Jumat, 20 Agustus 2010

Saya, Aku, atau I


Celotehan kali ini mungkin tidak terkesan seserius celotehan penulis sebelumnya, kita sedikit berbincang-bincan tentang “Saya”, “Aku”, atau “I” dalam esensi kehidupan kita. Muncul pertanyaan, mengapa konsep “aku”? Bukankah sudah terlalu banyak motivator yang menggembleng konsep ke-aku-an disekitar kita? Bukankah sudah terlalu banyak kata-kata mutiara yang mengispirasi hidup ini guna menghibur gunda gulana hidup ku? Bukankah jawaban konsep ke-aku-an adalah aku?
Namun, bagaimana jika pertanyaan ini muncul? “sudahkah kita mengenal diri kita sendiri?”… Siapa aku? Apa peran ku dalam kehidupan ini? Apa yang ku miliki dan menjadi dalam hidup ini? Sehingga ada satu pertanyaan tunggal yang muncul dikemudian, Apakah kita semua telah jujur dalam menjawab “siapakah sebenarnya aku”?
Tidak adil rasanya jika penulis mengkritik berbagai macam kehidupan disekitar kita, apabila penulis sendiri tidak pernah jujur terhadap kehidupan penulis sebenarnya. Baiklah mari sedikit bermelankolis, nama penulis adalah Yudha Adri Baskara, Lahir di Bogor 12 Desember 1987. Walaupun saat ini terlihat bermuka preman pasar, dimasa kecil, penulis adalah seorang anak yang jahil, nakal, namun sayangnya cengeng. Merasa telah sukses menempuh pendidikan selama 16 tahun sehingga mendapatkan gelas sarjana sosial di jurusan sosiologi, penulis merasa bahwa penulis memiliki kemampuan unik untuk menganalisa cepat suatu keadaan (itu yang pada akhirnya menyebabkan seringnya perilaku sok tahu), perfectsionis (atau sebut saja keras kepala dan arogan), serta kemampuan untuk memanipulasi kognitif dan perasaan seseorang (atau orang-orang menyebutnya pembohong ulung). Percaya tidak percaya -- banyak perempuan cantik, hebat, dan pintar yang hadir mengisi hati penulis, namun penulis mengecewakan cinta yang mereka rajut. Sehingga pada akhirnya ketika tekanan kesendirian dan penyesalan yang selalu muncul di dalam diri penulis membeludak, beruntung penulis diselamatkan oleh sahabat-sahabat terbaik yang selalu menemani dan memberikan inspirasi penulis untuk mendayagunakan semua yang ada di dalam diri penulis kedalam sesuatu yang lebih berguna bagi setiap orang. Maka dari itu, lahirlah salah satunya konsep celotehan di “Kopi Kita Perubahan”.
Itulah diri penulis apa adanya. Kita mungkin pernah membayangkan menjadi seorang yang kita khayalkan, sebagai contoh; orang kaya raya, kesatria berpedang yang gagah berani, orang yang memiliki pasangan hidup yang sempurna, atau banyak hal lainnya. Namun, percayakah bahwa semua mimpi menjadi manusia khayalan tidak lebih dari sepersekian menit, atau mungkin jika hebat dalam hitungan jam? Sebagai cuntoh; “aku bekhayal menjadi orang yang sangat amat sangat kaya raya, maka aku akan membeli rumah yang besar, membeli mobil-mobil yang bagus, mempersunting wanita/pria yang cantik, mempunyai anak-anak yang lucu dimana aku bermain bersama mereka dan keluarga ku, pergi naik haji, belanja di Paris, membahagiakan orang tua dengan memberikannya materi yang lebih dari cukup, dll” berapa lama waktu yang dibutuhkan ketika berpikir bisa menjadi dan bermimpi menjadi? Sangat singkat bukan? Itu semua tidak lebih berharga dari apa yang telah kita lakukan seumur hidup kita. Karena kita berkhayal menjadi namun kita tidak pernah mewujudkan untuk menjadi. Karena ketika kita bekhayal untuk menjadi kita menngenyampingkan keburukan yang ada di dalam hidup kita. Dan ketika kita mewujudkan untuk menjadi sesuatu, kita dihadapkan sebuah kenyataan bahwa diri “saya, “aku”, atau “I” memiliki kejujuran pahit yang harus diterima atau disembunyikan. Namun, penulis menemukan bahwa ketika kita jujur pada diri kita sendiri, perjuangan hidup kita sebenarnya sudah lebih hebat dibandingkan sinetron-sinetron yang muncul di layar televisi.
Kejujuran menjadi diri sendiri memang bukan sesuatu yang mudah. Butuh sebuah pengorbanan besar menyingkirkan rasa malu, marah, sepi, sedih, dan takut dalam menghadapi diri kita sendiri. Jujur tentang siapa sebenarnya aku adalah sebuah proses spiritual dimana pada akhirnya kita akan sadar bahwa betapa bodohnya kita ketika kita melupakan Tuhan. Melupakan satu-satunya zat yang menemani kita ketika kita merasa malu, marah, sedih, sepi dan takut. Penulis mungkin masih menjadi mahluk yang sok tahu, keras kepala, arogan, dan tukang bohong karena itu adalah masa yang telah dilalui penulis. Namun menerima semua yang telah kita lalui adalah lebih baik daripada hanya berkhayal untuk menjadi suatu kebohongan besar yang dibenarkan dan dinikmati layaknya candu. Dan akhirnya menerima sesuatu yang telah kita lalui menjadikan hidup kita lebih berwarna, tahu mana jalan yang terbaik, dan juga menjadi sebuah dongeng bagi anak-anak kita dikemudian hari.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Film Televisi Bertema Teenlit, Cinta, dan Gaya Hidup

Pada awalanya, kelahiran film televisi diakibatkan modifikasi tayangan sinema elektronik (sinetron) yang terkesan oleh para penikmatnya, tanpa akhir dan terlalu panjang. Melalui pengertian sinema elektronik oleh Soemardjono, Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera, sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela (http://www.wikipedia.co.id). Modifikasi tersebut menjadikan film televisi memiliki durasi satu setengah sampai dua jam penayangan dengan, dengan jalan cerita tidak bersambung. Namun, metode kamera grafis gambar dari film televisi tatap tidak berbeda dengan sinetron. Konten dari film televisi pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik. Seperti layaknya drama atau sandiwara, film televisi diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaks-nya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.

