Minggu, 14 November 2010

Manusia Bijak

Sudah cukup lama  penulis tidak menulis di blog ini. Mungkin karena kesibukan yang cukup menyita waktu penulis. Tapi hari ini saya ingin sekali berbagi kepada penikmat kopi sekalian mengenai bagaimana kita menemukan kebijaksanaan di dalam diri kita.

Bagaimana kita menemukan kebijaksanaan di dalam kehidupan kita? Dalam kajian ilmu Psikologi, kebijaksanaan (wisdom) adalah salah satu dari tujuh kualitas yang otentik tradisi kontemplatif yang bertujuan untuk mendorong dalam kehidupan manusia. Kebijaksanaan dapat dikatakan sebagai kombinasi pemahaman eksistensial dan keterampilan hidup praktis, serta transrational wawasan yang bersifat intuitif. Penulis yakin anda harus memutar otak lebih keras dalam memahami pemahaman psikologis diatas. Setelah menggaruk-garuk kepala cukup lama untuk memahaminya, penulis akhirnya bepikir untuk lebih bijaksana dengan membuang pengertian diatas dari pikiran penulis dan penulis harap pembaca juga mengikutinya. Lalu seperti biasanya penulis lebih memilih memaknainya sendiri dengan mengartikan kebijaksanaan sebagai cara kita dalam hidup. Mengapa seperti itu? Mari kita lihat…

Apa yang telah penulis dengar dan telaah, telah menciptakan paradoks mengenai seperti apa bentuk manusia yang bijaksana. Dan apa yang digambarkan oleh media massa belum tentu merupakan persentasi dari bijaksana. Pribadi bijaksana tidak berada di stasiun TV atau radio. Dia tidak menulis buku atau membuat kuliah tentang kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kapasitas cadangan untuk menganalisa, memahami, cinta, menghargai, dukungan, mentoleransi, menghormati, dan menerima. Yang tidak sembarangan orang dapat melakukannya. Orang bijak dapat didefinisikan sebagai orang yang tidak memiliki Tuhan yang mengasingkannya atau guru yang mengasingkan kebebasannya. Setiap alienasi hanya dapat menyebabkan suatu penjara kesadaran dan penyimpangan dalam membuat keputusan.

Orang bijak juga bisa didefinisikan sebagai orang berpengalaman yang tahu mendalam kehidupan. Orang bijak telah belajar perbedaan antara benar dan salah dan menerapkan pengetahuan ini setiap menit hidupnya. Dia adalah orang yang telah mengalami rasa sakit sebagai elemen hidup yang tak terelakkan. Seseorang yang telah belajar untuk mengampuni. Seseorang yang telah belajar dari orang lain.

Tidak seperti orang lain, orang bijak adalah orang yang memperhatikan orang lain karena ia tahu bahwa pendapat yang berbeda adalah sumber konstan pengayaan dan pengetahuan. Orang bijak adalah orang yang mampu memahami orang lain, yang tampak hidup dengan kualitas baik atau buruk mereka. Dia belajar hubungannya dengan cinta, pengampunan dan kasih sayang. Orang bijak juga merupakan orang yang telah melakukan perjalanan secara ekstensif di bumi dan di dalam hati manusia. Seseorang yang tinggal semua perasaan dan emosi orang lain.

Seorang bijak dapat membedakan dirinya dengan tindakannya dan prasyarat yang telah menyebabkan keputusan untuk melakukan sebuah tindakan. Namun, terkadang kebijaksanaan mendiktenya untuk melakukan tindakan yang berbeda atau tidak melakukan, tergantung pada keadaan.

