Selasa, 09 Agustus 2011

Psikopat dan Korupsi Bagian 2 'fin

Psikopatik dan Tindakan Korupsi
Korupsi selalu nampak seperti wabah dalam kehidupan negara ini. Membunuh kaum papa yang tidak berdaya perlahan-lahan dan seperti penyakit menular korupsi menyebarkan benih-benih dalam diri orang-orang disekitarnya. Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau mendefinisikannya. Namun, mari secara umum pengertian korupsi kita letakan pada ranah psikologis. Hal ini dikarenakan penulis tergelitik untuk masuk ke dalam perspektif tatanan fenomena psikopat, dimana korupsi adalah sebuah tindakan psikopatik.

Mengapa tindakan korupsi terkait psikopatik? Dalam bukunya yang berjudul Without Conscience: The Disturbing World of the Psychopaths Among Us (Hare, 1993), Hare mengkaji secara unik psikopat yang berada dalam tataran aristokrat dan bisnis. Menurutnya dalam kasus kriminal, psikopat muncul sebagai pembunuh, pemerkosa, atau koruptor. Dalam dunia bisnis, psikopat memiliki penampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa, menyenangkan, dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, bersikap religius, dan kelihatan tampak sukses dalam karier — sehingga sangat sulit diidentifikasi secara kasat mata. Psikopat ini menghancurkan semangat, karier, dan reputasi seseorang, yang menyebabkan korbannya sering merasa bersalah terhadap dirinya sendiri dan sebaliknya malah mengasihani psikopat. Hasilnya psikopat ini mendapatkan seluruh akses yang ingin ia dapatkan dalam merauk keuntungan tanpa batas yang selalu ia inginkan. Hal ini yang membuat penulis semakin tertarik membaca kembali pendangan Robert Hare yang telah menjustifikasi seorang koruptor sebagai orang yang terkena patologi psikopatik dan karena selama ini koruptor Indonesia tidak pernah terkaji dari sisi intrapersonal.

Laporan lebih lanjut Hare dari karyanya “Corporate Psychopathy: Talking The Walk” dengan para eksekutif bisnis menemukan bahwa sekitar 3,5% dari eksekutif itu didiagnosis sebagai 'psikopat. Hare berpendapat bahwa psikopat ini menyebabkan kerusakan, kerugian keuangan dan masalah moral di suatu perusahaan dengan memanfaatkan orang-orang disekitar mereka. Mereka tidak hanya terlibat dalam perilaku yang tidak etis, tetapi mereka juga mendorong orang lain dalam organisasi untuk berperilaku tidak etis pula, tidak hanya dengan menekan karyawan mereka untuk berpartisipasi dalam tindakan yang tidak etis mereka. Pengaruh jahat mereka diperbesar oleh dinamika yang ditunjukkan dalam penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari populasi umum adalah (dalam bahasa game theory) “reciprocators” (Babiak, Neumann, & Hare, 2010).

Melihat hal-hal diatas, kategoristik koruptor yang juga seorang psikopatik akan di definisikan sebagai korupsi yang dikarenakan terbiasa menggilas daging/hak orang. Korupsi ini jelas sadis, berbahaya, susah diperbaiki karena sudah menjadi gangguan. Korupsi ini tertanam, direncanakan dan dilakukan dengan berbagai cara agar individu korup menjadi kaya serta bergelimang harta kekayaan. Sehingga, andai saja seorang psikopat korup terpilih menjadi pimpinan dan pejabat, yang dihayatinya bukanlah bagaimana melaksanakan tugas dan tanggung jawab, namun lebih dikarenakan sarana untuk meningkatkan kekayaan, membangun citra bahwa dia adalah pejabat yang sukses dengan sukses materi yang mencolok. Sehingga, ukuran sukses yang ditunjukkannya pula adalah rumah mewah, barang-barang mahal, mobil yang lux dan seterusnya. Psikopat ini mungkin menjalankan konsern pada etika, dan agama,  namun, tidak lebih dari sekadar ritual guna memuluskan jalannya merauk harta yang lebih banyak. Jika asumsi ini benar, maka koruptor yang memiliki patologi psikopatik Ini adalah bentuk kriminal yang paling jahat, rakus dan membunuh layaknya genosida namun secara perlahan-lahan.

Penulis mengambil hipotesa dalam mencirikan psikopat korupsi. Berbagai literatur sepakat bahwa kepribadian dalam psikopat bisa dijelaskan sebagai malevolent. Meskipun mereka mungkin bisa berhasil dalam organisasi mereka, mereka mencirikan beberapa atau semua ciri-ciri berikut (Brower & Price, 2001):
  • Orang tersebut superfisialis, muluk atau licik
  • Orang tersebut kurang mememiliki rasa penyesalan, kurang empati atau tidak menerima tanggung jawab.
  • Orang tersebut impulsif, kurang dalam tujuan atau tidak bertanggung jawab.
  • Orang tersebut tidak dibatasi oleh hati nurani atau yang kemudian akan terganggu oleh rasa bersalah.
  • Orang itu mungkin memiliki kontrol perilaku buruk atau terlibat dalam perilaku antisosial.
Dampak negatif dari psikopat dalam organisasi ekonomi adalah multiple. Mereka tidak hanya terlibat dalam perilaku yang tidak etis, tetapi mereka juga mendorong orang lain dalam organisasi untuk berperilaku tidak etis, dan tidak hanya dengan menekan karyawan mereka untuk berpartisipasi dalam tindakan tidak etis mereka. Pengaruh keji mereka diperbesar oleh dinamika didemonstrasikan dalam penelitian yang luas memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk umum dalam bahasa teori permainan ekonomi "Reciprocators". Reciprocators akan bekerja sama, yaitu, berperilaku etis dalam budaya organisasi yang etis tapi lebih sedikit sehingga ketika mereka melihat orang lain disebut "Cheaters" lolos dengan sistem yang ada (Spencer & Wargo, 2010).

Bagi psikopat korup tindakan akan selalu bersifat intensional, di sana ada pertimbangan dan kalkulasi untung sebelum melakukannya, termasuk ketika ia melakukan korupsi. Dimana pengejaran terhadap kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain) menjadi daya yang tidak bisa ditawarnya. Secara psikologis psikopat korup memang akan mudah tergerak untuk melakukan korupsi, terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang segalanya dan tanpa uang akan dibuat susah segalanya.

Menanggapi hal tersebut, kita juga perlu juga melirik penelitian mengenai keterkaitan moral dan psikopatik yang dilakukan oleh Brian, Martin, dan Dustin (2007). Dalam dua eksperimen, penelitian ini menemukan bahwa orang memiliki asosiasi implisit antara moralitas dan ruang (lingkungan sosial) dan bahwa efek ini mungkin khusus untuk individu dalam gangguan psychopathy. Hasil penelitian ini jelas mempunyai implikasi bagi representasi Psikopatik, yaitu:
  • Meskipun psychopathy tidak mempengaruhi moral dan tidak bermoral dikategorikan, psychopathy mempengaruhi sejauh mana dimensi ruang digunakan dalam kategorisasi. Individu yang tinggi dalam psikopati tidak muncul dalam menggunakan lingkungan sebagai isyarat ketika konsep-konsep yang berhubungan dengan encoding moral. Hasil ini menunjukkan bahwa psikopat kurang dalam pengolahan implisit rangsangan dari afektif. Karena moralitas adalah sebuah konsep afektif, kekurangan ini muncul untuk memberikan tugas representasi kepada pengetahuan.
  • Moralitas, amoralitas, atau keduanya? Hasil Eksperimen 2 menunjukkan bahwa Efek utama dari posisi ruang mungkin telah mengaburkan efek pada konsep moral/immoral.
Pertanyaan yang dapat muncul dari penelitian diatas, mampukah perilaku psikopatik ini dipengaruhi atau dibentuk oleh budaya? Ataukah psikopatik itu sendiri yang membentuk budaya? Pertanyaan ini muncul akibat dari pengaruh yang sangat kuat antara lingkungan sosial dengan perilaku psikopatik.

Budaya Permisif Bangsa Indonesia dan Diberikannya Kesempatan Bagi Corrupt Psychopath
Korupsi adalah "bisnis tertutup". Mirip transaksi narkotik dan obat terlarang lainnya, praktik korupsi mengandalkan kerahasiaan, kolusi dan sedikit kepercayaan bahwa transaksi haram itu tidak akan bocor ke luar. Dalam kasus-kasus yang paling mencolok pun, korupsi jarang dilakukan secara terbuka. Persis bakteri yang berkembang biak di lingkungan yang hangat dan gelap, begitulah korupsi beroperasi dan berkembang biak di lingkungan yang "bersahabat".
 (dikutip dari: (hhtp//els.bappenas.go.id.htm)

Korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama maupun hukum negara ini. Seakan menjadi pembenaran dari kalangan paling bawah sampai kalangan atas sudah sama-sama maklum dan tidak keberatan jika melakukan korupsi, atau menemukan orang lain melakukan korupsi.

Menurut sebuah penelitian mengenai korupsi (Suroso, 2008), kerangka institusi sosial terus bekerja bekerja amat kuat dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ada satu contoh budaya yang digambarkan dalam menyingkap keterkaitan budaya dan korupsi, konteks ini disebut ”syukuran” beserta berbagai konsep dan praktik yang menyertainya. Syukuran adalah sebuah ritual yang sering dilakukan setiap saat seseorang merasa mendapat rezeki, keberuntungan, atau keberhasilan dalam mencapai apa yang diinginkan. Memang, syukuran bersifat sukarela, tetapi selalu ada tekanan dari masyarakat, saudara, tetangga, teman sejawat, atau siapa pun yang sering memaksa seseorang untuk melakukannya. Sangsi sosial yang biasa diterima oleh orang yang tidak melakukan ritual itu, antara lain, adalah tuduhan ia pelit, tidak bersyukur, dan sebagainya. Institusi syukuran pada dasarnya memotong kontinuitas antara kerja dan hasil kerja. Kenyataan ini mengimplikasikan dua hal. Pertama, orang dapat dengan senang hati menerima rezeki tanpa bekerja, antara lain dengan memberi judgment ”sudah rezekinya” dan dengan ikhlas tidak mendapat imbalan meski sudah bekerja, antara lain berupa judgment ”belum rezekinya”. Kedua, korupsi dapat dimasukkan ke dalam kecenderungan pertama: menerima rezeki tanpa bekerja, mendapat imbalan yang bukan haknya. Semua itu mendapat legitimasi kultur dari institusi sosial bernama syukuran.

Melalui sudut pandang diatas, tidaklah sanksi bahwa lingkungan dan budaya yang bersifat keras, tidak toleran, punitif, dan agresif sering menanamkan dasar-dasar paranoid dan antisosial adalah buih yang paling efektif menghasilkan salah satu tindakan korupsi (Andrade, 2008). Korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan kita. Hal ini sangat beralasan sebab kontrol masyarakat semakin hilang. Sering kali kita mendengarkan ungkapan bahwa mereka yang tertangkap basah melakukan tindak pidana korupsi karena sedang sial. Kesialan para koruptor ini jelas menunjukan bahwa korupsi sudah sedemikian akut menggurita hampir di seluruh kehidupan bangsa ini.

Lebih penting dari itu sikap permisif masyarakat terhadap kejahatan korupsi ini menunjukkan bahwa korupsi seolah identik dengan pekerjaan biasa. Bukan sebaliknya. Menjadi aksi kejahatan yang membutuhkan strategi jitu untuk membasminya. Penting dicatat bahwa sikap permisif ini tidak hanya menjadi fenomena di negara berkembang bahkan negara miskin. Di negara-negara yang kondisi ekonomi dan politiknya telah mapan sikap permisif publik terhadap tindakan korupsi juga menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Dari sini jelas bahwa korupsi tidak semata-mata masalah pembenahan sistem. Melainkan problem mental masyarakat sehingga membutuhkan mekanisme komprehensif untuk menanganinya.

Kesimpulan
Dua bagian tulisan ini mendasari sudup pandangnya mengenai psikopatik, korupsi, dan budaya melalui tiga asumsi dasar:
  1. Perilaku psikopatik sulit diidentifikasi.
  2. Psikopatik dan korupsi terkait atas dasar kesamaan karakteristik atas pengindahan norma yang berlaku dalam masyarakat.
  3. Budaya korupsi bangsa Indonesia bersifat kolusif dan pada akhirnya menyuburkan tindakan korupsi.
Ditemukan jawaban bahwa identifikasi psikopatik didasarkan pada gangguan antisocial personality disorder. Gangguan ini terdiri dari ciri-ciri seperti kharisma yang tampak dari luar saja, seperti mementingkan diri sendiri, kurang empati, keji dan tidak ada penyesalan meski telah memanfaatkan orang lain, serta tidak menghargai perasaan dan kesejahteraan orang lain. Selain itu psikopat secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum. Mereka mengabikan norma dan konvensi sosial, impulsiv, serta memanipulasi hubungan interpersonal dan pekerjaan.

Melalui beberapa penelitian, didapatkan bahwa tindakan korupsi merupakan perilaku psikopatik. Tindakan korupsi bersifat intensional, dikarenakan adanya pertimbangan dan kalkulasi untung sebelum melakukannya, termasuk ketika pelaku melakukan korupsi. Dimana pengejaran terhadap kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain) menjadi daya yang tidak bisa ditawarnya.

Keadaan ini didukung peran serta budaya permisif yang sangat identik dengan bangsa Indonesia. Korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan kita. Hal ini sangat beralasan sebab kontrol masyarakat semakin hilang.

Daftar Pustaka
Aki, K. (2003). Serial killers: A cross-cultural study between Japan and the United States. [Thesis]. California State University, Fresno, CA.
Andrade, J. T. (2008). The inclusion of antisocial behavior in the construct of psychopathy: A review of the research. [Article]. Aggression and Violent Behavior, 13, 328-335.
Babiak, P., Neumann, C. S., & Hare, R. D. (2010). Corporate psychopathy: Talking the walk. [special issue]. Behavioral Sciences and the Law, 28 (2), 174-193.
Brower, M. C., & Price, B. H. (2001). Neuropsychiatry of frontal lobe dysfunction in violent and criminal behaviour: a critical review. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry, 71(6), 720-726.
Dinitz, S. (1986). Forensic psychiatry and psychology: Perspectives and standards for interdisciplinary practice. Philadelphia, PA: F. A. Davis.
Dolan, B., & Coid, J. (1993). Psychopathic and Antisocial Personality Disorders: Treatment and Research Issues. London: Gaskell.
Gacono CB, Meloy JR, Bridges M. R. (2000). A Rorschach comparison of psychopaths, sexual homicide perpetrators, and nonviolent pedophiles: where angels fear to tread. Journal of Clinical Psychology, 56 (6), 75-77.
Hare, R. D. (1993). Without Conscience: The Disturbing World of Psychopaths Among Us. New York: Pocket Books.
Hare, R. D. (2001). Psychopaths and their nature: Some implications for understanding human predatory violence. In A. Raine & J. Sanmartin (Eds.), Violence and psychopathy. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishing.
Hare, R. D. (2006). Psychopathy: A clinical and forensic overview. Psychiatric Clinics of North America, 29(3), 709-724.
Hare, R. D., McPherson, L. E., & Forth, A. E. (1988). Male psychopaths and their criminal careers. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 56, 710-714.
Klinteberg, B. (1996). The psychopathic personality in a longitudinal perspective. European Child and Adolescent Psychiatry, 5,  57-63.
Suroso, R. 2008. Viewpoints on Corruption What Would Common People Say?. Journal of Social Complexity (1).
Muhammad, Agus. (2003). Meretas Budaya korupsi, (online), (http://els.bappenas.go.id/upload/other/Meretas%20Budaya%20Korupsi.htm, diakses tanggal 21 Maret 2011).
Moeller, F.G., & Dougherty, D. M. (2001). Antisocial personality disorder, alcohol, and aggression. Journal of Alcohol Research & Health, 25 (1), 1-7.
Spencer, Gay Lyn & Wargo, Donald T. (2010). Malevolent Employees and Their Effect on the Ethical Culture of Business Organizations. The Forum on Public Policy (3).
Viding, Essi. (2004). Annotation: Understanding the Development of Psychopathy. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 45 (8), 1329–1337.

Psikopat dan Korupsi Bagian 1 'to be continue

SEKAPUR SIRIH

Penulis sejenak mengajak kita semua untuk membuka catatan hitam bangsa ini. Catatan hitam mengenai korupsi yang telah menggerogoti dan membunuh bangsa ini sejak zaman VOC sampai era Reformasi. Menggunakan perspektif baru, korupsi akan kita sama-sama bedah dengan menggunakan pisau psikopatologi dimana tulisan ini mengungkap adanya keterikatan fenomena korupsi dengan perilaku psikopatik. Hal ini mungkin sangat terlihat kontroversial apabila dilihat dalam sudut pandang psikologi sosial, sosiologi, dan antropologi. Namun, sudut pandang psikopatik yang dikombinasikan dengan peran budaya dalam mendidik dalam kesuksesan koruptor. Menjadikan tulisan ini sangat menarik kita simak dan pahami dalam mebuka tabir tabu korupsi bangsa Indonesia.

Kasus: Tommy Soeharto, Korupsi, & Pembunuhan Hakim Agung

Menelaah aktualisasi adanya fenomena korupsi, budaya, dan psikopatik, penulis tertarik pada kasus Tommy Soeharto dengan kasus korupsinya yang terkenal  PT Goro Batara Sakti dan Bulog, dimana Tommy Soeharto merugikan keuangan negara sebesar Rp 96 miliar. Kasus ini menjadi tragis tatkala, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang sedang mengadili kasus korupsi Tommy Soeharto tewas ditembak atas perintah Tommy Soeharto.

April 1999, terdakwa Tommy Soeharto menjalani persidangan kasus korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun entah bisikan/intervensi apa, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan vonis bebas atas Beddu Amang (April 1999),  Tommy Soeharto, dan Ricardo (Oktober 1999) karena alasan tidak ditemukan bukti-bukti kuat.

Keputusan Majelis Hakim PN Jaksel yang pincang ini kemudian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fachmi SH, mengajukan kasasi atas dibebaskannya Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael ke Mahkamah Agung pada November 1999. Setahun kemudian, 22 September 2000, Majelis Hakim Mahkamah Agung, yang diketuai M Syafiuddin Kartasasmita atas dakwaan perkara korupsi tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading ke PT Goro Batara Sakti (http://nusantaranews.wordpress.com, diakses tanggal 22 Mei 2011).

Keputusan Majelis Hakim MA yang diketuai oleh M Syafiuddin Kartasasmita  merupakan tamparan keras bagi martabat ‘pangeran’ dinasti Soeharto. Tommy yang enggan disentuh oleh petugas Lapas, lalu meminta grasi  (bahkan dikabarkan menyogok) kepada Presiden Gus Dur — namun Gus Dur tidak mau memberi grasi. Gagal minta bantuan kepada Gus Dur, Tommy mengajukan PK atas putusan MA, namun sekali lagi ditolak. Setelah ditolak, maka tidak ada alasan lagi Tommy untuk bersenang-senang diluar. November 2000, jaksa penuntut umum siap mengeksekusi Tommy ke sel tahanan, namun Tommy berhasil kabur.

Mulai 10 November 2000, Tommy Soeharto menjadi burunan polisi. Tommy merasa terpojokkan, apalagi Soeharto sudah tidak berkuasa. Tommy mencari akal dan berusaha menggunakan kekuatan yang selama ini dimilikinya agar ia bebas dari jeratan hukum. Lalu, selama menjadi buronan, Tommy menyiapkan rencana untuk membunuh para hakim agung yang ngotot menghukumnya. Salah satu sasaran utama adalah ketua Majelis Hakim Agung MA yakni M Syafiuddin Kartasasmita. Juli 2001, Tommy Soeharto merekrut dua pembunuh bayaran, memberi senjata api sekaligus uang sebesar Rp 100 juta untuk mengeksekusi ‘musuh’ pertamanya yakni Hakim M Syafiuddin Kartasasmita. Tepat 26 Juli 2001,  dua eksekutor bayaran yakni Mulawarman dan Noval Hadad menembak mati Hakim Agung  M Syafiuddin Kartasasmita. M Syafiuddin Kartasasmita dihantam oleh 4 peluru pesanan putra kesayangan Pak Harto (Majalah Gatra, 2001).

Baru pada tanggal 28 November 2001, polisi akhirnya menangkap Tommy di kawasan Pondok Indah-Jakarta.  Atas dakwaan pembunuhan seorang hakim agung yang begitu tragis, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai oleh Amirudin Zakaria pada Juli 2002 memvonis (hanya) 15 tahun penjara kepada Tommy. Ketika kita memperbandingkan, hukuman yang berbeda dan sangat diskriminatif jika kita membandingkan vonis hukuman mati terhadap Gunawan Santosa, aktor intelektual pembunuhan Direktur PT Asaba Boedyharto Angsono dan pengawalnya, anggota Kopassus, Prada Edi Siyep. Padahal di sisi pelanggaran KUHP, baik Gunawan maupun Tommy sama-sama terjerat pasal KUHP yang sama dalam pembunuhan berencana. Bahkan, Tommy membunuh seorang pejabat negara, seorang hakim agung, sedangkan Gunawan hanya seorang direktur perusahaan.

Darah kematian  seorang hakim agung MSK sama sekali tidak mendapat tempat dan perhatian yang ‘mulia’ oleh Mahkamah Agung (MA)  era Presiden SBY. Pada 6 Juni 2005, MA yang baru menerima kasasi Tommy lalu memberikan vonis lebih ringan pada Tommy yakni 10 tahun penjara (atas dakwaan pembunuhan berencana). Di masa pemerintahan SBY pula, seorang pembunuh pejabat negara (hakim agung MSK) dibebaskan dari balik jeruji pada 30 Oktober 2006.  Seorang terpidana koruptor dan pembunuh berencana kepada pejabat tinggi negara hanya dipenjara 4 tahun (2002-2006).

Kasus ini bukan hanya kasus kriminal sederhana, bila kita benar-benar memahami kasus yang telah penulis jabarkan diatas. Seorang Tommy Soeharto sangat besar kemungkinan mengidap perilaku psikopatik mengingat tindakan biadab yang dilakukannya mampu dimanipulasi sedemikian rupa sehingga ia bisa terbebas dari jeratan hukum. Sayangnya, peran psikologi dalam ranah kriminal dan hukum masih sangat terbatas. Sebenarnya, melalui tes seperti The Interdisciplinary Fitness Interview (IFI) yang sangat lazim dilakukan di negara-negara maju seperti Inggris, Prancis, Jepang, dan Amerika. Tes ini dapat dilakukan untuk menilai gejala psikopatologi dan juga menilai pemahaman tersangka/terdakwa tentang konsep hukum serta fungsi-fungsinya, melalui wawancara oleh seorang psikolog dan pengacara (Golding, Roesch, & Schreiber, 1984). Menelaahnya dari pemahaman literatur menggunakan komponen IFI memberikan penulis pemahaman bahwa kasus ini merupakan jenis corrupt psychopath. Tommy Soeharto, berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan uang negara Rp 96 miliar melalui PT Goro Batara Sakti dan Bulog, bahkan walau ia harus membunuh hakim agung M Syafiuddin Kartasasmita. Berikut akan penulis telaah lebih jauh mengapa corrupt psychopath merupakan identitas yang esensial bagi kasus Tommy Soeharto dan mengapa corrupt psychopath sangat membahayakan kehidupan kita.

MENGIDENTIFIKASI PSIKOPATIK, KETERKAITAN ATAS TINDAKAN KORUPSI, DAN PERAN BUDAYA DALAM MENYUBURKAN BENIH PATOLOGI

Mengkonstuksi ulang kasus Tommy Soeharto dalam perspektif psikopatik, membuka mata penulis dengan pemahaman baru bahwa tindakan korupsi bisa terkait tiga asumsi utama:
  1. Perilaku psikopatik sulit diidentifikasi.
  2. Psikopatik dan korupsi terkait atas dasar kesamaan karakteristik atas pengindahan norma yang berlaku dalam masyarakat.
  3. Budaya korupsi bangsa Indonesia bersifat kolusif dan pada akhirnya menyuburkan tindakan korupsi.
Tiga asumsi ini mengelitik penulis untuk mengkajinya secara lebih mendalam. Melalui berbagai penelitian mengenai psikopatik, korupsi, dan budaya — penulis pada akhirnya akan memberikan kita semua sudut pandang baru dalam melihat fenomena tindak korupsi yang menjadi momok busuk bangsa ini.

Mengidentifikasi Psikopatik dalam PPDGJ-III, DSM-IV-TR, dan Penelitian Pendukung
Melihat psikopatik dalam perspektif psikopatologi penulis memahaminya melalui patokan PPDGJ-III dan DSM-IV serta penelitian yang mendukungnya. Sayang memang, identifikasi perilaku psikopatik itu sendiri memang cukup bias. meski termasuk dalam istilah psikiatri, anehnya diagnosis psikopat secara spesifik tidak ada dalam PPDGJ-III, ICD-10 atau DSM-IV-TR. Gangguan yang paling mendekati ialah gangguan antisocial personality disorder.

Mengacu pada DSM-IV-TR (2000), antisocial personality disorder akan lebih mudah dipahami apabila kita melihat lagi konteks besar dari personality disorder. Aki (2003) memahami personality disorder memahaminya bahwa kepribadian adalah gambaran sikap dan perilaku manusia secara umum yang tercermin dari ucapan dan tindakan. Mereka yang menelaah berbagai literatur dan DSM-IV-TR, mendapatkan bahwa:
  • Gangguan kepribadian adalah pola perilaku atau cara berhubungan dengan orang lain yang benar-benar kaku sehingga menghalangi dan membatasi seseorang untuk dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan.
  • Menurut DSM IV, gangguan kepribadian adalah pola yang bersifat menetap dalam mempersepsi, berhubungan dan memikirkan tentang lingkungan dan diri sendiri yang diperlihatkan diberbagai macam konteks sosial dan pribadi.
  • Gangguan kepribadian merupakan kelompok gangguan yang sangat heterogen, diberi kode pada Aksis II dalam DSM dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, tidak fleksibel yang menyimpang dari budaya orang yang bersangkutan dan menyebabkan gangguan dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan.
  • Gangguan kepribadian pada awalnya dikatakan sebagai pengaruh setan/iblis atau roh jahat yang diterapi dengan exorcism pada abad pertengahan atau pada zaman dahulu diatasi dengan traphination.
  • Dalam pandangan psikoanalisa gangguan kepribadian adalah ketidaksesuaian dari aspek-aspek kepribadian individu id, ego dan superego.
Pemahaman antisocial personality disorder berawal dari gangguan kepribadian yang dijabarkan melalui goyahnya konstitusi karakter dan kecenderungan menyimpang perilaku dari individu. Biasanya meliputi beberapa bidang dari kepribadian dan hampir selalu berhubungan dengan kekacauan pribadi dan sosial (Dinitz, 1986). Namun, kesalahan besar pendapat bahwa gangguan kepribadian antisosial mengacu pada orang yang memiliki keterampilan sosial yang buruk. Sebaliknya, gangguan kepribadian antisosial ditandai oleh kurangnya hati nurani. Penelitian yang dilakukan oleh Moeller dan Dougherty (2001) mengenai “Antisocial Personality Disorder, Alcohol, and Aggression” melihat bahwa orang dengan gangguan ini rentan terhadap perilaku kriminal, percaya bahwa korban-korban mereka lemah dan pantas dimanfaatkan. Antisocials cenderung suka berbohong dan mencuri. Sering kali, mereka tidak hati-hati dengan uang dan mengambil tindakan tanpa berpikir tentang konsekuensi nya. Mereka sering bersifat agresif dan jauh lebih peduli dengan kebutuhan mereka sendiri daripada kebutuhan orang lain.

Senada dengan hal diatas, Hare, McPherson, dan Forth (1988) yang melakukan penelitian terhadap penderita psikopatik melihat bahwa ciri kepribadian anti sosial adalah bahwa dalam perilakunya selalu melekat gangguan terhadap hak orang lain dan seringkali melanggar hukum. Mereka tidak mentaati norma sosial dan konvensi, bertindak sesuka hati, dan gagal untuk membangun komitmen interpersonal dan komitmen kerja. Hal ini menurut mereka disebabkan berbagai faktor psikologis yang mengorganisasi, berkonsolidasi, bersifat kukuh, dan secara maladaptif mengadakan, menyesuaikan, dan menyelesaikan konflik dalam pengalaman hidup. Gangguan ini bersifat kontinum sehingga penderita ringan sampai lebih parah menunjukkan fitur gangguan kepribadian tertentu. Namun, kebanyakan orang dapat hidup cukup normal dengan gangguan kepribadian ini. Gejala dari gangguan kepribadian antisosial (psikopatik) akan mendapatkan kekuatan dan mulai serius apabila secara konstan dan kontinum mengganggu fungsi emosional dan psikologis penderita. Berikut adalah gambaran mengenai faktor personality disorder yang ditelaah Hare guna mengkaji perilaku psikopatik dalam kehidupan keseharian kita:
  
Pemahaman diatas sebenarnya merupakan penguatan dan aplikasinya terhadap perilaku psikopatik dari pandangan Dolan dan Coid (1993) yang menggarisbawahi bahwa orang dengan gangguan kepribadian anti-sosial cenderung menunjukkan sikap yang menawan, memiliki intelektualitas di atas rata-rata dan secara meyakinkan bisa menjadi penipu ulung. Mereka memiliki rasa kegelisahan dan rasa bersalah yang rendah, amoral dan tidak tahu malu. Karenanya orang sering menyebutnya juga dengan istilah psikopat (psychopath) atau sosiopat (sociopath). Hare (dalam Klinteberg, 1996) memahami istilah psikopat dipakai karena tampaknya ada yang rusak pada sistem fungsional psikologisnya. Disebut sosiopat karena orang tersebut menyimpang secara sosial. Lebih lanjut ciri-ciri detail dari gangguan ini adalah:
  • Sedikit sekali mempunyai rasa tanggung jawab, moralitas, perhatian pada orang lain.
  • Perilaku yang muncul hampir seluruhnya ditentukan oleh kepentingan pribadinya atau dirinya, selalu memperhatikan kepentingan dan kemauannya sendiri, mencari kepuasan dari keinginannya, tidak dapat menahan frustasi.
  • Hampir tidak berperasaan dan tampaknya tidak merasa bersalah atau, menyesalinya, kendatipun perilaku-perilakunya menyakiti orang lain; sangat mudah berbohong, senang sensasi dan, bersuka ria dengan hampir tidak memperhatikan akibat yang mungkin menyakitkan dan tidak mampu mengubah perilakunya walaupun dia dihukum.
  • Penampilan tampak menarik, cerdas, menyenangkan dan cukup lihai untuk mengelabui; orang lain, pandai bersandiwara, mampu dan ketulusan, yang dibuat-buat menyebabkan mereka mendapat pekerjaan yang baik tetapi tidak bertahan lama.
  • Keresahan dan tindakannya semau hati sehingga hutang menumpuk, meninggalkan keluarga, menghambur-hamburkan uang (perusahaan, pemerintah atau keluarga), melakukan, tindakan kriminal.
  • Pengakuan dan penyesalannya tampak meyakinkan sehingga sering terhindar dari hukuman, tetapi tetap melakukan kesalahan yang sama.
  • Apa yang dikatakannya tidak berkaitan dengan apa yang dirasakan dan dilakukannya.
  • Ketiadaan rasa cinta (umum); tidak mampu merasa empati, tidak setia pada orang lain.
  • Ketiadaan rasa bersalah; tidak merasa sesal atas tindakannya, walaupun tindakannya sangat tercela; perilakunya jarang sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam penelitian lain, terdapat identikal  utama yang biasanya melakat pada seorang psikopat, yakni egosentris, tidak punya empati, dan tidak pernah menyesal. Terdapat sepuluh karakter spesifik psikopat. Di antaranya adalah tidak memiliki empati, emosi dangkal, manipulatif, pembohong, egosentris, pintar bicara, toleransi yang rendah pada frustasi, membangun relasi yang singkat dan episodik, gaya hidup parasitik, dan melanggar norma sosial yang persisten. Seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri. (Gacono, Meloy, & Bridges, 2000).

Melalui The Antisocial Process Screening Device (Hare, 2006) yang dirancang untuk memperluas assessment terhadap perilaku psychopathy terutama kepada anak-anak, dengan asumsi bahwa sifat-sifat tidak berperasaan atau tanpa emosi akan menandai salah satu faktor risiko penting untuk mengindikasikan perilaku hidup antisosial yang persisten. Seperti indeks PCL-R, indeks APSD sifat-sifat emosional akan digali dari kepribadian sehingga memunculkan indikator-indikator yang diharapkan membuka ada atau tidaknya tindakan anti-sosial. Individu dengan kecenderungan psikopat menunjukkan profil perilaku dengan neurokognitif khusus yang mirip dengan profil yang ditemukan pada psikopat dewasa. Temuan ini menimbulkan kemungkinan bahwa psychopathy mungkin merupakan gangguan perkembangan dengan penanda kepribadian tertentu yang dapat digambarkan pada anak-anak. Perspektif ini juga menunjukkan bahwa ciri kepribadian dapat berjalan seiring dengan gangguan neurokognitif yang berbeda dalam pengolahan afektif (Hare, 2001)

Kesimpulannya, kemajuan besar telah dibuat dalam memahami korelasi neurokognitif dari kepribadian psikopat, baik pada anak-anak dan orang dewasa. Penelitian Klinteberg (1996) menunjukkan bahwa kepribadian psikopat mungkin memiliki komponen genetik yang kuat yang mendasari. Secara longitudinal, studi genetik informatif sekarang harus memanfaatkan apa yang psikologi kognitif dan ilmu saraf kognitif tawarkan. Otak adalah pusat tindakan untuk bagaimana gen dan lingkungan berinteraksi. Untuk menjelaskan hal interaksi yang terjadi, psikologi kognitif dan ilmu saraf kognitif, pada gilirannya, membutuhkan sampel genetik yang informatif dengan kekayaan data lingkungan. Pencegahan dan pengobatan perilaku antisosial akan mendapat manfaat dari pengetahuan mekanisme risiko (serta perlindungan dari) psikopati.

Sayangnya, manual diagnosis yang umum digunakan (PPDGJ-III, ICD-10, DSM-IV-TR) menyatakan bahwa dalam rangka mengaplikasikan diagnosis untuk gangguan kepribadian anti sosial atau gejala psikopatik, seseorang harus berusia setidaknya 18 tahun. Diagnosis alternatif untuk gangguan perilaku ini memang kadang dipergunakan untuk anak-anak, dan banyak gangguan perilaku pada masa kanak-kanak tidak kontinyu menunjukkan perilaku anti sosial ketika dewasa. Ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kepribadian anti sosial dengan perilaku kriminal, tetapi tidak semua kriminal memiliki kepribadian anti sosial. DSM-V mengusulkan sebutan “perilaku antisosial dewasa” untuk tidak seluruhnya memenuhi kriteria gangguan kepribadian antisosial.

bersambung...