Melihat perkembangan pasar, muncul sebuah konten baru dari adanya sinetron, terutama film pendek televisi, yaitu; teenlit. Berasal dari jenis novel ringan popular, teenlit menjadi sebuah trend dalam format dunia hiburan petelevisian. Ringan, terkesan lucu, dan memiliki pangsa pasar kalua muda adalah apa yang dihadirkan dari sebuah film pendek bertema teenlit. Apa yang ditampilkan, biasanya berupa keseharian remaja dengan berbagai intriknya. Sehingga, percintaan adalah unsur langganan dari film televisi ini, karena konten ini memiliki seluruh aspek, mulai dari kesan lucu, romantisme, hingga unsur-unsur konflik.

Tanpa sadar, keberadaan film televisi yang menjadi sebuah trend dalam dunia hiburan, berevolusi menjadi sebuah konstruksi gaya hidup. Konstruksi tersebut terlahir akibat diserapnya unsur-unsur yang hadir dalam sebuah film televisi. Menggunakan icon yang disebut cinta, sesuatu yang memiliki bias pemaknaan dijadikan sebuah alat dalam konsumsi pasar.  Didukung dengan hadirnya bintang-bintang muda yang cantik/tampan, menjadikan film televisi semakin digandrungi para remaja. Terpenting dari sebuah program televisi bukan hanya tetap disukai, namun yang terpenting adalah tetap diingat. Djati Koesoemo yang dikutip Garin Nugroho (1995) mengatakan, “orang yang menonton televisi belum tentu suka akan tontonan itu. Seringkali mereka menonton sambil ngedumel”. Dalam kasus-kasus seperti ini, sebagaimana diungkapkan James Lull (1998), “penggunaan media oleh khalayak tak dapat dianggap benar-benar merupakan respon terhadap kebutuhan biologis atau psikologis. behavioris ini seperti tidak sadar bahwa mereka sedang mengkonstruk pemirsa yang mereka inginkan melalui film televisi.

Dari paparan diatas, penulis sangat tertarik untuk menganalisa adanya sebuah konstruksi massa terutama gaya hidup melalui trend. Mengapa harus cinta? Seperti yang telah penulis uraikan diatas, cinta adalah senjata yang sangat efektif — dimana cinta adalah sesuatu yang sulit dmengerti, bahakan oleh seorang jenius sekalipun. Hal ini, akan memancing daya tarik yang luar biasa dan individu akan menyimak seperti apa ragam cinta yang ditawarkan, terutama pada program film televisi. Penonton akan terbius jalannya alur sehingga tanpa sadar menginginkan cerita cinta tersebut dalam hidupnya.

Menilik Dasar Pemikiran yang Menyinggungnya
Dari sekian banyak teori tentang hubungan media dan khalayak, ada tiga yang bisa dikemukakan disini. Pertama, Teori Jarum Hipodermik. Teori ini mengemukakan kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif tak berdaya. Kekuatan media yang mempengaruhi khalayak ini beroperasi seperti jarum suntik, tidak kelihatan namun berefek. Kedua, Teori Agenda Setting, dengan napas yang nyaris serupa, teori ini mengemukakan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada teori ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about. Teori ini berdiri atas asumsi bahwa media atau pers does not reflect reality, but rether filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shapes it (David H. Heaver, 1981). Dari sekian peristiwa dan kenyataan sosial yang terjadi, media massa memilih dan memilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak – dan khalayak menerima – bahwa peristiwa x adalah penting. Ketiga adalah Teori Kegunaan dan Kepuasan (uses and gratification theory). Teori ini menandai pergeseran fokus pandangan dari apa yang media lakukan untuk khalayak menjadi apa yang orang lakukan terhadap media (hhtp://www.blog.friendster.com/index.php/tv-dan-penonton-buatan/budalmulih/10).

Untuk melengkapi pembahasan kita, penulis juga berusaha menggunakan perspektif interaksionisme Blumer. Hal ini dikarenakan Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna:
  • Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
  • Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
  • Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Juga dengan meminjam istilah dalam teori kultivasi-nya Gerbner (Severin, 2005), penonton televisi bisa dikategorikan menjadi “penonton berat” dan “penonton ringan”. Rata-rata pemirsa menonton televisi adalah empat jam sehari. Akan tetapi bagi “penonton berat” bisa lebih dari itu. Menurut Gerbner bahwa bagi “penonton berat” , televisi pada hakekatnya memonopoli dan memasukkan sumber-sumber informasi, gagasan, dan kesadaran lain. Dampak dari semua keterbukaan ke pesan-pesan yang sama menghasilkan apa yang oleh Gerbner disebut kultivasi, atau pengajaran pandangan bersama tentang dunia sekitar, peran-peran bersama, dan nilai-nilai bersama.

 Film Televisi Bertema Teenlit, Cinta, dan Gaya Hidup
“Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan) (Peter L. Berger. 1991). Sehingga percaya atau tidak, terdapat pemahaman kabur antara apa yang ditampilkan sebuah film televisi dengan sebuah kenyataan. Disinilah konstruksi berlangsung, peran sebuah tampilan gambar bergerak memenuhi harapan dan keinginan kita terhadap kenyataan itu sendiri. Namun, konstruksi seperti apa yang diakibatkan dari film televisi? Harapan kejadian seperti apa yang terjadi dalam dunia film televisi menciptakan apa yang penulis sebut sebagai gaya hidup melankolisme. Gaya melankolisme itu sendiri, penulis artikan sebagai tindakan mendramatisir kehidupan. Gaya hidup melankolis direflesikan ke dalam hidup dan membiarkannya tercampur dalam kehidupan kita.

Cinta dijadikan simbol keagungannya dimana ekspresi sedih, senang, romantisme, konflik dan lainnya — dibuat layaknya dalam sebuah sinetron. Sehingga dramatisasi tersebut membutuhkan update drama yang terdapat di sinetron atau film televisi lainnya. Selain itu, apa yang ditampilkan dalam sebuah film televisi adalah kehidupan glamoritas yang juga memicu keinginan individu memaknainya. Berbicara mengenai dunia visual atau figural yang menjadi core kebudayaan postmodern, kita harus mencamkan perkataan intelektual subversif asal Perancis, Jean Baudrillard, bahwa televisi merupakan jantung dari kebudayaan ini. Televisi menerjangkan gelombang simulasi dan faksimili, dunia tiruan dan jiplakan, baik secara literal, metaforik, maupun superfisial, tanpa hirarki makna, yang menganulir batas-batas modern akan kenyataan dan khayalan, publik dan privat, seni dan realitas.“Televisi adalah dunia!” ujar Baudrillard. Bukan sebuah klaim yang berlebihan, sebab televisi merupakan sumber virtual pengetahuan mengenai dunia dan pembentuk pandangan hidup, melebihi tanah kelahiran atau ruang nyata kehidupan. Namun, juga senjata penghancur massal yang menggerogoti tatanan kehidupan kedalam jurang-jurang komersialisme dan pengglobalan budaya itu sendiri.

