Jumat, 30 Juli 2010

Kebebasan Baru...

Hari ini adalah hari adalah hari dimana penulis kehilangan akses 24 jam penuh terhadap internet. Suatu perasaan yang aneh pada awalnya kehilangan sebuah wahana super ability yang hadir di dunia penulis. Dengan berkurangnya akses yang lebih luas ini, entah kenapa penulis merasa ada sebuah perasaan terbebaskan dari sebuah kekang yang selama ini mendoktrinisasi penulis akan hadirnya teknologi. Memang, teknologi tidak akan pernah kita singkirkan dalam kehidupan ini, karena teknologi adalah alat agar manusia bisa menjalankan segala sesuatunya di dalam kehidupan ini.

Namun, penulis mungkin berkeinginan mengkritik kehidupan yang penulis sendiri alami. Bahwa penulis telah kehilangan sebuah sisi penting di dalam kehidupan ini, dan sisi ini disebut dengan kemanusiaan. Jam 23:23 adalah jam dimana penulis memulai tulisan ini, berada seorang diri, mendengarkan simphoni gitar yang dialunkan Sung Ha Jung, dan dimana penulis merasa bahwa penulis akhirnya menjadi diri sendiri. Lepas dari keterikatan dunia maya yang terkadang mengharuskan penulis menjadi sosok yang sempurna dan baik-baik saja, atau sosok yang ingin dikasihani, atau bahkan menjadi sosok yang lain. Sekarang adalah dimana penulis hanya berada seorang diri ditemani Tuhan yang selalu hadir di dalam perasaan dan hati ini. Fell so good

Kesendirian ini juga entah kenapa memudahkan jari-jemari tangan ini untuk berbicara apa adanya tampa takut terkekang oleh manusia manapun. Kalau sedikit kita menelisik dunia Abraham Maslow, setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkat yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling bawah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkatan paling bawah, dicantumkan berbagai kebutuhan fisiologis (physiological needs). Kemudian pada tingkatan lebih tinggi dicantumkan kebutuhan akan rasa aman dan kepastian (safety and security needs). Lalu pada tingkatan berikutnya adalah berbagai kebutuhan akan cinta dan hubungan antar manusia (love and belonging needs). Kemudian kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan (esteem needs). Dan pada tingkatan yang paling tinggi dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self actualization needs). Namun, apakah penulis merasakan apa yang dimaksud oleh Maslow sebagai aktualisasi diri? Penulis rasa tidak juga…

Ini adalah rasa dimana penulis berada pada dimensi kebebasan, kebebasan untuk menjadi manusia, kebebasan untuk tidak terkekang oleh short message servis, kebebasan dari wall message atau personal message, kebebasan dari rutinitas download berbagai fitur, kebebasan untuk menjadi diri sendiri yang penulis rasa sudah banyak dilupakan kita semua sebagai manusia. Kalian boleh saja menyebutnya sebagai uthopia gila… tapi penulis akan menamakannya sebagai “jiwa yang bebas”.

Kamis, 29 Juli 2010

Kognisi Sosial dan Pengaruhnya

Mengapa pembahasan mengenai Kognisi Sosial ditampilkan dalam tulisan ini? Teori Kognitif mungkin adalah yang paling dapat diterima untuk menerangkan perilaku sosial dibandingkan dengan teori psikoanalisis dan teori behaviorisme. Teori kognitif harus memproses segala informasi yang diterimanya dari penginderaan melalui kesadaran sebelum dijadikan respon atau reaksi. Walaupun demikian penerapan teori kognisi dalam hubungan dengan masyarakat di Indonesia harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya perbedaan struktur kognisi pada manusia Timur dari manusia Barat. Perbedaan yang pertama adalah pada kategorisasi itu sendiri karena norma yang berbeda. Perbedaan yang kedua adalah bahwa di Timur, tidak ada batas yang tegas antara satu golongan dengan golongan yang lain, sehingga pada saat yang bersamaan dua kategori atau lebih dapat dijadikan satu. Perbedaan ketiga adalah dalam perkembangan diri “aku”. Konsekuensi dari perbedaan struktur dan isi kognisi ini adalah bahwa selalu akan terjadi kemungkinan kesalahpahaman antara dua pihak kalau masing-masing menggunakan struktur kognisinya sendiri dan mereka sama-sama tidak mengerti struktur kognisi.

Kognisi sosial atau pikiran sosial adalah proses berpikir yang dilakukan seseorang untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain. Misalnya Anda melakukan penilaian terhadap orang yang baru saja kita temui. Termasuk dalam kognisi sosial adalah upaya kita untuk menjelaskan diri kita sendiri. Proses berpikir dalam kognisi sosial mencakup bagaimana seorang individu melakukan interpretasi (penafsiran), menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi tentang dunia social yang dialaminya. Begitu Anda merasakan kehadiran orang lain, pada saat itulah proses kognisi sosial dialami. Mula-mula Anda akan mengidentifikasinya; apakah ia perempuan atau laki-laki, apakah ia anak-anak, remaja, atau orang tua, apakah ia kecil atau besar, apakah ia cantik atau jelek. Begitu seterusnya. Dari penampilannya saja, Anda sudah bisa melakukan banyak interpretasi tentang orang itu.

Kita mungkin ingat, kita pernah bertemu dengan orang yang mirip dengannya. Maka mungkin Anda mengira mereka bersaudara atau setidaknya satu suku. Karena ia banyak senyum, kita menyimpulkan orang itu ramah. Lalu karena Anda mengira orang itu menyenangkan, maka kita mendekatinya untuk berkenalan. Setelah kita berbincang sedikit, kita menyimpulkan orang itu enak diajak bicara atau tidak, orang itu menarik atau tidak dan seterusnya. Pendek kata, apapun proses berpikir yang kita lakukan jika berkaitan dengan dunia sosial adalah kognisi sosial. Secara garis besar ada dua bentuk pemahaman dalam kognisi sosial, yakni memahami orang lain (persepsi sosial) dan memahami diri (persepsi diri). Pertama, persepsi sosial. Setidaknya ada dua aspek dalam persepsi sosial, yakni; memahami perasaan, mood dan emosi yang sedang dialami orang lain, dan memahami sebab-sebab perilaku orang lain, baik sifat, niat maupun motivasinya (dikenal dengan istilah atribusi). Kedua, persepsi diri. kita mengamati diri kita sendiri. Kita adalah subjek sekaligus objek. Kita menyimpulkan kita jelek atau cantik, kita pintar atau bodoh, kita sukses atau gagal adalah bagian dari persepsi diri.

Teori kognisi sosial (Social Cognitive Theory) itu sendiri pernah diutarakan oleh seorang psikolog bernama Bandura yang mengatakan bahwa Teori kognisi sosial adalah suatu teori yang mengajukan premis bahwa pengaruh lingkungan seperti tekanan sosial atau karakteristik situasi khusus, kognitif dan faktor personal, dan perilaku adalah saling mempengaruhi secara timbal balik (Bandura, 1977; 1982;1986). Teori kognisi sosial memandang manusia tidak digerakkan oleh kekuatan dalam diri manusia itu sendiri ataupun dibentuk dan dikendalikan secara otomatis oleh rangsangan eksternal, tapi pemfungsian manusia (human functioning) itu dapat dijelaskan dalam suatu model hubungan timbal balik. Hubungan tersebut disebut Bandura sebagai Triadic Reciprocality. Individu memilih lingkungan dimana dia berada agar dia dapat terpengaruh oleh lingkungan tersebut. Perilaku dalam keadaan tertentu dipengaruhi oleh lingkungan yang pada gilirannya lingkungan itu sendiri dipengaruhi oleh perilaku individu. Perilaku individu dipengaruhi oleh faktor personal, kognitif dan pada gilirannya akan mempengaruhi faktor itu sendiri.

Kemarin...


Ini adalah tulisan seorang teman yang menurut saya menggambarkan perspektif unik mengenai waktu dan kesempatan dengan cara yang sangat menarik dan unik... berikut ini tulisannya:

Ada tiga masa yang kita tahu, masa lalu, masa kini, sekarang, dan masa yang akan datang atau masa depan, masa? Masa adalah waktu, waktu yang kita jalani, baik sudah, sedang ataupun akan, waktu pun terbagi menjadi dua, waktu subjektif (waktu yang dirasakan oleh individu, orang perorang) dan waktu objektf (waktu menurut perhitungan, kapan dilahirkan, sekarang jam berapa dan sebagainya).

Masa lalu? Segala yang telah kita lalui baik senang atau sedih suka atau tidak, terkadang ingin mengulangnya, misalnya prestasi, kehidupan yang baik atau lingkungan yang penuh cinta,, namun tak jarang juga masa lalu ingin dikubur dalam dan tak ingin dibuka lagi, jika berkaitan dengan aib, luka dan hal yang tak pantas dikenang, ingin rasanya kita melompat dan tak ingin mengingatnya, namun usaha bodoh ini ternyata malah membuat ingatan itu semakin kuat, atau pada titik tertentu ingin sekali menjadi amnesia agar tak ingat hal tersebut, tanpa diundang hal-hal yang berasal dari masa lalu menyapa kembali, baik di dalam perasaan atau fikiran, walaupun juga hadir secara nyata di depan mata.

Ya... Mungkin hanya pecundang saja yang tidak mampu menghadapi kenyataan ini, kemudian masa lalu menjadi semacam monster atau hal yang paling menakutkan yang wajib dijauhi atau ditinggalkan, masa lalu tak lebih semacam 'pembatas' bagi manusia, manusia menjadi merasa bersalah, tak berguna atau tak berharga dalam hidupnya, tak dipungkiri, masa lalu tak jarang juga dipenuhi dengan kesalahan-kesalahan bahkan kesalahn yang fatal, yang mungkin tak terampuni, setidaknya mengampuni dirinya sendiri, namun masa disadari bahwa masa lalu bukan belenggu, bukan kerangkeng atau bukan penjara yang membatasi manusia untuk 'membuat' dirinya, masa lalu bukan hantu.

Masa kini? Sekarang? sekarang adalah akibat dari masa lalu. Kesalahan, kebaikan, dari masa lalu ikut terbawa ke masa sekarang, apapun itu kemudian menjadi suatu rangkaian yang tak mungkin diputuskan begitu saja,alah saling melengkapi dan menguatkan, masa kini adalah harapan dari masa lalu, tak selamanya tercapai memang masa depan adalah impian, impian yang kita sirami di tiap detik...

Oleh:
Lilik Riandita, 2010

Ruang, Kesempatan, dan Perspektif (Momentum)

Percayakah kalian dengan ketidaksengajaan (kebetulan) sebuah kejadian? langkah yang kalian langkahkan adalah sebuah pilihan tanpa tujuan, keinginan adalah rangkaian keajaiban, cinta muncul akibat sebuah keajaiban, dan lain-lain. Namun, ketika penulis merasa canggung dengan elemen "kebetulan" dalam hidup ini, penulis kemudian mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan hal itu dan membuat manusia terjerumus dalam harapan yang "kebetulan" hadir dalam hidupnya? Ternyata pertanyaan itu terjawab ketika awang-awang ini menelisik sebuah paradigma yang bernama rangkaian hidup.

Apa yang akan anda lakukan ketika usaha anda gagal? menyesalinya? berpasrah? Mengutuknya? atau Mengikhlaskannya? Dari pertanyaan tersebut, percayakah kalian semua bahwa kita hanya egois dengan melihat kekalahan sebagai kesalahan ruang dan kesempatan. Ketika manusia menjalankan dan Tuhan yang merencanakan segala sesuatunya, apakah terlalu sederhana ketika kita berpikir tindakan kita adalah jalan individu untuk hidup? Bukankah tindakan itu merupakan tindakan kekurangajaran terhadap kehebatan Tuhan? bahwa kita berpikir bahwa Tuhan sudah memplot seseorang untuk masuk ke neraka atau surga-Nya. Sedangkan Tuhan adalah yang maha bijaksana lagi maha mengetahui.

Rangkaian hidup manusia memiliki keunikan yang melebihi batas imajinasi kita. Namun, ada satu hal yang membuat kita diharuskan mengimani adanya Qada (takdir). Karena rangkaian hidup bukanlah suatu kebetulan yang dibuat secara empirik. Kita diberikan pilihan suatu kesempatan oleh Tuhan untuk menentukan kearah mana hidup ini akan dilalui. Benar adanya bahwa plot-plot hidup ini telah direncanakan oleh Tuhan itu sendiri, namun plot itu tidak berbetuk layaknya hitam atau putih sebuah kertas. Kehidupan ini memiliki multi perspektif demana manusia dapat menentukan jalan mana yang akan dia ambil bagi hidupnya. Tuhan bukan tidak mengerti jalur hidup ini, tetapi Tuhan juga memiliki keagungan dan kekuatan sehingga manusia diberikan haknya untuk memilih. Penulis tidak memiliki kemampuan untuk mengatakan mengapa terjadi dualisme itu, namun Tuhan selalu mempunyai rahasianya sendiri yang mungkin sudah dibagikannya kepada para nabi dan rasul.

Masa lalu kita membentuk kejadian hari ini, dan perilaku kita dimasa kini adalah sebab masa depan kita. Namun, penulis rasa memutuskan bahwa hitam adalah hitam, atau putih adalah putih adalah hak Tuhan yang tidak bisa kita ambil alih di dalam kehidupan kita. Kita yang hidup dengan di dasari oleh momentum mendialektikan kehidupan sebagai bagian plot, padahal plot itu terjelmakan akibat pilihan kita terhadap hidup dimana Tuhan mendelegasikan kebesaran pengetahuan-Nya terhadap hidup kepada manusia. Memang rangkaian hidup adalah misteri, namun juga dapat menjadi elemen introspeksi kita bahwa Tuhan tidak bisa di manusiakan.

Hanya sedikit berkicau dikala bosan... dan kicauannya bernama jatuh cinta

Hari ini cukup melelahkan (penulis yakin kalian tidak sepenuhnya peduli :). Namun, diantara lelah dan penat ini penulis ingin sekali membagi sesuatu yang menurut penulis sendiri sangat menarik. Kenapa menarik? karena fenomena ini selalu datang ke dalam diri manusia tanpa pandang bulu, pandang usia, atau bahkan pandang norma. Hal absurd itu kita namakan "jatuh cinta".

Bagaimana manusia jatuh cinta? Kira-kira, jawaban apa yang keluar ketika anda ditanya, "Mengapa kita bisa jatuh cinta?". Mungkin beberapa orang akan mengatakan, "Ya...memang sudah takdir manusia seperti itu" . Tidak salah memang, lalu mungkin ada juga yang menjawab dengan pertanyaan, "Ya...bagaimana bisa tercipta manusia-manusia yang lain kalau tanpa jatuh cinta?" Luar biasa, jawaban inipun tidak salah. Rupanya akan ada banyak jawaban yang sekiranya proporsional untuk menjawab pertanyaan ini.

Jatuh cinta adalah sebuah terminologi manusia yang membuat kita memuja layaknya dewa, dimasa ia merasa menemukan pasangan yang ideal bagi dirinya. Bagaimana sebenarnya manusia memahami apa itu “jatuh cinta” yang kabarnya ada di dalam kehidupan itu sendiri? Penulis merasa ketika kita bisa mengartikan arti cinta itu sendiri, banyak pintu yang kemudian akan terbuka. Mereka yang tidak menyukai kata cinta menyebutnya dengan tanggung jawab. Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan. Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian. Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir. Menggelitik memang jika kita membicarakan soal cinta dalam tatanan yang sangat luas.

jatuh cinta adalah hal paling personal bagi individu. Ketika seseorang memaknai cinta, hal ini tidak serta merta terjadi seperti ketika seseorang secara arbitrary menyebut sebuah benda sebagai meja, atau pohon. Jatuh cinta yang dialami setiap individu berbeda bentuk dan sifatnya setelah melalui persepsi kognisi serta pengalaman-pengalaman personal yang diolah dalam alam sadar dan bawah sadar. Maka dari itulah, banyak sekali istilah yang digunakan manusia untuk ungkapan perasaan ini tergantung dari kadar dan seberapa besar pengaruh cinta terhadap kehidupannya. Istilah cinta monyet, mungkin seringkali dialami remaja yang baru mengenal jatuh cinta, yang mudah sekali merasa tertarik dengan lawan jenis tanpa mereka sendiri tahu makna yang terkandung dalam cinta itu. Atau ada juga istilah kasih sayang, yang biasa menggambarkan cinta orang tua terhadap anaknya, sebaliknya, istilah pengabdian biasanya menggambarkan cinta anak pada orang tuanya. Kekaguman dapat juga diartikan sebagai sebentuk cinta yang didedikasikan kepada seseorang yang menginspirasi hidup orang lain.

Namun, Jatuh cinta bukanlah sentimen yang dapat mudah larut dalam hati siapa pun, terlepas dari tingkat kematangan dicapai oleh individu. Semua usaha individu untuk mencintai cenderung akan gagal, kecuali individu itu aktif untuk mengembangkan kepribadiannya, sehingga mencapai suatu orientasi produktif, bahwa kepuasan dalam cinta tidak dapat dicapai tanpa kemampuan untuk mengasihi sesama, tanpa kerendahan hati, keberanian, iman, dan disiplin. Dalam budaya dimana kualitas ini jarang terjadi, pencapaian kapasitas untuk mengasihi harus tetap menjadi prestasi langka. Atau — setiap orang dapat bertanya pada diri sendiri berapa banyak orang yang benar-benar mencintai orang disekitarnya.

Hmmm.. entah kenapa perilaku ini semakin lama semakin absurd....

From Facebook With Postmodrenism

Setelah terciptanya sebuah ruang publik, tugas baru dari para pengguna Facebook adalah mempertahankan keberadaan ruang publik itu sendiri. Hal ini mengakibatkan peran seringnya individu dalam mengakses jaringan internet menjadi sangat penting. Keadaan yang diciptakan oleh pasar ini, membentuk sebuah tatanan keadaan palsu dimana individu pengguna Facebook diharuskan mengakses situs jejaring sosial Facebook demi eksistensinya di dunia maya tersebut. Dengan atas nama masyarakat modern, penghilangan logika kritis manusia dijadikan alat teknologi media dalam mengontrol sebuah ruang publik yang telah terbentuk akibat lahirnya situs jejaring sosial Facebook. Melihat hal ini diharapkan pertanyaan, “Bagaimana pengguna Facebook memakanai kehadiran teknologi internet?” dapt terjawab dengan juga melihat munculnya kritik-kritik terhadap modernitas.

Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi ini yang menjadikan gugatan besar antara postmodernisme terhadap modernisme.

Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiper-realitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.

Bagi Horkheimer, modernitas dicirikan dengan fakta bahwa hilangnya pesona yang sama, sehingga agama dan metafisika pun berhasil melampaui tahap pemikiran mistisnya, telah menghilangkan pandangan dunia yang dirasionalkan itu sendiri, yaitu luntur kredibilitas prinsip teologis dan ontologis-kosmologis. Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.

Ketika penempatan manusia sebagai objek oleh modernitas diartikan sebagai penumpulan kesadaran kritis. Jean Baudrillard memahami bahwa ketika kita mengonsumsi objek, maka kita mengonsumsi tanda, dan sedang dalam prosesnya kita mendefinisikan diri kita. Oleh sebab itu, kategori objek dipahami sebagai produksi kategori persona. Lebih lanjut Boudrillard mengatakan bahwa:

Melalui objek, setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan, semua berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi. Melalui objek masyarakat terstratifikasi...agar setiap orang terus pada tempat tertentu.

Inilah yang dihadapi ketika kita berhadapan dengan modernisasi global layaknya situs jejaring sosial Facebook. Menurut Noam Chomsky terdapat konsepsi dimana publik memiliki alat yang cukup berpengarauh (media teknologi) untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri. Disamping itu, alat-alat informasi mereka bersifat terbuka dan bebas. Namun, terdapat konsepsi lain yang menurut Chomsky perlu diperhatikan. Konsepsi itu adalah publik harus dihalangi dalam usahanya mengatur urusan mereka, dan alat-alat informasi senantiasa dikontrol secara ketat. Pada akhirnya Chomsky mengambil sebuah pandangan bahwa media (dalam bentuk apapun) memiliki kepentingan, yang tanpa sadar mengontrol massa demi kepentingannya.

Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas tersebut menciptakan dampak yang tidak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses kerusakan ini. Beck dalam bukunya “Risikogesellschaft: Auf dem Weg in eine andere Moderne” menyebut proses modernitas semacam itu sebagai “masyarakat risiko”. Individuasi adalah proses sosial yang tak terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.

Sektor Informal

Selama ini, belum ditemukan definisi sektor informal yang jelas. Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.

Fenomena sektor informal menjadi wacana umum di negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data indikator ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).

Sektor informal memang menjadi alternatif pilihan kerja bagi masyarakat dunia ketiga, karena banyak masyarakatnya menganggap bahwa sektor informal lebih menjanjikan dan menarik untuk digeluti ketimbang sektor formal yang membebankan banyak syarat. Seperti yang kita fahami bersama selama ini, sektor informal identik dengan kualitas pendidikan, kesempatan kerja seseorang di sektor informal ditentukan oleh seberapa tinggi kualitas pendidikannya, sedangkan realitanya saat ini pendidikan mahal, belum tentu menjanjikan keberhasilan. Apalagi di ilmu-ilmu yang tidak ada hubungan langsung dengan sektor formal.

Pendidikan seolah justru menjadi momok tersendiri bagi sebagian besar masyarakat menengah ke bawah, bayangkan saja jika waktu dan biaya yang dihabiskan untuk sekolah belum bisa memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan ekonomi seseorang, ditambah jika ia telah menyelesaikan studinya (wajib belajar 9 tahun) saat ini seolah tak berarti jika harus menghadapi persaingan kerja, tak akan mampu menang jika harus bersaing dengan lulusan S2, S3, bahkan S1 yang menghabiskan puluhan juta saat ini seolah tak berarti banyak di dunia kerja. Yang bisa memenuhi kebutuhan pendidikan seperti ini hanya kalangan menengah ke atas saja, dan semakin tertutup rapatlah kesempatan kerja formal bagi masyarakat menengah ke bawah dan miskin. Oleh karena itu berkembanglah wacana yang digulirkan masyarakat negara berkembang dengan membentuk sebuah komunitas sektor informal yang mulai berkembang pesat saat ini. Sektor informal yang bermunculan di perkotaan disebabkan oleh besarnya urbanisasi informal. Kebanyakan pemilik sector informal adalah pendatang yang mengembangkan usahanya di perkotaan. Ilmu bisnis justru mereka dapatkan ketika mereka langsung terjun ke lapangan, yang terkadng tidak mereka dapatkan di pendidikan formal, inilah yang terkadang juga semakin menguatkan motivasi dan ketahanan mereka dalam mengembangkan usahanya. Pengembangan ide-ide kreatif yang tidak hanya mereka manfaatkan sendiri sebagai alat pemenuhan kebutuhan ekonomi tetapi juga dibutuhkan oleh masyarakat menengah dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih terjangakau.

Sektor informal justru menjadi solusi peningkatan pendapatan masyarakat, solusi pengentasan kemiskinan, namun perkembangan sektor informal ini perlu dibingkai oleh pemerintah agar menjadi lebih rapi dan terstruktur sehingga sektor informal benar-benar diakui keberadaannya oleh masyarakat umum. Perkembangan pesat sektor informal ini bukan berarti mengesampingkan pendidikan, pendidikan tetap dibutuhkan, namun alangkah lebih baiknya jika ditunjang dengan jaminan pendidikan yang memadai dari pemerintah, benar-benar mengoptimalkan proporsi subsidi pendidikan untuk pemerataan kulaitas pendidikan, sehingga tidak menjadikan jurang kesenjangan si kaya dan miskin semakain menganga. Dan pemerataan pendapatan semakin nampak nyata, tentu hal ini yang menjadi harapan semua orang.