Orang bijak bukanlah manusia yang sempurna. Orang bijak tidak terlepas dari membuat kesalahan. Tetapi ketika ia melakukannya, ia akan mengenali mereka, memperbaiki mereka, ia meminta pengampunan dari mereka yang mungkin telah dirusaknya dan akan membayar hutang dari apa yang dilakukannya, walaupun ia harus berkeringat darah dan air mata, sesampai hutang itu dibayar. Yang terpenting, ia selalu menarik pelajaran dari kesalahan dan tidak akan pernah mengulanginya lagi. Pengalaman akan kesalahan merupakan hadiah yang tak ternilai yang juga mengajarkan kita untuk menerima dan memaafkan kesalahan orang lain.

Dia yang bijak merasa tidak memiliki kebencian atau mengkonsumsi fanatisme. Hanya berusaha untuk mengerti. Namun juga bisa suka atau tidak suka, merasa cukup dalam kehidupannya. Orang bijak berbalik dan bebas dari segala nafsu yang menjauhkan dari bentuk-bentuk penindasan fisik serta intelektual terhadap orang-orang disekitarnya.

Dia yang bijak dapat mencapai ketenangan di pikiran dan tubuhnya, walaupun setelah ia bekerja lama pada dirinya sendiri. Dia mampu memantau dan mengendalikan dorongan dan naluri yang terkadang merupakan cap binatang di kehidupan kita.

Orang biasa akan berbicara dengan lantang. Maka, dia yang bijak lebih memilih untuk mendengarkan bicara. Dia yang banyak suara, akan menjadi pusat perhatian, karena egonya sangat besar dan dilihat sebagai yang terbaik dan terbesar. Sehingga tanpa sadarterdapat pengandaian bahwa orang bebal selalu ingin memaksakan pendapatnya pada orang lain.

Orang bijak mendengarkan, mengamati dan diam karena ia mengerti bahwa tidak ada manusia yang bisa memiliki ilmu atau pengetahuan apapun. Dia mengerti bahwa kebanyakan orang tidak mempertahankan pelajaran hidup atau sejarah. Dia juga mengerti bahwa orang yang berbicara sepanjang waktu itu tuli dan orang yang benar-benar kaya adalah orang yang mendengarkan. Orang bijak tidak pernah memaksakan sudut pandangnya. Dia tidak pernah akan memberi tahu Anda apa yang harus Anda lakukan. Sehingga orang bebal tidak akan pernah meminta nasihat dari bijak. Untuk semua orang yang bodoh merasa diri bijaksana.

Orang bijaksana kadang-kadang akan meminta saran dari orang yang sederhana, seorang manusia yang kita tidak pernah berpikir untuk meminta pendapatnya, tanpa mengetahui mengapa. Orang yang bijaksana tahu bahwa setiap plot manusia ada kebijaksanaan. Dan kadang-kadang, orang yang melihat dari luar atau dari jauh dapat memiliki pendapat. Orang bijaksana adalah orang yang meikirkan inti dari tindakannya dan sepenuhnya memperhatikan serta terlibat dalam masalah-masalahnya.

Orang bijak bukanlah moralis, dia tahu hikmah yang datang dari hati, batin. Orang bijaksana tidak sempurna dan dia tahu itu. Orang bijak tidak menuduh, tidak mengutuk. Mereka hanya mencoba memahami. Orang rata-rata suka menuduh dan mengutuk orang lain, bukan untuk dosa-dosa yang mereka lakukan tetapi karena ia percaya bahwa manusia turun dari langit. Orang seperti ini memiliki cara tersebut untuk menjatuhkan orang lain. Sehingga  orang disekitarnya adalah berbeda, sehingga cukup untuk menuduh dan mengutuk sebagai senjata paling utama yang dimilikinya.
 
Bijak memiliki penalaran yang sehat, kesadaran yang tajam terhadap realitas hal, rasa besar terhadap keadilan dan apa yang baik atau buruk bagi manusia dan alam. Orang bijak akan menahan diri dari menilai tanpa mengetahui semua seluk beluk situasi yang dihadapinya.

Orang bijak berhati-hati untuk menilai orang lain secara permanen, karena ia tahu bahwa banyak hal sering dibayangi dalam kepribadian manusia dan keputusan selalu tidak lepas dari penyimpangan yang dibuat dengan pengetahuan penuh fakta.

