Kamis, 24 Maret 2011

Seorang Pekerja Jenis Apa Anda?

Dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan kepada para pembaca sekalian tentang 2 tipe pekerja yang ada ada disekitar kita. 2 tipe ini cukup kontradiktif... dua tipe ini adalah:

The Company Man
The Gamesman

Mari kita coba saksikan, mungkin saja penikmat tulisan kopi dapat merefleksikannya dalam diri kita masing-masing atau orang-orang disekitar kita ^^
___________________________________________________________________
The Company Man

Hasil survey corporate landscape of the fifties, menemukan bahwa salah satu tipe dari organizational leader adalah the company man. Sebenarnya, tipe ini adalah tipe pemimpin organisasi yang tidak bisa dipergunakan dalam memprediksi perubahan teknologi ataupun pasar dibandingkan pemimpin yang mengkombinasikan teknik dan kemampuan berbisnis serta cenderung dapat mengambil resiko. Namun, tipe the company man juga tidak bisa serta merta kita indahkan, karena tipe the company man ternyata banyak terdapat di posisi pemimpin yang menjadi kajian penelitian ini.

Manager-manager yang menerima dirinya dalam kategorisasi the company man sebenarnya memiliki banyak sekali kekurangan di dalamnya. Namun, dengan tidak apatis terlebih dahulu terhadap tipe ini, mari kita kaji setiap sisi yang dapat diambil dari tipe the company man.

Tidak seperti tipe jungle fighter yang bertipikal kearah individualistik dengan melawan tantangan bahkan main-stream tanpa rasa takut, tipe company man biasanya bekerja, berusaha atau bahkan mengejar posisi-posisi di perusahaan bonafit dengan dilandasi perspektif kerja jangka panjang untuk meraih kesuksesan. Company man percaya bahwa mereka bisa sukses karena perusahaan tempat mereka kerja meraih kesuksesan, walaupun terkadang di beberapa bagian the company man juga memiliki self-interest. Di dalam beberapa perusahaan elit yang diteliti oleh penulis buku The Games Man, selain harapan dari tipe orang-orang bertipe company man atas kesuksesan, kerja the company man juga didasari atas kekhawatiran mereka. Kekhawatiran mereka bisa berbentuk ketakutan mereka terhadap proyek perusahaan atau bahkan hubungan interpersonal sesamanya, yang diartikan sama dengan karir mereka sendiri. Sehingga tanpa perusahaan, mereka yang bertipe the company man seringkali merasa kehilangan arah karena perusahaan tempat mereka bekarja adalah bagian dari diri mereka sendiri.

Secara fungsional, Tipe the company man akan selalu berada pada posisi the middle man atau posisi level staff yang lebih tinggi.  Sayangnya, untuk mencapai pada level tertinggi dalam sebuah perusahaan tipe company man memiliki cukup banyak kekurangan seperti:
  • kemampuan dalam mengambil resiko
  • toughness 
  • keteguhan 
  • kepercayaan diri
  • pengendalian diri
  • dan energi untuk mencapai puncak
Namun segi positifnya, ada banyak hal dominan yang dimiliki oleh tipe the company man. Segi positif ini, yaitu:
  • rasa memiliki
  • kesopanan
  • rasa tanggung jawab
  • serta loyalitas.
The company man selalu berbeda dengan tipe craftsman yang dianggapnya perfection namun terkadang tidak ekonomis atau dengan tipe gamesman (tipe ini akan dibahas pada bahasan berikutnya) yang dianggapnya sebagai pencari perhatian guna mendapatkan posisi tertentu. The company man adalah tipe yang merasa tidak nyaman dengan budaya-budaya diluar sistem perusahaan. Hal ini yang menjadikan the company man akan nampak khawatir akan hubungan antar sesama pekerja. Karena the company man akan beruasaha sebaik mungkin tidak melewati batasan-batasan yang ada dalam perusahaan. Hal ini lah yang menyebabkan seorang Michel Crozier berpendapat bahwa orang-orang dengan tipikal yang sama dengan the company man akan banyak terdapat dalam birokrasi, dimana kestabilan dan aturan jelas terpapar.

Pada akhirnya dalam pembahasan tipe the company man, orang-orang dengan tipe the company man akan selalu bekerja sesuai dengan kepuasan dan target-target perusahaan. Hal ini didasarkan atas komitmen yang mereka bangun tehadap pengembangan semua pekerja dan atasan mereka. Tidak heran sebenarnya tipe inilah yang sangat laris dalam dunia kerja, dikarenakan tipikalnya yang tidak rewel terhadap pekerjaan yang mereka jalani serta sebagai pionir-pionir berkomitmen, tanpa takut the company man akan tepengaruh gangguan kerasnya sistem atau bahkan godaan dari eksternal perusahaan.

The Gamesman

muncul satu lagi tipe organizational leader, yaitu; “the gamesman”. Sedikit menilik sejarah, selama abad sembilan belas dan awal abad duapuluh, di Amerika orang-orang dengan  tipe gamesman tidak pernah absen dari demo-demo buruh guna melawan penindasan struktural perusahaan yang biasanya dipimpin oleh tipe jungle fighter. Sehingga, pada tahun 1950’an para gamesman cenderung berjumlah kecil karena dianggap sebagai rebellion dan dinilai sebagi sesuatu yang tidak sopan menempatkan mereka pada posisi-posisi puncak perusahaan besar.