Inilah yang seharusnya kita semua kritisi. Bahwa ketika ada sebuah konstruksi yang perlahan bersifat destruktif — ada sebuah perlawanan bahwa layaknya film televisi bertemakan teenlit adalah pembodohan. Prilaku yang ditayangkan televisi, bisa menjadi sumber observasi seseorang ketika ingin mengambil nilai-nilai tertentu dari peristiwa tersebut. Menurut Effendy (1993) titik permulaan dari proses belajar adalah peristiwa yagg bisa diamati, baik langsung maupun tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa tersebut mungkin terjadi pada kegiatan si orang itu sehari-hari, dapat pula disajikan secara langsung oleh televisi, buku, film, dan media massa lain. Peristiwa tersebut bisa penunjukan nyata suatu prilaku (seperti kekerasan, agresif) atau ilustrasi pola pikir. Prilaku nyata tersebut dipelajari dari pengamatan, sedangkan sikap, nilai, pertimbangan moral, dan persepsi terhadap kenyataan sosial dipelajari melalui abstrak model.

Jean Baudrillard dalam The System of Objects bertutur landasan keteraturan sosial masyarakat Barat modern adalah konsumsi. Bila kemerdekaan sudah dipasung oleh gugusan komoditas. Alhasil, manusia bebas menyalurkan hasrat dengan cara menikmati beragam produk konsumsi.  Pernyataan Baudrillard ternyata seirama dengan fenomena di Indonesia. Ramadatainment secara hakiki merupakan citra komunitas Barat. Film televisi yang dijadikan alat oleh kaum kapitalis, pada esensinya mendorong manusia menjadi makhluk hedonis. Tayangan bernuansa teologis tersebut menjadi pasar maya seronok nan binal.  Film televisi ibarat institusi sukarela tempat golongan pemboros memuaskan preferensinya. Sebab, memaksa orang tak berhenti mengkonsumsi barang dalam jumlah banyak serta terus-menerus.  Secara elementer, kapitalisme memang gendut dengan materi. Formula itu selaras dengan sistem pasar bebas (neo-liberalisme) yang merasuk dalam irama kehidupan.  Dalam teori ekonomi pasar bebas, tidak ada bonum commune (kepentingan bersama). Satu-satunya kredo yaitu keuntungan. Akibatnya, yang diperoleh bukan kebebasan dan kemakmuran.  Masa depan lantas pekat lantaran yang muncul tiada lain ketimpangan aspek keseimbangan. Apalagi, film televisi menghipnotis masyarakat sampai bertekuk-lutut dengan jargon credo quia absurdumest (saya percaya karena itu absurd). Dalam istilah religius, terjadi kemubaziran. Sebab, orang tak sanggup membedakan yang real dengan hyper-real.  Film televisi sekilas-lintas terkesan hiburan semata. Padahal, sisi lain suatu tontonan juga mengandung racun. Tidak sedikit awan kegundahan serta kekeliruan yang menyemburat dari sajian film televisi.

Sehingga bukan tidak mungkin kapitalisme masuk ke area mana saja yang menguntungkan. Dunia akhirnya menjadi pasar global. Bukan cuma produk yang dijajakan, tetapi, juga modal, jasa, dan teknologi. Televisi sebagai media yang paling akrab dengan kehidupan, tak luput pula dari sepak terjangnya. Pertelevisian terus saja menghipnotis pemirsa. Di sisi lain, sistem kapitalisme menggelegak dalam mempengaruhi cita rasa program televisi. Alhasil, mekanisme pasar leluasa mendikte rutinitas keseharian lewat layar kaca. Televisi yang menjadi negara mini para taipan, selalu mentereng dengan rupa-rupa tayangan. Yang terjadi adalah penggunaan berbagai macam cara salah satunya dengan melankolisasi kehidupan. Hal ini dinilai sebagai upaya memperlunak dan menghilangkan jiwa-jiwa kritis dalam diri kita.

Kamis, 12 Agustus 2010

Dekonstruksi Cinta

“JAKARTA - Tingkat perilaku seksual dengan berganti pasangan pada kalangan remaja di Indonesia ternyata setiap tahun meningkat. Dokter ahli penyakit kulit dan kelamin dr Arie Muhandari mengaku, jumlah pasien usia remaja sekitar pelajar SMP dan SMA yang datang untuk berkonsultasi kepadanya terus bertambah.” (RCTI/RCTI/ahm, dalam http://news.okezone.com, Minggu, 13 Juni 2010 - 13:29 wib)

Tahun 2005, seorang peneliti bernama I Wayan Rasmen Adikusuma melakukan penelitian mengenai perilaku seksual remaja SMU di Surakarta. Subjek penelitian ini berjumlah 1.250 orang, berasal dari 10 SMU di Surakarta yang terdiri atas 611 subjek laki-laki dan 639 subjek perempuan. Subjek yang melakukan hubungan seksual dari 462 subjek laki-laki yang berpacaran ditemukan 139 orang (30,09%), yang mengaku telah melakukan hubungan seksual dari 469 subjek perempuan yang berpacaran ditemukan 25 orang (5,33%). Alasan mereka melakukan hubungan seksual sebagai bukti rasa cinta pada subjek laki-laki 57 orang (38,51%), sedangkan pada subjek perempuan 6 orang (24%); dengan alasan diperkosa atau dipaksa pada subjek laki-laki 4 orang (2,70%) pada subjek perempuan 2 orang (8%). (http://ejournal.unud.ac.id, 5 Mei 2005)

Anda merasa heran? Menurut penulis, “heran” adalah kata yang rancu jika kita melihat kutipan diatas. Kata ini rasanya sudah tidak sepenuhnya relevan jika kita menilik kehidupan disekitar kita. Apapun pendapat para pembaca, sex bebas merebak dalam kehidupan remaja masyarakat Indonesia. Dan tentunya membuat para ahli agama, budayawan, atau bahkan orang tua menggigil ketakutan. Ada yang menganggap bahwa sex bebas di kalangan remaja merupakan rekonstruksi budaya barat, pengaruh pergeseran zaman, dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai tanda dari kiamat. Walaupun berbagai macam kajian akademis membedahnya secara kualitatif maupun kuantitatif, pada akhirnya tidak ada titik balik dalam mengikis fenomena yang dianggap destruktif ini.