Suatu hari, orang yang cukup gila atau bodoh akan melihat orang bijak dan bertanya kepadanya “bagaimana caranya agar menjadi bijak”. Orang bijak akan meresponnya dengan simpati serta akan menjelaskan bagaimana orang yang bertanya bisa lakukan atau bagaimana dia bisa belajar untuk melakukannya. Dia selalu ada, mendengarkan, dan dia kadang-kadang memberi nasihat. Ketika dia tidak tahu, maka dia berkata: "Saya tidak tahu."

Banyak orang yang belum tentu bijaksana, namun terkadang, perilaku mereka, tindakan mereka atau kata-kata mereka akan dipandu oleh kebijaksanaan. Seseorang dapat disentuh oleh kebijaksanaan di dalam hidupnya dan bukan dari kehidupan orang lain. Umur tidak memberi kebijaksanaan, namun perjalanan waktu yang memberikannya. Orang bijak tidak membedakan, meskipun semua usaha manusia untuk mencoba untuk membedakan diri dari satu sama lain dan membangun dinding di antara mereka.

Namun, akhirnya ada pertanyaan yang membayangi penulis. Bukankah kita memang seharusnya menajalani kehidupan ini dengan cara seperti ini? atau kita hanya telah melupakan moralitas yang sebenarnya telah mudah kita pahami pada masa kita berada di bangku sekolah dasar. Apapun jawaban pembaca, itu merupakan pilihan bagi anda...

Jumat, 05 November 2010

Politik Para Demit (Kolom Djoko Suud)

Jakarta - Gunung Merapi masih terus memuntahkan isi perutnya. Prahara itu mengobrak-abrik Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Di tengah itu tampil Mbah Ponimin bilang ketemu Sultan Agung, muncul awan Petruk, dan Dr Surono ahli gunung mendapat 'gelar' baru Mbah Rono. Inilah politik para demit yang tidak enak dinalar tapi asyik didengar.

Mumpung gunung mistis itu masih bergolak, rasanya menarik untuk memasuki batin orang Jawa. Insan berperadaban lama, pengamal euphemisme, dan pemberi makna tiap kejadian dan benda. Pengayaan itu membuat banyak orang tidak paham. Padahal jika ranah ini dibawa ke Islam, maka mirip garis besar 'Ihya Ulumuddin' gagasan Al Ghazali. Syariat itu wadag. Ma'rifat itu jiwa.

Manusia Jawa itu hakekatnya adalah spiritualis sejati. Dia tidak hanya bicara kebaikan, tetapi sekaligus pelaku kebaikan. Syariat dijalani dengan kata dan sikap. Ma'rifatnya diendapkan sekaligus dilakukan. Itu latar idiom ing ngarso sung tulodho, ing madyo bangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberi contoh. Di tengah menyemangati. Di belakang mendorong menuju kebaikan.

Almarhum Kuntowijoyo menyebut manusia Jawa itu introvert. Itu karena kebaikan dalam budaya Jawa disimbolisasikan padi. Padi yang berisi itu menunduk. Padi yang tegak itu gabuk. Tidak ada isinya. Ini sebagai metafora, bahwa orang yang berilmu, orang cerdas, orang yang memimpin dan sadar sebagai pemimpin itu adalah yang tidak pongah. Dalam darahnya lebih banyak dialiri unsur malaikat ketimbang setan.

Manusia yang punya budi pekerti luhur itu dituakan. Dia dijadikan tempat mengadu. Diposisikan sebagai embat-embate pitutur (pertimbangan) dalam segala persoalan. Dan orang yang sudah sama dalam kata dan tindakan itu dipanggil mbah, eyang, dan romo. Adakah Mbah Rono dan Mbah Ponimin memang sudah pada tahapan itu?

Ini penghargaan bernilai spiritual yang bersifat metafisis. Orang yang dituakan itu adalah orang yang mengamalkan filosofi budi. Dia tidak kebendaan. Apalagi pamrih jabatan. Jangan kaget jika berpuluh-puluh tahun lalu orang kaya di desa selalu dicurigai. Dituding mengkaryakan Tuyul atau Nyai Blorong, makhluk antah-berantah yang dipercaya mampu membuat kaya.

Sifat mengutamakan keluhuran itu sekarang memang semakin langka. Banyak yang bilang manusia Jawa kini sudah hilang 'Jawanya'. Hilang etikanya. Hilang budi pekertinya. Hilang sifat spiritualitasnya, karena sudah menjadi pengamal filosofi materi. Jujur tapi miskin itu hina. Punya jabatan tinggi tidak korupsi itu naif. So, orang Jawa yang baik sekarang adalah perampok dan maling. Maling rakyat dan maling negara.

Budaya profan itu memang tuntutan. Tuntutan dari hedonisasi yang merambah seluruh sendi. Orang Jawa tak lagi menyisakan waktu nglalar lan nglulur (instrospeksi). Dan yang Islam menempatkan salat sekadar kewajiban. Wajib manembah mring Gusti Allah, tak peduli hanya dijalankan seperti check-lock absensi atau malah hanya tabik sambil berlari.

Profanisme itu yang merusak segalanya. Orang kaya hasil maling dipuja. Sogok dan suap demi lancarnya urusan dihalalkan. Cagar budaya, cagar alam, cagar-cagar yang lain dirusak untuk diduitkan. Dan ketika alam marah, maka reaksi logis adalah saling menyalahkan. Itu karena watak spiritualitasnya sudah hilang. Manusia tinggal punya mulut untuk berteriak dan punya akal untuk ngakali.

Manusia Jawa memang sinkretis. Tapi sinkretisme itu bukanlah penggabungan seluruh agama untuk dijadikan satu ugeman. Sinkretisme disini adalah suatu penghargaan terhadap kepercayaan orang lain yang berbeda. Asas harmonisasi tetap menjadi soko guru, karena perbedaan adalah radiks harmoni. Dengan begitu, maka pengakuan Mbah Ponimin bertemu Sultan Agung memang bukan berlatar 'Islami'. Ini sama dengan penipuan mata melihat awan Petruk.

Wadagisme itu adalah politik para demit agar semuanya bubar. Jika manusia Jawa masih memegang roh spiritualitas nenek moyangnya, tentu tidak melihat setan sebagai lawan yang harus dilawan. Memang benar makhluk itu dicipta untuk menggoda. Menggoda kita agar jauh dari-Nya dan salah langkah. Tapi secara spiritual, kita harus berterimakasih pada Allah karena didampingi setan agar makin beriman dan kian dekat dengan-Nya.
Baca 'Sajaratul Kaun' yang mengkisahkan setan bertamu pada Nabi Muhammad SAW saat junjungan kita itu dikelilingi para sahabat. Umar Bin Khattab yang marah dan hendak membunuhnya dicegah oleh Nabi. Panutan yang dikenal jujur itu menyuruh menanyai yang baik dan buruk baginya agar manusia menjauhi yang diinginkan setan dan menjalankan yang tidak disukai setan.

Dan di tengah keprihatinan saudara-saudara kita yang terkena musibah, coba sedikit kita renungkan kata-kata James Own dalam 'The Satanic Tragedy'. 'Setan itu kasihan. Tobat pun masih akan masuk neraka. Tapi kalau kita mengasihani setan, itu sama artinya kita telah digoda setan.' Subhanallah!

Politik setan memang halus dan menjebak. Adakah kita mengamalkan itu dengan saling menghujat perbedaan dan saling menyalahkan tragedi yang terjadi?

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Dikutip dari: http://www.detiknews.com/read/2010/11/04/103944/1485378/103/politik-para-demit?nd991107103