Namun, dengan semakin besarnya perubahan pasar serta teknologi. Karakter dari tipe the gamesman, adalah satu tipe yang sangat mampu beradaptasi dalam perubahan tersebut. Dalam tipe the gamesman modern, tipe ini sangat sesuai dengan perkembangan perusahaan serta organisasi dikarenakan:
  • Kompetisi yang selalu ada baik itu secara internal, nasional, maupun internasional.
  • Inovasi yang terus berlangsung guna menciptakan produk atau projek baru yang sangat berguna dalam persaingan.
  • Interdependent teams sebagai pihak yang menemukan, mengembangkan, dan menjual produk.
  • Fleksibel dan cepat dalam pengambilan keputusan terutama bila harus memimpin tim dengan anggota yang bertipe craftsmen dan company man.
Gamesman modern mungkin paling tepat bila di definisikan sebagai oarang yang suka dengan perubahan dan mau menjadi bagian di dalam prosesnya. Sehingga gamesman senang sekali mengkalkulasi semua resiko dan selalu tertarik dengan metode-metode baru. Gamesman selalu berpandangan sebuah pengembangan proyek, human relations, dan karirnya adalah sebagai opsi kemungkinan dan pilihan, selayaknya dalam sebuah permainan. Gamesman bersifat korporatif sekaligus kompetitif; lepas dan santai sekaligus kompulsif dalam mencapai kesuksesan; team player walau bisa menjadi super-star; seorang pemimpin namun bisa menjadi seorang pemberontak bagi hirarki birokrat; mampu fair dan tidak menjustifikasi sekaligus terkesan arogan terhadap kelemahannya sendiri atau orang lain; kuat dan mendominasi walau tidak bersifat destruktif.

Sifat gamesman yang cenderung paradox, didasari atas keinginannya untuk bersaing. Hal ini dikarenakan tipe gamesman tidak punya sama niatan untuk membangun kekuasaannya sendiri, namun lebih menganggap dunia kerjanya sebagai tempat bermain yang menarik untuk ia kerjakan. Sehingga hanya dorongan untuk menang yang menjadi dasar tipe gamesman hidup dalam sebuah perusahaan dan ketakutan terbesarnya adalah kekalahan terhadap tantangan yang dihadapinya.

The Gamesman mempunyai kemampuan untuk memotivasi lungkungan kerjanya agar mampu bekerja untuknya, juga memanipulasi mereka, namun diwaktu yang sama mampu membuat pekerjaan yang membosankan terkesan menyenangkan. Sehingga, tipe gamesman sangat sempurna bagi perusahaan yang berkeinginan memiliki teknik baru dalam kerja dan menciptakan perasaan menarik bagi pelakunya. Berbeda dengan tipe lainnya, gamesman mampu untuk mendramatisasi ide-idenya dan menstimulasi ide-ide tersebut ke dalam lingkungan kerja yang sebenarnya merupakan hal yang cukup esensial bagi pekerjaan yang mereka lakukan.

The gamesman  sangat sulit dinilai dari pandangan-pandangan kategori tradisional. Ketimbang seorang atasan yang otoriter, gamesman bersifat unbigoted, nonideological, dan bebas. Gamesman akan mempersilahkan pemain-pemain bagus untuk bermain, tanpa mempertimbangkan ras, sex, agama, atau apapun yang tidak berkontribusi dalam tim. Tidak seperti jungle fighter yang menikmati kekalahan orang lain, tipe gamesman tidak akan merasa iba, namun ia akan berlaku adil. Sehingga, gamesman selalu membuka ide-ide baru, namun tioe ini kurang dalam soal kepercayaan.

Dengan tipe gamesman yang sangat konsern dengan kemenangan, the gamesman sangat sering untuk mengevaluasi terutuma soal peran anggotanya untuk tim. Tidak seperti tipikal merendah dan loyal company man, gamesman akan dengan sangat senang hati untuk bila mungkin mengganti patner kerjanya apabila tidak berkontribusi bagi tim. Baginya kata “loyalitas” adalah sisi sentimentil, dimana sejalan apabila gamesman melihat kata “empati” dan “baik” dalam pekerjaan. Walaupun gamesman tidak seperti tipe jungle man yang terlalu arogan untuk membaginya. Gamesman mampu menempatkan presisi yang tepat dikarenakan kemampuannya dalam memanipulasi situasi.

Kelemahan yang ada dalam diri orang yang bertipe gamesman adalah sifatnya yang tidak realistik dikarenakan sering menggunakan hal baru, manipulatif, dan sangat workoholic. Akan tersimpan keraguan bagi orang-orang yang mengikuti tipe gamesman. Selain itu, kemampuan gamesman untuk melarikan diri menjadikan mereka sering kabur dari realita yang tidak menyenangkan. Ketika mereka tidak bersemangat, orang dengan tipe gamesman akan menghadapi perasaan dimana mereka sama sekali tidak memiliki kekuatan. Apalagi, dimana seseorang dengan tipe gamesman merasa tidak menemukan permainan untuk dimainkan. Sehingga gamesman sudah selayaknya dihadapkan pada tantangan dengan suasana atmosfer kompetitif. Hal ini dikarenakan pula apabila seorang dengan tipe gamesman tidak mendapatkan atmosfer persaingan ini, gamesman akan merasa sangat bosan dan baginya tanpa persaingan adalah kekosongan. Jadi jangan heran apabila kita melihat orang dengan tipe ini bermalas-malasan atau hanya menonton TV. Namun, apabila gamesman sudah mendapatkan permainannya, gamesman akan mampu menggapai apapun yang membuatnya tertarik.

Minggu, 20 Maret 2011

Mekarnya Cardinal de Richelieu

Ya... Saat ini  penulis duduk berjam-jam ditemani sebatang rokok, segelas kopi, dan alunan musik jazz — mencari inspirasi untuk menulis artikel mengenai psikopatik yang kejam, berdarah, dan mungkin unik (karena kalau menggunakan skala psikopatik yang ada dalam sebuah jurnal.. penulis sudah berada pada skala 4.. tapi tenang penulis tidak berminat dengan mayat :)...

harus jujur penulis akui jam demi jam itu terbuang percuma karena ada satu hal yang  selalu mengganggu pikiran ini. Di kepala ini penuh dengan warna “biru”...

