakitkan adalah bahwa masyarakat pribumi kehilangan segala potensi, daya pikir dan kekuatannya untuk mengembangkan usaha dan hidup lebih sejahtera. Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia bahkan diterapkan kerja paksa untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan yang tentunya ditujukan demi memperoleh keuntungan yang lebih bagi pihak kolonial.

Sedangkan sedikit perbedaan dengan globalisasi abad 21 adalah bahwa pendekatan antar negara tidak lagi memerlukan pelayaran yang lama dalam waktu yang tentunya akan lebih lama juga. Semakin berkembangnya perangkat teknologi dan komunikasi semakin memudahkan ekspansi pasar antar negara berlangsung tanpa waktu yang lama dan dengan biaya yang mungkin di sebagian negara maju menjadi lebih murah.

Dalam proses perluasan wilayah perdagangan ataupun ekonomi, sebuah negara industri kini tidak perlu lagi melakukan pendekatan fisik atau perang sekalipun untuk menjalin hubungan antar negara atau untuk memperoleh keuntungan dari negara-negara berkembang. Kini hanya dengan melakukan pendekatan budaya, poloti di sebuah negara, sebuah negara industrialis akan lebih mudah unduk memperoleh keuntungan pasar dan akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan baku atau untuk pemasaran suatu produk sekalipun.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan matinya industri kecil di negara berkembang. Industri jamu di Indonesia misalnya, akan kalah bersaing dengan minuman suplemen hasil industri maju yang rasanya mungkin lebih enak. Selain itu, dengan mudahnya modal asing masuk ke Indonesia tumbuhlah banyak usaha-usaha yang kemudian diusahakan sebagai jalan untuk pembangunan.

Kesemuanya itu akhirnya berdampak pada saat krisis dimana banyak dari uasaha yang dimodali oleh pihak asing mengalami gulung tikar. Sektor informal tentunya sedikit sekali mengalami atau merasakan dampak dari situasi tersebut karna krisis hanya menyentuh sebagian besar sektor formal terutama usaha-usaha berkembang yang dimotori oleh pihak asing. Akibatnya peralihan pekerja dari sektor formal ke sektor informal menjadi sangat terlihat karena maraknya pemutusan hubungan kerja dari sektor formal pada saat krisis berlangsung.

Kesimpulan

Berdasarkan tulisan Prof. Tadjuddin Noer Efendi, terlihat bahwa apa yang dirasakan pada abad 19 dan abad 21 tebukti bahwa integrasi ekonomi dan ekspansi pasar memberikan sedikit sekali penanggulangan untuk kemiskinan. Memang, pada masa perkembangan globalisasi terjadi industrialisasi besar-besaran di negara berkembang akibat dari industri negara maju yang memicu proses tersebut. Akan tetapi pada akhirnya terdapat indikasi bahwa globalisasi membawa suatu negara pada kecenderungan de-industrialiasasi ketika bahan baku untuk industri habis atau bahkan memicu krisis ekonomi yang tentunya berakibat langsung pada pekerjaan dimana akan banyak sekali terjadi pengangguran. Walaupun masyarakat dapat ditarik ke sektor nformal, namun sangat jelas bahwa sektor informal memiliki ketidakpastian penghasilan yang tentunya hal tersebut akan semakin membuat masyarakat hidup dalam keadaan tidak pasti dan akhirnya terpuruk ke dalam jurang kemiskinan.

Dengan melihat betapa besar implikasi globalisasi terhadap masyarakat menuju kemiskinan salah satu hal yang bisa dilakukan adalah membuka kesadaran masyarakat. Memberikan liberalisasi politik bahwa masyarakat harus sadar dan tahu pasti bagaimana globalisasi dapat membawa mereka pada kemiskinan dengan salah satunya mengurangi gaya hidup konsumtif. Selain itu masyarakat memiliki kesempatan untuk menolak dengan tegas industri asing yang hendak mengambil bahan baku karena akan berdampak buruk pula bagi keberlangsungan alam dan perekonomian bangsa.

Kesadaran adalah hal terpenting. Ketika kesadaran terbentuk di masyarakat bahwa globalisasi mampu menenggelamkan mereka ke dalam jurang kemiskinan tentunya implikasi globalisasi terhadap kemiskinan tersebut dapat dikurangi. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar