Selasa, 09 Agustus 2011

Psikopat dan Korupsi Bagian 2 'fin

Psikopatik dan Tindakan Korupsi
Korupsi selalu nampak seperti wabah dalam kehidupan negara ini. Membunuh kaum papa yang tidak berdaya perlahan-lahan dan seperti penyakit menular korupsi menyebarkan benih-benih dalam diri orang-orang disekitarnya. Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau mendefinisikannya. Namun, mari secara umum pengertian korupsi kita letakan pada ranah psikologis. Hal ini dikarenakan penulis tergelitik untuk masuk ke dalam perspektif tatanan fenomena psikopat, dimana korupsi adalah sebuah tindakan psikopatik.

Mengapa tindakan korupsi terkait psikopatik? Dalam bukunya yang berjudul Without Conscience: The Disturbing World of the Psychopaths Among Us (Hare, 1993), Hare mengkaji secara unik psikopat yang berada dalam tataran aristokrat dan bisnis. Menurutnya dalam kasus kriminal, psikopat muncul sebagai pembunuh, pemerkosa, atau koruptor. Dalam dunia bisnis, psikopat memiliki penampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa, menyenangkan, dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, bersikap religius, dan kelihatan tampak sukses dalam karier — sehingga sangat sulit diidentifikasi secara kasat mata. Psikopat ini menghancurkan semangat, karier, dan reputasi seseorang, yang menyebabkan korbannya sering merasa bersalah terhadap dirinya sendiri dan sebaliknya malah mengasihani psikopat. Hasilnya psikopat ini mendapatkan seluruh akses yang ingin ia dapatkan dalam merauk keuntungan tanpa batas yang selalu ia inginkan. Hal ini yang membuat penulis semakin tertarik membaca kembali pendangan Robert Hare yang telah menjustifikasi seorang koruptor sebagai orang yang terkena patologi psikopatik dan karena selama ini koruptor Indonesia tidak pernah terkaji dari sisi intrapersonal.

Laporan lebih lanjut Hare dari karyanya “Corporate Psychopathy: Talking The Walk” dengan para eksekutif bisnis menemukan bahwa sekitar 3,5% dari eksekutif itu didiagnosis sebagai 'psikopat. Hare berpendapat bahwa psikopat ini menyebabkan kerusakan, kerugian keuangan dan masalah moral di suatu perusahaan dengan memanfaatkan orang-orang disekitar mereka. Mereka tidak hanya terlibat dalam perilaku yang tidak etis, tetapi mereka juga mendorong orang lain dalam organisasi untuk berperilaku tidak etis pula, tidak hanya dengan menekan karyawan mereka untuk berpartisipasi dalam tindakan yang tidak etis mereka. Pengaruh jahat mereka diperbesar oleh dinamika yang ditunjukkan dalam penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari populasi umum adalah (dalam bahasa game theory) “reciprocators” (Babiak, Neumann, & Hare, 2010).

Melihat hal-hal diatas, kategoristik koruptor yang juga seorang psikopatik akan di definisikan sebagai korupsi yang dikarenakan terbiasa menggilas daging/hak orang. Korupsi ini jelas sadis, berbahaya, susah diperbaiki karena sudah menjadi gangguan. Korupsi ini tertanam, direncanakan dan dilakukan dengan berbagai cara agar individu korup menjadi kaya serta bergelimang harta kekayaan. Sehingga, andai saja seorang psikopat korup terpilih menjadi pimpinan dan pejabat, yang dihayatinya bukanlah bagaimana melaksanakan tugas dan tanggung jawab, namun lebih dikarenakan sarana untuk meningkatkan kekayaan, membangun citra bahwa dia adalah pejabat yang sukses dengan sukses materi yang mencolok. Sehingga, ukuran sukses yang ditunjukkannya pula adalah rumah mewah, barang-barang mahal, mobil yang lux dan seterusnya. Psikopat ini mungkin menjalankan konsern pada etika, dan agama,  namun, tidak lebih dari sekadar ritual guna memuluskan jalannya merauk harta yang lebih banyak. Jika asumsi ini benar, maka koruptor yang memiliki patologi psikopatik Ini adalah bentuk kriminal yang paling jahat, rakus dan membunuh layaknya genosida namun secara perlahan-lahan.