Mungkin penikmat tulisan kopi kita perubahan semua akan menyindir penulis dengan menanyakan.. “hei !!! ada apa dengan maniak penulis analogi postmodern, kritik, yang kadang penceramah ngawur ini? Apakah dia sedang galau (sedikit meminjam istilah anak gaul zaman sekarang)? Apakah dia sedang mengawang? Atau dia sedang mabuk?” jawaban yang bisa penulis berikan adalah “ya.. saya sedang ngawur seperti biasanya... ya.. saya sedang memikirkan warna biru, dan ya.. saya sedang mabuk dengan warna biru dalam pikiran saya... yang jelas saya ingin mengacak-acak tulisan ini dengan pikiran saya..”

Biru.. bukan merah.. bukan hijau.. kuning.. ungu.. atau paradigma hitam putih. Biru yang terkadang banyak orang menganalogikan kiasannya sebagai warna kesedihan (feeling blue) atau warna apalah itu... tapi bagi penulis, biru adalah senyuman, keceriaan, dan kasih sayang. Seperti kita melihat lautan... seperti kita melihat langit yang cerah... seperti melihat warna biru itu sendiri... biru yang berarti kebahagiaan tersendiri bagi penulis, biru yang tidak pernah malu mengatakan bahwa ia sekarang berada disisi penulis, memandang mata penulis, memancarkan keindahan bidadari surga, dan bahkan sedikit membasahi kertas kosong ini dengan rasa senyumannya.. Bagai mawar biru Cardinal de Richelieu yang memanipulasi perasaan, persepsi, dan gairah seseorang akan indahnya jatuh cinta...

Gambar dikutip dari: http://rlv.zcache.com

Jumat, 18 Maret 2011

Review Film: Battle Royale (Menyingkap Perilaku Psikopatik dalam kajian Psikopatologi)

Review Film: Battle Royale

Mampukah anda membunuh sahabat Anda sendiri? Ini adalah pertanyaan yang muncul dibenak penulis ketika menyaksikan film yang bernuansakan sadistik berjudul “Battle Royale”. Film yang di adaptasi dari novel grafis yang berjudul sama karangan Koushun Takami ini mengisahkan tentang Jepang pada suatu masa, di mana pada masa itu terjadi kekacauan di mana-mana. Banyak anak-anak berbuat kenakalan dan kekacauan, sehingga membuat para orang dewasa menjadi takut pada anak-anak. Karena keadaan inilah, pemerintah Jepang membuat sebuah program bernama “Battle Royale” untuk mengurangi jumlah remaja. Dalam menjalankan program ini, dipilihlah orang-orang yang berada di kelas 3 SMP secara acak dari semua sekolah yang ada di Jepang. Tidak beruntung, pada tahun tersebut kelas yang terpilih adalah kelas 3B SMP Shiroiwa.

kelas 3B SMP Shiroiwa ditipu untuk melakukan perjalanan wisata, sedangkan mereka dibawa ke sebuah pulau yang penghuninya sudah diungsikan ke tempat lain. Disanalah, mereka diberitahukan mengenai program Battle Royale itu oleh seorang guru yang menjadi pengawas program ini, Kitano. Tujuan program battle royale itu sendiri adalah untuk saling membunuh antara satu sama lain sampai tersisa satu orang dengan batas waktu 3 hari. Jika sampai 3 hari tidak tersisa satu orang, maka kalung yang dikenakan mereka akan meledak dan mereka semua akan mati. Setiap murid yang menjalani battle royale dibekali dengan sebuah tas yang masing-masing berisi senjata yang akan mereka gunakan dalam membunuh teman sekelasnya. Ada yang mendapatkan isi tas tersebut pisau, celurit, bahkan ada pula yang mendapat tutup panci). Tokoh utama dalam film ini sendiri adalah Nanahara Shuuya. Dia adalah seorang remaja biasa yang tidak memiliki kepercayaan pada orang dewasa. Hal ini dikarenakan Ayahnya bunuh diri begitu saja dengan meninggalkan pesan: “berusahalah, Shuuya.”

Shuuya yang juga merupakan salah satu dari siswa 3B pada saat program BR ini baru mau dimulai ia harus menerima kenyataan sahabatnya, Nobu, tewas, akibat perbuatan Kitano. Sejak itu, selama program berlangsung, Shuuya bertekad untuk melindungi Nakagawa Noriko, teman sekelasnya yang merupakan teman sekelas yang disukai Nobu. Selain Shuuya, dalam film ini juga kita dapat melihat bagaimana murid-murid lainnya dalam menjalani program tersebut. Ada yang tidak ikut dan memilih untuk bunuh diri saja. Ada yang berusaha untuk mencari jalan keluar namun akhirnya malah tewas. Ada pula satu kumpulan remaja perempuan yang awalnya berniat berlindung bersama-sama namun akhirnya saling membunuh dikarenakan kesalahpahaman, serta drama lainnya. Anak-anak SMP yang awalnya tidak mau saling membunuh ini akhirnya sanggup membunuh demi melindungi nyawanya sendiri. Program ini juga diramaikan oleh dua orang murid baru yang salah satunya ternyata pernah mengikuti program tersebut beberapa tahun yang lalu dan mengetahui rahasia untuk menyelamatkan diri dari program tersebut.

Psikopatik dan Penggolongan Dalam DSM-IV TR

Psikopat, atau dalam ejaan bahasa Inggris ditulis psychopathy (psych, grk.=perasaan; pathos, grk.=kehilangan) kehilangan perasaan yang didefinisikan sebagai keadaan psikiatri berupa kurangnya empati atau kepedulian disertai minimnya kontrol impuls dan perilaku.