Hal yang menarik adalah ketika perasaan cinta dijadikan alasan dalam perilaku seks bebas. Melirik penelitian yang penulis telah sampaikan diatas, pelaku seks bebas adalah para remaja yang menyandang status berpacaran dan cinta adalah landasan yang mereka yakini.

Cinta seakan tidak pernah habis untuk dibicarakan, tidak pernah lekang untuk dikisahkan, tidak pernah basi untuk didiskusikan. Setiap orang berbeda-beda dalam memanifestasikan cinta. Dalam kajian Eric Fromm, cinta adalah sebuah perasaan ingin membagi bersama sebuah perasaan atau afeksi terhadap seseorang. Dimana cinta juga diartikannya sebagai sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut (Erich Fromm, The Art of Loving, 2005). Mungkin juga cinta dapat dijelaskan melalui teori Sigmund Freud yang berpendapat bahwa cinta manusia digerakkan oleh id (insting). Namun, dari dua penafsiran psikologi mengenai bentuk cinta hanya ditemukan sebuah titik multi tafsir terhadap afeksi emosi cinta itu sendiri. Banyaknya pemaknaan yang muncul mengakibatkan sebuah dekonstruksi cara berpikir dalam memaknai kehadiran cinta.

Selanjutnya, dekonstruksi besar terhadap penegertian cinta dapat menciptakan dunia tanpa batas mengenai persepsi setiap orang terhadap cinta. Menurut penulis, sangatlah mungkin konsep-konsep kepribadian dan perilaku sex bebas selalu menjadi bahasan yang sangat clasical behavior. Sayangnya, ketika perilaku sex bebas terjadi terus berulang dan bahkan bertambah, sudut pandang clasical behavior hanya menangkap pengulangan perilaku tersebut secara terus-menerus. Hal ini dikarenakan semakin maju pemikiran seorang manusia, maka ia tidak akan selalu berada pada batas salah dan benar layaknya norma bekerja. Namun, ia akan juga berada pada keputusan-keputusan pembenaran diri akibat pemaknaannya terhadap sebuah objek walaupun dengan diindahkannya norma dan moral.

Sayangnya, Belum ada kajian yang mengakar mengenai bagaimana bentuk cinta para pelaku fenomena seks bebas yang terjadi di masyarakat kita. Kajian yang terkucil karena keabsurdannya ini yang mungkin dapat membuka kotak pandora bagaimana cinta terdekonstruksi dari pengertian-pengertian yang sebenarnya telah dijaga oleh norma-moral disekitar kita.

dikemukan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Stevens-Long & Cobb, 1983). Pemahaman mengenai seksualitas seseorang merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas personal yang stabil, karena dengan mengembangkan sikap yang sehat mengenai keberadaan diri sebagai makhluk seksual, seseorang juga memahami nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan batasan-batasan yang dimilikinya; dan akan memampukannya untuk dapat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri (Shibley, 1997).

Salah satu cara untuk memenuhi pemahaman sexualitas itu adalah dengan mengembangkan cinta. Cinta itu sendiri mengandung elemen ketertarikan seksualitas. Mereka yang menarik secara seksual, juga menarik untuk dicintai. Ini artinya terdapat hubungan yang sangat erat, atau malah integral antara cinta dan seksualitas. Cinta bahkan mengalami kerancuan antara cinta penuh hasrat (passionate love) dengan hasrat seksual. Namun, tentu logika kita semua lebih menerima jika mengatakan, ‘aku cinta kamu’ daripada mengatakan ‘aku berhasrat padamu’.

Disisi lain, memasuki tatanan sosial, cinta memiliki makna yang cukup berbeda. Anindita Rida Ika seorang bloger yang biasa menulis kajian-kajian Islam memiliki pandangan bahwa cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya. Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan. Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik (www.cintaislam.wordpress.com). Dimana setiap orang memiliki kerterikatan moral dalam mengekspresikan cinta mereka.

Hal ini meyakinkan penulis bahwa terjadi sebuah dekonstruksi dari pemaknaan cinta. Cinta yang berupa emosi dalam meraih kepuasan sexual berubah oleh nilai dan moral yang terkandung dalam norma yang berlaku dalam tatanan sosial. Sayangnya makna “cinta” yang telah disucikan oleh norma yang berlaku akan berubah kembali di mata pelaku fenomena sex bebas. Entah nilai norma tersebut dianggap mengekang terlalu kuat, sehingga fenomena sex bebas dapat terus meluas. Dengan pisau kajian psikologi diharapkan fenomena ini dapat terbedah lebih dalam terutama dengan mengenal salah satu faktor terjadinya sex bebas yaitu “cinta” itu sendiri.

Remaja dan Sexualitas
Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun.

Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya.

Masa remaja menjadi sebuah titik balik dalam perkembangan seksualitas karena menandakan awal mula seseorang bertingkah laku seksual karena memiliki motivasi seksual yang disadari bermakna seksual secara eksplisit, oleh diri sendiri dan orang lain (Steinberg, 2002). Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka (Steinberg, 2002).

Berpacaran dan Sex
Berpacaran secara morfologis darikata dasar "pacar"yang artinya terman lawan jenis yang tetap dan mempunyaihubungan berdasarkan cinta kasih (KBBI, 1996: 711). Berpacaran artinya bercintaan; berkasih-kasihan (KBBI, 1996: 711). Jadi model berpacaran penentu pilihan calon penganten ialah pola perkawinan dalam penentuan calon pengantenditentukanoleh si pria atau wanita itu sendiri dengan jalan mencari ternan lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan cinta kasih atau dua insan yang berbeda jenis itu melakukan bercintaan atau berkasih-kasihan. Dalam melakukan hubungan cinta kasih atau bercintaan ini dengan maksud untuk menyelidiki atau mengetahui keadaan masing-masing individu, seperti bagaimana wataknya, bagaimana keadaan keluarganya? Apabila hasil penyelidikan itu membawa hasil yang memuaskan atau cocok bagi masing - masing individu, maka berpacaran tetap berlangsung dan tentunya perkawinan akan terjadi. Sebaliknya hasil penyelidikan itu tidak memuaskan atau cocok bagi masing-masing individu atau salah satu individu, maka putuslah berpacaran.

Pacaran dianggap sebagai pintu masuk hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual pra nikah sebagai wujud kedekatan antara dua orang yang sedang jatuh cinta (De Guzman & Diaz, 1999). Tanpa adanya komitmen yang jelas mengenai batasan pacaran, kadang tanpa disadari atau direncanakan, remaja dapat terbawa untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya.

Sepertinya ada perbedaan pandangan mengenai konsep pacaran diantara laki-laki dan perempuan. Kutipan di awal tulisan merupakan pendapat seorang informan laki-laki yang sudah aktif seksual, namun tetap menganggap bahwa pacaran seharusnya lepas dari hubungan seksual, apalagi jika sudah pasti akan menikah. Pacaran tidak selalu berakhir dengan pernikahan karena sekedar mencari kecocokan atau ketidakcocokan. Temuan tersebut didukung penelitian sebelumnya oleh Saifuddin & Hidayana (1999). Informan laki-laki dalam penelitian itu menganggap pacaran sebagai pengalaman yang tidak selalu harus berakhir dengan pernikahan karena sebagian besar dari mereka masih dalam taraf ingin mencoba-coba dan belum berpikir ke arah pernikahan saat berpacaran. Hal sebaliknya terjadi pada remaja perempuan, yang sebagian besar menganggap pacaran sebaiknya berakhir dengan pernikahan karena memikirkan masa depan mereka.

Adanya perbedaan pandangan tersebut pulalah yang mungkin menyebabkan remaja perempuan tidak berdaya sehingga bersedia menyerahkan diri sepenuhnya kepada pacar laki-lakinya. Padahal, jika memang ternyata tidak ada kecocokan, maka pacar laki-lakinya akan dengan mudahnya meninggalkan pacar perem-puannya walaupun mereka berdua sudah melakukan hubungan seksual. Jika hal itu yang terjadi, sangatlah disayangkan karena pihak perempuanlah yang menanggung kerugian terbesar.

Alasan yang dikemukakan dalam berhubungan seksual biasanya sebagai bukti cinta, sayang, pengikat hubungan, serta berencana untuk menikah dalam waktu dekat. Namun demikian, sering terjadi hubungan seksual pertama tidak selalu diawali dengan permintaan lisan tetapi dengan stimulasi atau rangsangan langsung terhadap pasangannya, sehingga informan perempuan yang pada awalnya menolak, pada saat itu sudah terangsang sehingga tidak mampu menolak lagi.

Dengan demikian, alasan menuruti keinginan pacar untuk berhubungan seksual cukup banyak antara lain sebagai bukti cinta dan sangat mencintai pacar, akan menikah, agar menjadi miliknya sepenuh-nya, dorongan seks, ingin mencoba, takut mengecewakan, takut diputus dan tidak sadar sepenuhnya.

Padahal, apabila sejak awal sudah ditegaskan batasan pacaran, tetapi salah satu pihak tetap ada yang memintanya, maka pasangannya dapat mengingatkan kembali komitmen yang sudah dibentuk dari awal tersebut, sehingga tidak perlu timbul rasa penyesalan atau bersalah dan kasihan terhadap pacarnya yang ia tolak ajakannya. Dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan. Terjadinya hubungan seksual di bawah paksaan bukanlah merupakan hubungan yang sehat karena adanya dominasi satu pihak.


Cinta
Cinta adalah sebuah terminologi manusia yang membuat kita memuja layaknya dewa, dimasa ia merasa menemukan pasangan yang ideal bagi dirinya. Penulis merasa ketika kita bisa mengartikan arti cinta itu sendiri, banyak pintu yang kemudian akan terbuka. Mereka yang tidak menyukai kata cinta menyebutnya dengan tanggung jawab. Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan. Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian. Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir. Menggelitik memang jika kita membicarakan soal cinta dalam tatanan yang sangat luas.

Cinta didasarkan atas pengalaman-pengalaman yang dipengaruhi kepribadian. Pengalaman-pengalaman yang ikut membentuk kepribadian di dalam jatuh cinta dapat kita jabarkan ke dalam dua asumsi:
Yang pertama adalah pengalaman yang umum, yaitu yang dialami oleh tiap-tiap individu dalam situasi tertentu. Pengalaman ini erat hubungannya dengan fungsi dan peranan seseorang dalam interaksi disekitarnya. Misalnya, sebagai laki-laki atau wanita seseorang mempunyai hak untuk saling mencintai siapapun. Sehingga kepribadian seseorang tidak dapat sepenuhnya diramalkan atau dikenali hanya berdasarkan pengetahuan tentang hal umum yang berlaku dimana orang itu hidup. Hal ini disebabkan karena: 
  • Pengaruh sosial terhadap seseorang tidaklah sama karena medianya (orang tua, saudara, media massa dan lain-lain) tidaklah sama pula pada setiap orang. Setiap orang tua atau media massa mempunyai pandangan dan pendapatnya sendiri sehingga orang-orang yang menerima pandangan dan pendapat  yang berbeda-beda itu akan berbeda-beda pula pendiriannya.
  • Tiap individu mempunyai pengalaman-pengalaman yang khusus, yang terjadi pada dirinya sendiri.
Kedua, Pengalaman yang khusus, yaitu yang khusus dialami individu sendiri. Pengalaman ini tidak tergantung pada status dan peran orang yang bersangkutan dalam masyarakat.

Pengalaman-pengalaman yang umum maupun yang khusus di atas memberi pengaruh yang berbeda-beda pada tiap individu-individu itu pun merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara berbeda-beda pula sampai akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu stuktur kepribadian yang tetap (permanen). Menurut Skinner, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu poin yang faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama-sama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pula pada individu tersebut. Bagi Skinner, studi mengenai kepribadian itu ditujukan pada penemuan pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organisme dan berbagai konsekuensi yang diperkuatnya. Hal ini bersifat rasional dimana cinta bukan merupakan kajian mengenai sesorang, melainkan juga terkait dengan individu lainnya.

Sedangkan Erich Fromm berpendapat bahwa sebagai organisme yang hidup, kita didorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Apa yang penting dalam mempengaruhi kepribadian ialah kebutuhan-kebutuhan psikologis. Semua manusia sehat dan tidak sehat didorong oleh kebutuhan-kebutuhan tersebut, perbedaan antara mereka terletak dalam cara bagaimana kebutuhan-kebutuhan ini dipuaskan. Orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis secara kreatif dan produktif. Orang-orang yang sakit memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara-cara irasional. Dan cinta bekerja sebagai elemen yang mempengaruhi kepribadian itu sendiri.

Psikologi sudah lama tertarik dengan konsep jatuh cinta. Hanya saja masalahnya, sebagai sebuah konsep. Jatuh cinta sedemikian abstraknya sehingga sulit untuk didekati secara ilmiah. Dalam tulisan ini dipilih teori seorang psikolog, Robert Sternberg. Yang telah berusaha untuk menjabarkan cinta dalam konteks hubungan antara dua orang. Sternberg terkenal dengan teorinya tentang “Segitiga Cinta”. Segitiga cinta itu mengandung komponen; (1). Keintiman (Intimacy), (2). Gairah (Passion) dan (3). Komitmen (Robert Stanberg; Santrock;2002).

Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust), dan keinginan untuk membina hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama.

Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada tiap-tiap orang berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga komitmen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar (dalam beberapa budaya) harus disertai dengan komitmen yang lebih besar, misalnya melalui perkawinan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada perilaku jatuh cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orang tuanya saling mengekspresikan perasaan cinta mereka. Hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah romantis sampai yang horor, dsb. akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Karenanya setiap orang disarankan untuk menyadari kisah cinta yang ditulis untuk dirinya sendiri.

Daftar Pustaka
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California: Sage Publications, Inc.
Fromm, Erich. 2005. The Art of Loving. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Galperin, Andrew. 2010. Predictors of How Often and When People Fall in Love. Journal  Communication Studies and the Department of Psychology, University of California. Di unduh dari www.epjournal.net.
Gerow J. 1996. Essential of psychology, 2nd edition, New York, Harper Collins College Publisher.
Santrock. 2002. Life-span development: Perkembangan Masa Hidup, edisi 5 (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Senin, 09 Agustus 2010

Apa Jadinya Jika Teroris Menjadi Pemerintah Indonesia?

Boleh kah aku tetap tinggal di negara ini? Sedangkan Indonesia juga negara ku… penyataan itu yang menjadi salah satu renungan penulis ketika penulis melihat berita penangkapan teroris di Bandung lusa lalu terjadi. Mengapa terorisme tetap ada di negara kita? Mungkin jawaban yang ada dipikiran penulis adalah jawaban klasik, yaitu “ketimpangan sosial di negara kita”. Namun dari pertanyaan tersebut terbersit sebuah pertanyaan nakal baru, negara seperti apa yang mereka inginkan? Dan dari sanalah berbagai kerancuan membeludak di dalam pikiran penulis yang tidak tahu apa-apa ini.

Sebuah sistem negara memang membutuhkan ideologi. Layaknya Indonesia yang katanya memiliki pancasila sebagai ideologi tunggal, para orang-orang yang mengatas namakan dirinya pejuang pemurni ideologi memilih untuk menggunakan ideologi Islam dalam perjuangannya. Perbedaan paham ini yang pada akhirnya memunculkan konsep terorisme ala perang agama, perang identitas, dan perang-perang lainnya. Mari kita bayangkan ketika orang-orang yang saat ini kita anggap sebagai teroris berhasil menduduki Indonesia. Bagaimana bentuk sistem negara Indonesia ala mereka? Karena Ideologi saja tidaklah cukup untuk menjalankan negara ini secara sepenuhnya. Ada beberapa pertanyan lagi yang kemudian muncul dari benak penulis dalam mengkaji sistem seperti apa yang mereka inginkan guna mengaplikasikan ideologi bangsa ini, yaitu:

Berawal dari, Seperti apa hukum yang berlaku di negara ini? Jawaban klasik yang akan mudah kita jawab adalah hukum Islam. Kemudian dari kajian hukum Islam tersebut mari kita pecah lagi kedalam beberapa pertanyaan. Bagaimana menyikapi hubungan perang persaingan kita dengan negara tetangga Malaysia? Apakah kemudian kita akan memotong tangan para penjarah wilayah negara ini (seperti contohnya yang sampai saat ini terjadi di kalimantan)? Apakah kita akan tetap mematuhi hukum internasional? Bukankah kita sudah menepikan hukum internasional ketika para orang yang merasa mujahidin ini merevolusi bangsa ini? Apakah berarti kita harus berperang lagi? Lalu darimana semangat berperang ini bisa muncul kalau saja negara ini baru saja revolusi ala bom bunuh diri yang banyak dikutuk banyak orang?  Mungkin saja jawabannya adalah paksaan, tapi muncul pertanyaan lagi, apa hukumnya membunuh saudara seiman…? Apa mungkin hukum Islam juga bisa berdamai dengan keadaan dengan mengalah kepada pencuri? Sedangkan para muhajidin latah ini melakukan tindakan latahnya ketika melihat pendudukan Amerika dengan mem-bom kesana kemari dan negara Malaysia sudah tidak mau diajak bicara sedari dulu.

Mari kita tinggalkan masalah hukum dan beralih ke masalah ekonomi ketika mujahidin latahan ini berhasil merevolusi bangsa ini. Jelas bahwa perdagangan akan mengacu pada hukum Islam. Tapi mari kita melihat sisi mikro dari hal ini. Mulai dari hal yang paling mudah, Islam mengutuk dengan sangat keras orang-orang yang tidak menafkahi anak yatim dan janda. Agak tergelak tawa dalam pikiran penulis tatkala pertanyaan ini muncul di kepala penulis. Mengapa ya, Noordin M top mengawini para perawan dan bukan para janda? Dan berapa jumlah anak angkat yatim yang diasuhnya? Hmmm… mari kita singkirkan manusia aneh itu, dan kembali kepada konteks pertanyaan sistem negara. Anggaplah negara ini adalah negara Islam, apa ganjarannya ketika masih ada pengemis-pengemis di jalanan? Apakah mampu pemimpinnya memberi makan 240 juta mensyarakat Indonesia yang sangat-sangat hobby dengan yang namanya makan? Apakah mungkin para tengkulak akan dipotong tangan karena menyiksa para petani? Lalu kenapa para mujahidin latahan itu tidak menindak orang-orang seperti tengkulak, distributor nakal, koruptor, dll? Kenapa mereka lebih tertarik untuk membom JW Marriot daripada membom kantor perusahaan-perusahaan minyak asing yang jelas-jelas mengeruk sumber daya kita? Atau mungkinkah para ahli bom dadakan itu akan juga menjadi tim ahli dalam penanganan kasus lumpur lapindo? Aneh…..

Yang terakhir dalam segi sosial, apakah mungkin para mujahidin latahan itu membangun masyarakat madaniah? Namun, mengapa mereka memulai dengan membom gereja pada malam natal? Karena konsep Madaniah adalah konsep sosial yang diwariskan Rasullah SAW. Masyarakat seperti apa yang mereka ingin bangun? Masayarakat perang? Masyarakat martir? Atau masyarakat ala asia tengah? Padahal buat apa revolusi jika melupakan komponen masyarakatnya itu sendiri. Konsepsi politik apa yang mau dibawa para mujahidin latahan itu? Kesultanan? Siapa yang akan menjadi pemimpin? Apakah ia siap bergelut dengan ganasnya hutan, comberan yang kotor, atau menyebrangi ganasnya ombak kepulauan Indonesia untuk melihat masih kah ada masyarakatnya yang kelaparan? Namun mengapa belum-belum mujahidin latahan ini malah mengorbankan banyak orang? Menciptakan anak-anak yatim piatu baru, membuat banyak bergelimpangannya janda? bagaimana dengan hubungan lintas agama? Apakah akan ada perang salib baru di negara ini?

Perjuangan demi berdirinya panji Islam bukan sebuah pekerjaan layaknya membuat kotak sampah. Islam adala agama yang multi disiplin dengan ilmu yang sangat besar. Sehingga kesalahan sedikit saja pada tafsir akan menjadikan ilmu baik akan terbuang menjadi kesesatan yang merugikan orang disekitarnya. Mungkin diantara para pembaca semua masih banyak pertanyaan yang muncul untuk para mujahidin abal-abal ini. Diamana mereka melupakan bahwa agamanya adalah rahmat bagi semesta alam.

Rabu, 04 Agustus 2010

Aku Adalah Manusia Bodoh.. Jadi Jawablah, "Bagaimana Cara Untuk Memahami Mahluk Dengan Nama Perempuan?"

Untuk mencuri hati seorang wanita, kau hanya perlu tau apa yang akan membuatnya tersenyum. Namun jika berniat menyimpan hasil curian itu lebih lama – atau justru meremukkan dengan segera - cari tau apa yang akan membuatnya menangis. (http://nesia.wordpress.com/2008/09/04/yuk-belajar-memahami-wanita/) 

Sulitnya memahami seorang wanita, ternyata bukan mitos semata. Meski waktu pacaran memang sudah terasa sulitnya, saya pikir setelah menikah lebih mudah memahami wanita. Ternyata, makin sulit! Berdasarkan hasil pengamatan saya, ternyata justru hal-hal kecil dari sisi kehidupan seorang wanita yang paling sulit dipahami. (http://suraja.web.id/manik/personal/sulitnya-memahami-wanita)

Bisakah Anda memahami perempuan? Saya segera melarikan diri jika ada yang menjawab bisa. Bukan karena membingungkan, tapi karena perempuanlah makhluk yang paling ambigu. Kita tidak pernah tahu pentingnya mereka bagi kita sampai kemudian kita kehilangan mereka. Kita tidak akan pernah bisa memahami kenapa mereka bersedia berpakaian seksi, kelayapan di mall, tapi menolak untuk dipelototi. Kita juga tidak pernah bisa memahami kenapa mereka bersedia melakukan operasi pengencangan payudara (artinya payudara mereka selanjutnya terbuat dari plastik atau karet, sama dengan ember) padahal mereka tahu bukan bagian itu yang membuat kita mencintai mereka. (http://www.rileks.com/community/artikelmu/blogger/28863-untuk-para-pria-apakah-anda-bisa-memahami-wanita.html)

Tiga argumen dalam tiga tulisan yang menurut penulis cukup menarik perhatian. Karena cukup agar para lelaki termasuk penulis dapat dikatakan bodoh atau sok tahu dalam hal memahami perasaan perempuan. Namun, kata bodoh tidaklah cukup untuk menciutkan nyali dan penasaran penulis terhadap bagaimana perempuan ingin dipahami. Walau penulis tahu resiko yang harus ditempuh adalah kebiri tanpa ampun oleh para perempuan yang sisi sentimentilnya sedikit disentil.

Lalu mengapa penulis penasaran? Karena jawaban akhir yang akan di dapat penulis yang penasaran ini adalah kembali ke diri kita masing atau rasakan saja perasaan seorang wanita. Tapi, jawaban-jawaban penghabisan seperti itulah yang pada akhirnya mensubjektifkan pilihan-pilihan para laki-laki dalam membahagiakan para perempuan sebagai pasangan, sahabat, atau bahkan terhadap ibu kita sendiri. Pernah penulis bertanya kepada ayah penulis “bagaimana ayah bisa memahami perasaan ibu selama ini?” jawaban yang diterima adalah tawa seakan Ia sendiri tidak pernah memahaminya. Tetap dengan rasa penasaran, kembali penulis menanyakan hal yang sama kepada ibu, dengan harapan seorang ibu adalah perwakilan panutan dari contoh perempuan dimuka bumi ini. Namun jawaban “perempuan itu meng aneh kok…”. Betul-betul jawaban yang cukup menggemaskan dari orang tua yang telah 25 tahun berumah tangga. Sehingga pada akhirnya penulis mencoba memetakan kehidupan penulis dan lingkungan sekitar ini guna tetap mencari jawaban yang melegakan rasa ini.

Para lelaki bodoh seperti penulis percaya bahwa ada dualisme perilaku yang sering ditunjukan perempuan. Kemampuan memanipulasi sistem emosi dan kemampuan menggambarkan simbol serta tanda. Mahluk yang hebat ini entah kenapa memiliki insting alamiah dalam dua kemampuan ini. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mari kita lihat satu demi satu.

Kemampuan memanipulasi sitem emosi adalah sebuah keunikan yang tidak ditunjukan mahluk manapun dimuka bumi ini selain perempuan. Sebagai pembanding muncul pertanyaan besar, kapan dan bagaimana perempuan ingin dimengerti? Ambigu ini muncul ketika contohnya para lelaki memuji perempuan. Apa reaksi yang akan di dapat para lelaki “ungkapan gombal!!!”, “tatapan mata yang memanah”, “ekspresi arogan guna menutupi rasa”, atau bahkan “muka tidak peduli tanpa ekspresi”. Memang bukan hal yang aneh bagi pembaca sekalian, namun mengapa mereka tidak memilih berterima kasih menerimanya atau setidaknya menolak dengan halus apabila dianggap tidak layak? Hal ini hanya salah satu contoh kecil dari berbagai ambiguitas di dalam memahami perempuan. Entah karena sinetron, infotainment, dan melodrama korea menjabarkan ambiguitas perilaku perempuan atau sebenarnya realita itu yang ada di dalam hidup kita. Sebagai contoh lain, ada yang mengatakan perempuan adalah mahluk yang senang untuk berkorban, namun untuk apa mereka membicarakan pengorbanan mereka kepada sesama kaum-nya? Bukankah itu artinya lebih senang ditindas karena mereka akhirnya punya bahan pembicaraan tentang penindasan? Karena jawaban “curhat” (curahan hati) sebagai media interaksi pengganti hanya akan menambah pola permasalahan menjadi tiga dimensi dimana semestinya dimensi konfik hanya dipahami oleh pihak yang berkonflik dan jalan rekonsiliasi adalah opsi yang dikemukakan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Mungkin itu yang pada akhirnya membuat para lelaki harus menambah kerja otak mereka dengan juga memasukan dimensi orang ketiga. Dan mungkin juga hal ini yang memunculkan sistem gosip di dalam kehidupan ini. Dan pada akhirnya tetap saja para lelaki menjadi kambing hitam keganasan retorika manipulasi sistem emosi.

Perilaku kedua yang ditunjukan oleh mahluk hebat ini adalah kemampuan menggambarkan simbol dari setiap elemen kehidupan. Sebagai contoh adalah ketika para perempuan merasa marah atau kesal terhadap sesuatu terhadap tindakan lelaki. Ada kalanya ia langsung meledakkan emosinya, namun ada kalanya ia terdiam dengan raut yang bisa disandingkan dengan harimau menerkam. Ada kalanya para perempuan menginginkan dirinya terus-menerus dibujuk agar menceritakan kesedihannya, namun ketika para lelaki mendapati ada kata “tidak ada apa-apa!!!” dan akhirnya mendiamkan karena mendapatkan jawaban tersebut, para perempuan akan menunjukan reaksi sebaliknya dengan mengatakan “dasar mahluk tidak pengertian!!!”. Memaknai simbolisasi seperti ini,  menjadikan para lelaki harus segera berguru kepada paranormal terdekat agar dapat memahami bahasa telepati yang entah kenapa cukup membingungkan. Simbolisasi ini selalu menempatkan pilihan-pilihan yang cukup sulit bagi para lelaki bodoh seperti penulis.

Di dalam dunia maya penulis menemukan ada beberapa pemahaman unik bagaimana kita seharusnya memahami perempuan (apakah hal ini bisa kita percaya?). Hal itu antara lain:
  1. Bila sorang perempuan mengatakan dia sedang bersedih, tetapi dia tidak menitiskan airmata, itu bermakna dia sedang menangis di dalam hatinya.
  2. Bila dia tidak menghiraukan kamu selepas kamu menyakiti hatinya, lebih baik kamu beri dia waktu untuk menenangkan hatinya semula sebelum kamu menegur dengan ucapan maaf.
  3. Perempuan sukar mencari sesuatu yang dia benci tentang orang yang paling dia sayang. (itu sebabnya patah hati atau sakit hati menjadi hak paten wanita)
  4. Bila pertama kali lelaki yang dicintainya memberikan respon positif, misalnya menghubunginya melalui telepon, si gadis akan bersikap acuh tak acuh seolah-olah tidak berminat, namun ketika telepon dimatikan, dia akan menjerit kegirangan dan tidak sampai sepuluh minit, semua temannya akan tahu berita tersebut. 
  5.  Sekiranya sorang perempuan jatuh cinta dengan sorang lelaki, lelaki itu akan sentiasa ada dipikirannya walaupun ketika dia sedang keluar dengan lelaki lain.
  6. Bila lelaki yang dia suka dan cinta menatap tajam ke dalam matanya, dia akan cair seperti coklat!!
  7. Perempuan memang suka pujian tetapi tidak tahu bagaimana menerima pujian.
  8. Jika kamu tidak suka dengan gadis yang suka atau mungkin separuh mati, tolak cintanya dengan lembut, sebab ada satu semangat dalam diri wanita yang kamu tidak akan tahu bila dia  telah membuat keputusan, dia akan lakukan apa saja.
  9. Jika seorang perempuan menjauhi kamu setelah kamu tolak cintanya, biarkan dia untuk sesaat. Sekiranya kamu masih ingin menganggap dia sebagai teman, cobalah tegur dia perlahan-lahan
  10. Perempuan suka meluahkan apa yang mereka rasakan. Muzik, puisi, lukisan dan tulisan adalah cara termudah mereka meluapkan isi hati mereka.
  11. Bersikap terlalu serius, sama dengan mematikan mood perempuan.
  12. Secercah senyuman memberikan banyak arti bagi perempuan, jadi jangan senyum sembarangan.
  13. Jika seorang perempuan memberi seribu satu alasan setiap kali kamu ajak keluar, tinggalkan dia sebab dia memang tak berminat denganmu.
  14. Tetapi jika dalam masa yang sama dia menghubungimu atau menunggu panggilan darimu, teruskan usahamu untuk memikatnya.
  15. Teman baiknya yang tahu apa yang sedang dia rasa dan lalui.
  16. Senjata perempuan adalah air mata.
Sehingga ada sebuah pesan yang unik menurut Mohd. Ismail dalam www.mohdismail.net, “Lelaki-lelaki sekalian, aku ingin beritahu satu rahsia besar dalam konteks pemahaman seorang wanita. Wanita tidak tahu & tidak faham akan diri mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang mereka mahu sebenarnya. Dan, disinilah sebabnya Tuhan menjadi Adam terlebih dahulu supaya kita boleh wujudkan apa yang mereka mahu & apa yang mereka perlu.” Argumen yang menarik, namun bagaimana kita bisa tahu kalau kita sendiri disibukkan oleh berbagai ambiguitas yang ditebarkan perempuan. Apakah sebagai lelaki para lelaki bodoh harus mengikhlaskan biar yang terjadi, terjadilah? Apa kami harus tetap menjadi orang bodoh? Atau ini memang cara berjalannya hidup laki-laki dan perempuan. Karena walau ada contoh dari Rasulullah SAW, penulis tidak akan bisa sesempurna beliau dan lagi wanita yang dihadapi pun bukan wanita-wanita yang luar biasa layaknya istri-istri beliau. Mungkin ini yang pada akhirnya membuat seribu satu pertanyaan tidak akan pernah terjawab sampai akhir. Atau memang memahami perempuan adalah jawaban yang tidak diperlukan.