Penulis mengambil hipotesa dalam mencirikan psikopat korupsi. Berbagai literatur sepakat bahwa kepribadian dalam psikopat bisa dijelaskan sebagai malevolent. Meskipun mereka mungkin bisa berhasil dalam organisasi mereka, mereka mencirikan beberapa atau semua ciri-ciri berikut (Brower & Price, 2001):
  • Orang tersebut superfisialis, muluk atau licik
  • Orang tersebut kurang mememiliki rasa penyesalan, kurang empati atau tidak menerima tanggung jawab.
  • Orang tersebut impulsif, kurang dalam tujuan atau tidak bertanggung jawab.
  • Orang tersebut tidak dibatasi oleh hati nurani atau yang kemudian akan terganggu oleh rasa bersalah.
  • Orang itu mungkin memiliki kontrol perilaku buruk atau terlibat dalam perilaku antisosial.
Dampak negatif dari psikopat dalam organisasi ekonomi adalah multiple. Mereka tidak hanya terlibat dalam perilaku yang tidak etis, tetapi mereka juga mendorong orang lain dalam organisasi untuk berperilaku tidak etis, dan tidak hanya dengan menekan karyawan mereka untuk berpartisipasi dalam tindakan tidak etis mereka. Pengaruh keji mereka diperbesar oleh dinamika didemonstrasikan dalam penelitian yang luas memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk umum dalam bahasa teori permainan ekonomi "Reciprocators". Reciprocators akan bekerja sama, yaitu, berperilaku etis dalam budaya organisasi yang etis tapi lebih sedikit sehingga ketika mereka melihat orang lain disebut "Cheaters" lolos dengan sistem yang ada (Spencer & Wargo, 2010).

Bagi psikopat korup tindakan akan selalu bersifat intensional, di sana ada pertimbangan dan kalkulasi untung sebelum melakukannya, termasuk ketika ia melakukan korupsi. Dimana pengejaran terhadap kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain) menjadi daya yang tidak bisa ditawarnya. Secara psikologis psikopat korup memang akan mudah tergerak untuk melakukan korupsi, terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang segalanya dan tanpa uang akan dibuat susah segalanya.

Menanggapi hal tersebut, kita juga perlu juga melirik penelitian mengenai keterkaitan moral dan psikopatik yang dilakukan oleh Brian, Martin, dan Dustin (2007). Dalam dua eksperimen, penelitian ini menemukan bahwa orang memiliki asosiasi implisit antara moralitas dan ruang (lingkungan sosial) dan bahwa efek ini mungkin khusus untuk individu dalam gangguan psychopathy. Hasil penelitian ini jelas mempunyai implikasi bagi representasi Psikopatik, yaitu:
  • Meskipun psychopathy tidak mempengaruhi moral dan tidak bermoral dikategorikan, psychopathy mempengaruhi sejauh mana dimensi ruang digunakan dalam kategorisasi. Individu yang tinggi dalam psikopati tidak muncul dalam menggunakan lingkungan sebagai isyarat ketika konsep-konsep yang berhubungan dengan encoding moral. Hasil ini menunjukkan bahwa psikopat kurang dalam pengolahan implisit rangsangan dari afektif. Karena moralitas adalah sebuah konsep afektif, kekurangan ini muncul untuk memberikan tugas representasi kepada pengetahuan.
  • Moralitas, amoralitas, atau keduanya? Hasil Eksperimen 2 menunjukkan bahwa Efek utama dari posisi ruang mungkin telah mengaburkan efek pada konsep moral/immoral.
Pertanyaan yang dapat muncul dari penelitian diatas, mampukah perilaku psikopatik ini dipengaruhi atau dibentuk oleh budaya? Ataukah psikopatik itu sendiri yang membentuk budaya? Pertanyaan ini muncul akibat dari pengaruh yang sangat kuat antara lingkungan sosial dengan perilaku psikopatik.