Meski termasuk dalam istilah psikiatri, anehnya diagnosis psikopat tidak ada dalam ICD-10 atau DSM-IV-TR. Gangguan kepribadian yang paling mendekati ialah gangguan kepribadian antisosial. Orang dengan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder) secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum. Mereka mengabikan norma dan konvensi sosial, impulsiv, serta gagal dalam membina hubungan interpersonal dan pekerjaan. Meski demikian mereka sering menunujukkan kharisma dalam penampilan luar mereka dan paling tidak memiliki intelegensi diatas rata-rata (Cleckley, 1976).

Ciri yang paling menonjol dari mereka adalah tingkat kecemasan yang rendah ketika berhadapan dengan situasi yang mengancam dan kurangnya rasa bersalah dan menyesal atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Hukuman biasanya hanya member sedikit dampak, bila ada, dalam perilaku mereka. Meski orang tua atau orang lain menghukum mereka untuk kesalahan yang mereka lakukan, mereka tetap menjalani kehidupan yang tidak bertanggung jawab dan impulsive. Laki-laki cenderung menerima diagnosis kepribadian antisosial daripada perempuan (Gacono, Meloy, & Bridges, 2000). Tingkat pravelensi untuk dalam sampel komunitas berkisar antara 3% sampai 6% pada laki-laki dan sekitar 1% untuk perempuan. Untuk mendiagnosis perilaku antisosial orang itu paling tidak harus berumur 18 tahun.

Penggunaan istilah psikopat dan sosiopat yang sering kita dengar digunakan untuk menunjukkan tipe orang yang kini termasuk dalam kepribadian antisosial. Sejumlah klinisi terus menggunakan istilah ini bergantian dengan kepribadian antisosial. Akar dari kata psikopat berfokus pada gagasan bahwa ada sesuatu yang tidak benar (patologis) pada fungsi psikologis individu. Sedangkan akar dari kata sosiopati berpusat pada deviasi (penyimpangan) sosial orang tersebut.

Selain itu, diagnosis psikopat kan berdasarkan kriteria yang d oleh Robert D. Hare's PsiChecklist-Revised (PCL-R). Dia menggambarkan seorang psikopat sebagai predator intera spesies yang menggunakan ketampanan, manipulasi, intimidasi, dan kekejaman untuk mengontrol lainnya dan untuk memuaskan kebutuhan egoisnya. Kurang waras dan sangat minim perasaan terhadap lainnya, mereka melakukan apa yang mereka inginkan dan melakukannya dengan darah dingin, melanggar norma sosial dan melebihi harapan tanpa sedikitpun rasa menyesal atau bersalah.

Kita sering cenderung berpikir bahwa perilaku antisosial sinonim dengan perilaku kriminal. Meski ada hubungan kuat antara keduanya, tidak semua kriminalis menunjukkan tanda-tanda psikopati dan tidak semua orang dengan kepribadian psikopati menjadi kriminalis (Lilienfeld, 1996). Para peneliti mulai memandang bahwa kepribadian psikopat terdiri dari dua dimensi yang agak terpisah. Dimensi itu antara lain (Sewell & Cruise, 2004):

Dimensi kepribadian
Dimensi ini terdiri dari trait-trait seperti kharisma yang tampak dari luar saja, seperti mementingkan diri sendiri, kurang empati, keji dan tidak aja penyesalan meski telah memanfaatkan orang lain, serta tidak menghargai perasaan dan kesejahteraan orang lain. Tipe kepribadian psikopati ini dikenakan pada orang lain yang memiliki trait psikopati namun tidak menjadi pelanggar hukum.

Dimensi perilaku
Dimensi ini ditandai dengan gaya hidup yang tidak stabil dan antisosial, termasuk sering berhadapan dengan masalah hokum, riwayat pekerjaan yang minim, dan hubungan yang tidak stabil. Kedua dimensi ini tidak sepenuhnya terpisah; banyak individu psikopati menunujukkan bukti memiliki kedua macam trait itu.

Sedangkan itu, ciri-ciri diagnostik dari gangguan kepribadian antisosial, yaitu:
  • Paling tidak berusia 18 tahun
  • Ada bukti gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun, ditunjukkan dengan perilaku seperti membolos, kabur, memulai perkelahian fisik, menggunakan senjata, memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual, kekejaman fisik pada orang maupun binatang, merusak atau membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri, atau merampok.
  • Sejak usia 15 tahun menunjukkan kepribadian yang kurang kepedulian yang kurang dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukkan oleh perilaku sebagai berikut: kurang patuh terhadap norma sosial dan pereturan hukum, ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum yang dapat maupun tidak dapat mengakibatkan penahanan, seperti merusak bangunan, terlibat dalam pekerjaan yang bertentangan dengan hokum, mencuri, atau menganiaya orang lain.
  • Agresif dan sangat mudah tersinggung saat berhubungan dengan orang lain, ditunjukkan dengan terlibat dalam perkelahian fisik dan menyerang orang lain secara berulang, mungkin penganiayaan terhadap pasangan atau anak-anak.
  • Secara konsisten tidak bertanggung jawab, ditunjukkan dengan kegagalan mempertahankan pekerjaan karena ketidakhadiran berulang kali, keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja atau memperpanjang periode pengangguran meski ada kesempatan kerja; dan/atau kegagalan untuk mematuhi tanggung jawab keuangan seperti gagal membiayai anak atau membayar hutang; dan/atau kurang dapat membina hubungan monogami.
  • Gagal membuat perencanaan masa depan atau impulsivitas, seperti ditunjukkan oleh perilaku berjalan-jalan tanpa pekerjaan tanpa tujuan yang jelas.
  • Tidak menghormati kebenaran, ditunjukkan dengan berulang kali berbohong, memperdaya, atau menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi atau kesenangan.
  • Tidak menghargai keselamatan diri sendiri dan keselamatan orang lain, ditunjukkan dengan berkendara sambil mabuk atau berulang kali ngebut.
  • Kurang penyesalan atas kesalahan yang dibuat, ditunjukkan dengan ketidakpedulian akan kesulitan yang ditimbulkan pada orang lain, dan/atau membuat alasan untuk alas an tersebut.


Refrensi

DSM-IV-TR. 2000. APA.
Fukasaku, Kinji. (Producer) 2000. Battle Royale. Gaga Film Production. Tokyo, Japan,. 122 mins.
Gacono CB, Meloy JR, Bridges M. R. 2000. A Rorschach comparison of psychopaths, sexual homicide perpetrators, and nonviolent pedophiles: where angels fear to tread. Journal of Clinical Psychology, 56 (6): 75-77.
Hare, Robert D. 1993. Without Conscience: The Disturbing World of Psychopaths Among Us. New York: Pocket Books.
Lilienfeld, SO, Lynn, SJ, Lohr JM (eds). 2003. Science and Pseudoscience in Clinical Psychology. New York: Guilford Press.
Sewell, Kenneth. W & Cruise, Keith. R. 2004. Adolescent Psychopathy and Repertory Grids: Preeliminary Data and Focused Case Study. Personal Construct Theory & Practice (1).

Senin, 14 Maret 2011

The Dark Side of Communication


Pernahkah anda semua sadari, bahwa tidak semua komunikasi akan berlangsung secara positif. Ungkapan-ungkapan negatif seperti; “heh.. kacung!”atau “ kamu kok.. bodoh banget!”, sering terdengar di telinga kita. Sehingga, menurut Cupach dan Spitzberg, dalam kehidupan sehari-hari muncul proses komunikasi yang merujuk sisi negatif serta merendahkan. Proses-proses seperti ini dinamakan oleh Cupach dan Spitzberg sebagai “the dark side of communication” (Cupach dan Spitzberg, 2008).

Tidak bisa kita nafikan, elemen-elemen seperti; sarkasme, manupulasi, serangan verbal, penghinaan adalah komponen keseharian yang hadir dalam dalam keseharian kita. Lalu mengapa the dark side of communication perlu dipahami dalam kajian psikologi komunikasi? Stave Duck memahaminya dengan memberikan penjelasan bahwa kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari sangat tidak terwakili dalam teori dan penelitian. Selama ini, prinsip komunikasi hanya terbatas pada pengertian Communication is process  “sender” and “receiver”. Sedangkan, tidak dapat dipungkiri bahwa Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses dinamis yang secara sinambung mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Pengirim dan penerima sama-sama bertanggung jawab terhadap dampak dan efektifitas komunikasi yang terjadi. Pengertian ini didasarkan atas dasar pemahaman beberapa teori, yaitu:

John R Wenburg dan William W. Wilmot
“Komunikasi adalah usaha untuk memperoleh makna”

Donald Byker dan Loren J. Anderson
 “ Komunikasi (manusia) adlaah proses berbagi informasi antara dua orang atau lebih”

Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson
 “Komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna"

William I Gorden
“Komunikasi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai transaksi yang dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan”

Mengapa secara psikologis the dark side of communication bisa muncul? Dalam realita yang kita jalani, akan ada orang yang sangat-sangat etis dalam berkomunikasi, sementara disisi lain ada orang yang tidak sama sekali etis, ataupun beberapa orang berada ditengah-tengah nilai etis tersebut. Hal ini dikarenakan, manusia sebenarnya tidak akan lepas dari nilai etis di dalam kehidupannya.

Exchange Theory of Foot Ball Supporter

Suporter Sepakbola

Sepakbola merupakan salah satu olahraga yang sangat popular di Indonesia bahkan di dunia. Olahraga ini mampu menyedot animo untuk menyaksikan pertandingan baik yang disirakan langsung ataupun di stadion. Suporter merupakan elemen penting dalam sepakbola Indonesia. Tanpa hadirnya suporter, sepakbola Indonesia seperti daging tanpa tulang, lembek dan tak mampu berdiri dan hanya akan menjadi seonggok benda mati yang tidak berguna.

Suporter sepakbola masih sering menjadi tema sentral pembahasan dan diskusi khalayak, kehadirannya terkadang menyelinap diantara tema-tema penting dan panas lainnya. Terlebih apabila ada peristiwa penting dalam pertandingan sepakbola, atau ada hal yang khusus terkait dengan ulah para supporter sepakbola pendukung sebuah kesebelasan.

Suporter berasal dari akar kata “suporter “, dari kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris to support dengan akhiran (suffict) –er.  To support mempunyai arti mendukung, sedangkan untuk akhiran –er menunjukkan pelaku. Kalau ditarik maknanya maka suporter berarti sebagai orang yang memberikan dukungan atau suport  tertentu pada ikhwal tertentu pula. Suporter bersifat aktif, memberi dukungan dengan dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme tertentu (Triyono, 2008).

Di Indonesia, kita mengenal banyak sekali klub-klub sepakbola terkenal seperti Arema Indonesia, Persija, Persebaya, Persipura, Sriwijaya FC dan masih banyak lagi. Salah satu yang mendongkrak popularitas dan kinerja para pemain di lapangan adalah Suporter. Aremania, The Jackmania, Bonekmania, Viking, adalah contoh dari sekelompok orang yang dengan sukarela berpanas-panasan mengantri tiket masuk pertandingan, mengeluarkan uang transport untuk mendukung tim kesayangannya yang bertanding di luar daerah, menyanyi, menari, dan meneriakkan yel-yel penyemangat selama pertandingan berlangsung. Mereka juga sumber pendapatan sekaligus kekuatan klub sepakbola yang mereka dukung.

Klub Sepakbola Indonesia
Dengan berkembangnnya zaman Dunia sepakbola Indonesia memasuki babak baru untuk menuju industry sepakbola. Kepastian telah didengungkan secara meyakinkan dana APBD dilarang oleh pemerintah dengan terbitnya undang-undang no. 57 tahun 2000 (http://www.ongisnade.net, diakses 2 November 2010). Disisi lain terbitnya undang-undang ini disusul dengan terbitnya peraturan dari PSSI yang menyatakan bahwa untuk memasuki sepakbola industry harus mencakup lima komponen. Lima komponen ini juga sebgai sayarat untuk memasuki liga super sebagai lokomotif industry sepakbola indoensia. Namun demikian secara langsung hal ini juga berdampak langsung terhadap divisi utama terutama dalam masalah keuangan. Jika berbicara klub profesonal berarti harus mencakup lima aspek yakni:
  • Berbadan hukum
  • Pendidikan dan latihan - youth development
  • Kualifikasi personil dan manajemen profesional
  • Infrastruktur
  • Keuangan mandiri
Keluarnya undang-undang di satu sisi membuka kesempatan kepada semua element sepakbola nasional untuk membuka wacana baru dalam pengelolaan klub sepakbola indonesia. Disisi lain terbitnya undang-undang ini disambut dengan gembira sebagai ajang untuk membangun sepakbola yang mandiri, namun demikian disisi lain ternyata membuat klub semakin tidak berdaya untuk mengikuti kompetisi. Hal ini pada akhirnya diakali dengan menggaet kepala-kepala daerah sebagai pengurus tetap suporter, yang pada akhirnya akan berujung pada penggelontoran dana APBD ke ranah sepakbola yang notabennya dalam taraf dimandirikan oleh pemerintah.

Hubungan Kolaborasi Suporter Sepakbola Dengan Klub Sepakbola
Apa jadinya sebuah tim yang hebat tanpa adanya supporter? mungkin beragam dampaknya apabila terjadi demikian, bisa pemainnya rawan drop karena kurang bersemangat, loyo, dan lain-lain. Selain dampak tersebut mungkin dari sisi bisnis maka klub hebat tersebut akan kehilangan potensi bisnis yang dahsyat. Pendapatan dari industri sepakbola yang akan dialami klub tentu akan menemui beberapa kendala serius. Pendapat dari tiket pertandingan tidak bisa diharap, pendapatan dari sponsor mulai tempat pertandingan, kostum tim, sepatu, dan pernak-pernik lainnya. Padahal disinilah peluang klub/tim mengeruk pendapatan untuk membiayai industri olahraga yang dikelolanya, biaya-biaya tersebut untuk menutup operasional seperti belanja pemain, biaya pertandingan, dan lain-lain. Jadi tidak dapat terelakkan lagi bahwa keberadaan supporter adalah hal yang vital bagi klub sepakbola, mereka menjadi pilar penyanggah panji-panji kebesaran tim/klub sepakbola. Karenanya para pengelola industri olahraga sepakbola untuk memberikan perhatian yang serius dalam membina kualitas suporternya, kuantitas penting tapi kualitas juga tidak kalah penting.

Dimana ada pendapat dari seorang suporter Slemania mengatakan bahwa kelompok manusia yang mengatasnamakan diri sebagai suporter, namun hanya bernyanyi dan berteriak di dalam stadion bukanlah suporter. Lebih tepat kelompok ini disebut dengan simpatisan klub. Suporter sejati atau suporter yang dewasa bukan hanya sekedar mampu menerima kekalahan klubnya, tetapi mampu memberikan sebuah solusi bagi kemajuan klub yang didukungnya. Dalam organisasi klub, suporter layak mendapat tempat sebagai kelompok yang boleh memberikan suara. Bahkan dalam industri sepakbola maju, yang pengelolaan klubnya sudah terbuka dan profesional, suporter juga bisa menjadi pemilik klub dengan menanamkan sahamnya (Triyono, 2008).

Teori Identitas Sosial dan Fanatisme Suporter

Teori Identitas Sosial ini dipelopori oleh Henri Tajfel (1957) dalam upaya untuk menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok, dan perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah non-reduksionis, yaitu membedakan antara proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi harus dibedakan antara proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari orang lain) dan proses identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang dengan ciri-ciri tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam suatu kelompok tertentu).
 Kelompok berbeda dari perilaku individu. Yang termasuk dalam perilaku kelompok antara lain ethnosentrisme, ingroup bias, kompetisi dan diskriminasi antar kelompok, stereotip, prasangka, uniformitas, konformitas, dan keterpeduan kelompok. Menurut teori ini, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial yang rumit.

Mengapa orang menjadi begitu fanatik tentang tim sepakbola? Mereka membeli kaus, atau membayar uang untuk tiket? Dengan menggunakan kacamata Teori identitas sosial pada penggemar olahraga, membantu untuk menjelaskan perilaku mereka. Identitas teori sosial menyatakan bahwa orang termotivasi untuk berperilaku dengan cara mempertahankan dan meningkatkan harga diri mereka. Memiliki harga diri tinggi biasanya mempersepsi diri sendiri sebagai bagian dari tim atau bagian yang kompeten secara moral kedalam tim. Atribut ini membuat orang lebih terikat secara sosial di dalam lingkungan dan membuatnya lebih diinginkan untuk orang lain apabila berada dalam hubungan yang positif dengan mereka.

Tanpa harga diri dan aspek positif yang membawa ke dalam hidup seseorang, seseorang merasa sendirian dan terisolasi dan menyebabkan kecemasan yang mendalam bagi orang tersebut. Olahraga dapat bekerja untuk meningkatkan harga diri untuk orang dengan asosiasi dan afiliasi. Dengan mengenakan warna tim, menghadiri setiap pertandingan, dan mengetahui semua nama pemain, posisi dan statistik, penggemar mulai merasa seolah-olah mereka merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tim. Karena itu, ketika tim tidak berada dalam posisi kekalahan, mereka merasa harga diri yang tinggi dapat terhubung dengan tim seolah-olah mereka sedang bermain permainan sendiri.

Hubungan ini menjelaskan bahwa suporter mengembangkan in-group favoritism yang membantu seseorang mengembangkan identitas sosial dengan melampirkan dirinya dan mencapai keanggotaan kelompok dalam kelompok yang memiliki nilai dan makna bagi mereka (Tajfel, 1972). Klub sepakbola kemudian berusaha untuk bergabung dan mempertahankan keanggotaan dalam kelompok-kelompok yang memiliki paling potensial untuk berkontribusi positif padanya identitas dan karena itulah harga diri mereka diperkuat.

Ketika tim mengalami kekalahan, teori identitas sosial menyatakan bahwa seseorang masih akan melihat tim secara positif karena ancaman kekalahan adalah bagian dari pengalaman untuk dirinya sendiri atau harga dirinya, dan dikarenakan orang tersebut telah mengidentifikasi dirinya menjadi bagian dengan tim. Fenomena melihat kekalahan klub sepakbola seseorang sebagai hal positif setelah kekalahan, ini disebabkan pula oleh bias dan perilaku diskriminatif suporter terhadap klub lain, dan suporter akan menerapkan suatu kerugian atau kekalahan sebagai isyarat eksternal daripada melihat kesalahan tim mereka sendiri. Suporter sejati sudah tentu juga meningkatkan rasa identitas dengan membuat perbandingan keluar kelompok.

Potensi dan Dinamika Kolaborasi Antara Suporter Sepakbola dan Klub Sepakbola

Menurut Noordin Halid (http://www.pssi-football.com, diakses tanggal 3 November 2010), terdapat empat komponen yang dapat dikembangkan melalui industri persepakbolaan, yaitu:
  • Sepakbola berkualitas mengangkat harkat dan martabat serta kebanggaan bangsa dan negara
  • Sepakbola dapat membangkitkan dan mempertebal rasa kebersatuan (nasionalisme) masyarakat Bangsa yang mengatasi segala perbedaan suku, agama, ras, kasta, dan warna kulit.
  • Sepakbola berpotensi besar menjadi industri raksasa dan ikut menggerakkan perekonomian daerah dan nasional.
  • Sepakbola juga dapat membangun karakter, watak, dan budaya unggul (kultur) masyarakat bangsa (character building) seperti kecerdasan strategis, team-work, sikap solider, egaliter, kerja keras, disiplin, tekad kuat, sportif, menjunjung tinggi hukum dan etika.
Sayangnya dalam dinamika masyarakat, esensi dari kehadiran suporter yang terikat kuat dalam klub yang dicintainya menciptakan budaya Fanatisme. Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Terlampau fanatiknya bahkan suporter “the jak” akan mengatakan “bila dibelah dada ini maka akan keluar darah orange“, bobotoh dan aremania akan bilang darahnya berwarna “biru“, dan bonek mania akan keluar darah warna “hijau“. Itulah contoh bagaimana perumpamaan sebuah kefanatikan yang sudah mendarah daging. rasa bahagia yang meluap bila tim kesayanganya menang berlaga, atau sebaliknya akan timbul rasa amarah, kecewa, menangis, bahkan mengamuk bila tim kesayangannya kalah.

Tidak ada yang salah dari fanatisme terhadap salahsatu klub sepakbola. Dukungan supporter dengan cara-caranya tersendiri terhadap tim kesayangannya adalah hal yang lumrah dalam dunia sepakbola baik nasional maupun internasional. Loyalitas yang berdampingan dengan fanatisme supporter-supporter di tanah air telah menjadi “bumbu-bumbu penyedap” disetiap perhelatan sepakbola di tanah air. Tak jarang hal ini memancing perhatian insan-insan sepakbola internasional yang melihat antusiasme dan fanatisme masyarakat Indonesia terhadap dunia sepakbola sebagai hal yang luar biasa. Fanatisme, antusiasme, dan loyalitas para supporter di Indonesia dapat dikatakan sejajar dengan supporter-supporter di liga-liga internasional. Bahkan Franz Beckenbeuer terkaget-kaget melihat Fanatisme, antusiasme, dan loyalitas para supporter di Indonesia.

Sayangnya atmosfir sepakbola yang bagus ini tidak didukung oleh jiwa sportifitas baik dari kalangan penyelenggara sepakbola, insan-insan yang terlibat langsung dalam sebuah pertandingan sepakbola dan pemain keduabelas dari sebuah tim sepakbola (supporter). Pernyataan ini bukan tanpa bukti, peristiwa-peristiwa seperti kerusuhan, bentrokan, atau perkelahian baik diluar maupun di dalam sebuah pertandingan kerap terjadi.  Kepemimpinan wasit, ketidaksiapan Panpel (baik masalah tiket ataupun kenyamanan selama menonton pertandingan) dan ulah sejumlah oknum dalam memprovokasi keributan adalah contoh-contoh penyulut dari hal tersebut. Dapat digarisbawahi bahwa mental sportifitas rasanya belum sikron dengan fanatisme insan-insan sepakbola di Indonesia.

Satu hal lagi yang paling sering menyulut kerusuhan, bentrokan, atau perkelahian dalam dunia sepakbola di Indonesia adalah masalah rivalitas diantara klub-klub sepakbola. Sebetulnya tidak ada yang salah mengenai rivalitas antara klub-klub sepakbola asal dalam koridor sportifitas. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sulit menghindari gesekan-gesekan antar supporter dalam rivalitas tidak hanya di Indonesia di dunia internasional pun hal ini kerap terjadi. Namun, supporter-supporter di luar sana mungkin bisa mensinkronisasikan antara fanatisme dengan sportifitas sehingga fanatisme mereka tidak jatuh dalam fanatisme yang sempit. Mereka sedikitnya masih bisa menerima perbedaan, bisa duduk berdampingan dalam sebuah pertandingan dengan warna yang berbeda. Itulah yang tidak dimiliki oleh sebagian jiwa-jiwa fanatisme di Indonesia.

Jiwa-jiwa fanatisme sepakbola di Indonesia telah jatuh  kedalam jurang fanatisme yang sempit sehingga mereka sangat sulit menerima perbedaan, mereka telah dibutakan oleh kebencian terhadap rivalnya dan lebih parahnya budaya-budaya seperti ini telah menyebar kepada generasi-generasi baru supporter di Indonesia. Jiwa-jiwa fanatisme sempit ini kemudian menjelma menajadi sebuah komunitas yang khusus menebarkan kebencian-kebencian terhadap rival mereka atau yang lebih dikenal dengan sebutan Divisi Propaganda dari sebuah komunitas supporter. Mereka dapat dibilang sangat pintar dalam menyebarkan propaganda-propaganda yang secara garis besar menyangkut rivalitas. Hal tersebut ditunjang dengan media internet yang sekarang menjadi mudah untuk diakses masyarakat sehingga mereka lebih leluasa dalam melancarkan aksinya.

Dilihat dari segi psikologis, faktor-faktor seperti kebencian-kebencian yang berlebihan, sakit hati atas tindakan-tindakan rival mereka dan egosentris yang menguasai pikiran mungkin menjadi latar belakang mereka bersatu membentuk sebuah divisi propaganda tersebut. Dilain pihak keberadaan suatu divisi propaganda sebuah supporter juga pastinya akan memicu kemunculan divisi propaganda dari supporter-supporter yang lain dan pada akhirnya adu propaganda pun tak dapat dihindarkan.

Hasil dari propaganda-propaganda tersebut dapat dilihat dari nyanyian atau yel-yel ketika sebuah tim bertanding, nada-nada hinaan terhadap klub rival lebih sering terdengar dibandingkan dengan nyanyian atau yel-yel untuk menyemangati pemain ketika bertarung di lapangan.  Atribut-atribut seperti baju dan atribut lain yang bernada hinaan terhadap klub rival juga semakin tersebar luas di masyarakat. Bahkan untuk ukuran anak kecil pun ada, lebih parah pembuatan atribut-atribut yang mengandung unsur rivalitas tidak hanyan diproduksi oleh divisi propaganda saja, produsen-produsen yang hanya memikirkan segi komersil pun ikut meramaikan atribut-atribut yang berbau rivalitas.

Disudut lain, dalam segi ekonomi, sepakbola yang professional adalah salah satu industri yang menggiurkan. Saat ini terdapat kurang lebih 120 klub professional dan lebih banyak lagi klub semi professional, jika setiap klub memilik minimal 23 pemain ditambah minimal 1 pelatih, 1 manajer tim, 3 asisten pelatih (asisten pelatih, pelatih fisik dan pelatih kipper), 1 massieur dan 3 offisial lainnya maka akan terdapat sekitar 3000 lebih lapangan pekerjaan yang menuntut keahlian dan porfesionalisme yang tinggi. Kompetisi dengan atmosfer yang baik (hasil dari pemain yang professional dan ber-skill) akan mengundang perusahaan untuk mensponsori klub dan kompetisi itu sendiri, nilainya dapat bernilai milyaran rupiah dan uang yang berputar dalam bentuk modal dan expenditure pun otomatis akan besar dan hal ini akan merembet kepada iklim ekonomi yang lebih baik pula, sebuah efek domino yang sangat besar. Televisi pun akan berlomba untuk mendapatkan hak siar, nilainya dapat mencapai milyaran juga apalagi jika mendapat hak siar ekslusif. Belum lagi pemasukan dari tiket pertandingan, ribuan orang lebih memilih menonton langsung tim pujaannya di lapangan. Dengan rata rata 20.000 orang per pertandingan (rata-rata penonton Persib di stadion Siliwangi musim 2006/2007) dan harga tiket yang berkisar antara Rp.15.000 sampai Rp.75.000 (harga tiket masuk stadion Siliwangi untuk pertandingan Persib) maka setiap bertanding pemasukan dari tiket mencapai 400 juta lebih. Belum lagi klub yang memiliki stadion dengan kapasitas yang lebih besar.

Daftar Pustaka

http://www.buschenwrote.blogspot.com, diakses tanggal 3 November 2010
http://www.ongisnade.net, diakses 2 November 2010
http://www.pssi-football.com, diakses tanggal 3 November 2010
http://www.detik.com, diakses tanggal 14 Maret 2011
Shaw Marvin E, & Costanzo Philip R,. 1985. Theories of Social Psychology Second Edition. McGraw-Hill, Inc.
Triyono. 2008. Dinamika Sepakbola Indonesia Studi Tentang Strategi Klub PSS Sleman Sebagai Media Iklan Di Era Industri Sepakbola Indonesia. Publikasi Fisipol UGM: Yogyakarta.