Budaya Permisif Bangsa Indonesia dan Diberikannya Kesempatan Bagi Corrupt Psychopath
Korupsi adalah "bisnis tertutup". Mirip transaksi narkotik dan obat terlarang lainnya, praktik korupsi mengandalkan kerahasiaan, kolusi dan sedikit kepercayaan bahwa transaksi haram itu tidak akan bocor ke luar. Dalam kasus-kasus yang paling mencolok pun, korupsi jarang dilakukan secara terbuka. Persis bakteri yang berkembang biak di lingkungan yang hangat dan gelap, begitulah korupsi beroperasi dan berkembang biak di lingkungan yang "bersahabat".
 (dikutip dari: (hhtp//els.bappenas.go.id.htm)

Korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama maupun hukum negara ini. Seakan menjadi pembenaran dari kalangan paling bawah sampai kalangan atas sudah sama-sama maklum dan tidak keberatan jika melakukan korupsi, atau menemukan orang lain melakukan korupsi.

Menurut sebuah penelitian mengenai korupsi (Suroso, 2008), kerangka institusi sosial terus bekerja bekerja amat kuat dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ada satu contoh budaya yang digambarkan dalam menyingkap keterkaitan budaya dan korupsi, konteks ini disebut ”syukuran” beserta berbagai konsep dan praktik yang menyertainya. Syukuran adalah sebuah ritual yang sering dilakukan setiap saat seseorang merasa mendapat rezeki, keberuntungan, atau keberhasilan dalam mencapai apa yang diinginkan. Memang, syukuran bersifat sukarela, tetapi selalu ada tekanan dari masyarakat, saudara, tetangga, teman sejawat, atau siapa pun yang sering memaksa seseorang untuk melakukannya. Sangsi sosial yang biasa diterima oleh orang yang tidak melakukan ritual itu, antara lain, adalah tuduhan ia pelit, tidak bersyukur, dan sebagainya. Institusi syukuran pada dasarnya memotong kontinuitas antara kerja dan hasil kerja. Kenyataan ini mengimplikasikan dua hal. Pertama, orang dapat dengan senang hati menerima rezeki tanpa bekerja, antara lain dengan memberi judgment ”sudah rezekinya” dan dengan ikhlas tidak mendapat imbalan meski sudah bekerja, antara lain berupa judgment ”belum rezekinya”. Kedua, korupsi dapat dimasukkan ke dalam kecenderungan pertama: menerima rezeki tanpa bekerja, mendapat imbalan yang bukan haknya. Semua itu mendapat legitimasi kultur dari institusi sosial bernama syukuran.

Melalui sudut pandang diatas, tidaklah sanksi bahwa lingkungan dan budaya yang bersifat keras, tidak toleran, punitif, dan agresif sering menanamkan dasar-dasar paranoid dan antisosial adalah buih yang paling efektif menghasilkan salah satu tindakan korupsi (Andrade, 2008). Korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan kita. Hal ini sangat beralasan sebab kontrol masyarakat semakin hilang. Sering kali kita mendengarkan ungkapan bahwa mereka yang tertangkap basah melakukan tindak pidana korupsi karena sedang sial. Kesialan para koruptor ini jelas menunjukan bahwa korupsi sudah sedemikian akut menggurita hampir di seluruh kehidupan bangsa ini.

Lebih penting dari itu sikap permisif masyarakat terhadap kejahatan korupsi ini menunjukkan bahwa korupsi seolah identik dengan pekerjaan biasa. Bukan sebaliknya. Menjadi aksi kejahatan yang membutuhkan strategi jitu untuk membasminya. Penting dicatat bahwa sikap permisif ini tidak hanya menjadi fenomena di negara berkembang bahkan negara miskin. Di negara-negara yang kondisi ekonomi dan politiknya telah mapan sikap permisif publik terhadap tindakan korupsi juga menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Dari sini jelas bahwa korupsi tidak semata-mata masalah pembenahan sistem. Melainkan problem mental masyarakat sehingga membutuhkan mekanisme komprehensif untuk menanganinya.

Kesimpulan
Dua bagian tulisan ini mendasari sudup pandangnya mengenai psikopatik, korupsi, dan budaya melalui tiga asumsi dasar:
  1. Perilaku psikopatik sulit diidentifikasi.
  2. Psikopatik dan korupsi terkait atas dasar kesamaan karakteristik atas pengindahan norma yang berlaku dalam masyarakat.
  3. Budaya korupsi bangsa Indonesia bersifat kolusif dan pada akhirnya menyuburkan tindakan korupsi.
Ditemukan jawaban bahwa identifikasi psikopatik didasarkan pada gangguan antisocial personality disorder. Gangguan ini terdiri dari ciri-ciri seperti kharisma yang tampak dari luar saja, seperti mementingkan diri sendiri, kurang empati, keji dan tidak ada penyesalan meski telah memanfaatkan orang lain, serta tidak menghargai perasaan dan kesejahteraan orang lain. Selain itu psikopat secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum. Mereka mengabikan norma dan konvensi sosial, impulsiv, serta memanipulasi hubungan interpersonal dan pekerjaan.

Melalui beberapa penelitian, didapatkan bahwa tindakan korupsi merupakan perilaku psikopatik. Tindakan korupsi bersifat intensional, dikarenakan adanya pertimbangan dan kalkulasi untung sebelum melakukannya, termasuk ketika pelaku melakukan korupsi. Dimana pengejaran terhadap kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain) menjadi daya yang tidak bisa ditawarnya.

Keadaan ini didukung peran serta budaya permisif yang sangat identik dengan bangsa Indonesia. Korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan kita. Hal ini sangat beralasan sebab kontrol masyarakat semakin hilang.

Daftar Pustaka
Aki, K. (2003). Serial killers: A cross-cultural study between Japan and the United States. [Thesis]. California State University, Fresno, CA.
Andrade, J. T. (2008). The inclusion of antisocial behavior in the construct of psychopathy: A review of the research. [Article]. Aggression and Violent Behavior, 13, 328-335.
Babiak, P., Neumann, C. S., & Hare, R. D. (2010). Corporate psychopathy: Talking the walk. [special issue]. Behavioral Sciences and the Law, 28 (2), 174-193.
Brower, M. C., & Price, B. H. (2001). Neuropsychiatry of frontal lobe dysfunction in violent and criminal behaviour: a critical review. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry, 71(6), 720-726.
Dinitz, S. (1986). Forensic psychiatry and psychology: Perspectives and standards for interdisciplinary practice. Philadelphia, PA: F. A. Davis.
Dolan, B., & Coid, J. (1993). Psychopathic and Antisocial Personality Disorders: Treatment and Research Issues. London: Gaskell.
Gacono CB, Meloy JR, Bridges M. R. (2000). A Rorschach comparison of psychopaths, sexual homicide perpetrators, and nonviolent pedophiles: where angels fear to tread. Journal of Clinical Psychology, 56 (6), 75-77.
Hare, R. D. (1993). Without Conscience: The Disturbing World of Psychopaths Among Us. New York: Pocket Books.
Hare, R. D. (2001). Psychopaths and their nature: Some implications for understanding human predatory violence. In A. Raine & J. Sanmartin (Eds.), Violence and psychopathy. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishing.
Hare, R. D. (2006). Psychopathy: A clinical and forensic overview. Psychiatric Clinics of North America, 29(3), 709-724.
Hare, R. D., McPherson, L. E., & Forth, A. E. (1988). Male psychopaths and their criminal careers. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 56, 710-714.
Klinteberg, B. (1996). The psychopathic personality in a longitudinal perspective. European Child and Adolescent Psychiatry, 5,  57-63.
Suroso, R. 2008. Viewpoints on Corruption What Would Common People Say?. Journal of Social Complexity (1).
Muhammad, Agus. (2003). Meretas Budaya korupsi, (online), (http://els.bappenas.go.id/upload/other/Meretas%20Budaya%20Korupsi.htm, diakses tanggal 21 Maret 2011).
Moeller, F.G., & Dougherty, D. M. (2001). Antisocial personality disorder, alcohol, and aggression. Journal of Alcohol Research & Health, 25 (1), 1-7.
Spencer, Gay Lyn & Wargo, Donald T. (2010). Malevolent Employees and Their Effect on the Ethical Culture of Business Organizations. The Forum on Public Policy (3).
Viding, Essi. (2004). Annotation: Understanding the Development of Psychopathy. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 45 (8), 1329–1337.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar